11. Label Anti Maling (1)

167 46 7
                                    

Malam, Dears!
Sesuai janji, ini update kedua.
Jangan lupa bab sebelumnya ramein dulu.

Enjoy this story~
Happy reading!

***


Hidup di Jakarta benar-benar tidaklah mudah. Mungkin bagi keluarga dan orang di kampung, aku ini sudah termasuk orang sukses yang memiliki pekerjaan enak dan gaji lumayan di kota besar. Mereka tidak tahu di balik semua itu, ternyata aku sedang mati-matian memutar otak untuk mengalokasikan sisa uang yang serba pas-pasan.

Kupikir dengan budget dua juta lima ratus, cukup untuk makan selama sebulan. Jika bisa mengirit, tentu masih akan ada sisa untuk laundry atau membeli camilan. Toh, aku juga jarang makan tiga kali sehari. Paling mentok ya, makan siang dan makan malam. Namun, karena kemarin GERD-ku kambuh, mau tidak mau aku harus mulai membiasakan diri untuk sarapan. Masalahnya, realita selalu berjalan tak beriringan dengan kenyataan.

“Kenapa muka lo pagi-pagi begini udah bad mood begitu?” Devika memasuki ruang meeting dan langsung menghampiriku.

Suara derit kursi yang Devika tarik untuk dia duduki tak mampu menarik atensiku. Aku masih menelungkup di atas meja, memainkan gulungan uang pecahan lima ribuan di tangan kanan. Uang itu adalah uang kembalian setelah membayar sarapan nasi campur di warung Bu Atun.

Pagi-pagi aku sudah menggelontorkan uang dua puluh lima ribu cuma untuk sarapan nasi uduk lauk telur, orek-orek tempe, dan tumis buncis campur toge. Ini sudah termasuk menu paling murah di sana. Aku sengaja memilih telur sebagai lauk karena sedang puasa makan sambal. Bagiku, tidak lengkap rasanya makan ayam tanpa dicocol sambal dan lalap.

“Lagi mumet gue,” jawabku setelah mengabaikan pertanyaan Devika agak lama.

Sudut mataku menangkap Devika tengah menipiskan bibir, lalu melengkungkan senyum masam. Tak lama kemudian, dia menyeletuk, “I guess, keluarga lo lagi? Minta apa lagi mereka sekarang?”

Dia pasti sudah muak mendengar keluhanku soal keluarga. Ya memang, apa yang sedang membuatku pening saat ini tak lepas dari hal itu. Namun, aku tak mau terlalu fokus ke sana karena mencari cara agar budget-ku cukup adalah yang utama.

“Nggak juga, sih.” Aku menggaruk pelipis yang tidak gatal. “Lagi mumet muterin sisa duit nih, biar cukup buat makan.”

“Lo payment kosan berapa kemarin, Mi? Sejuta lima ratus kan, ya?”

Aku lekas mengangguk.

I think, dua juta lima ratus is still more than enough kalau cuma buat makan. Terus apa yang bikin lo frustrasi kayak sekarang?”

“Masalahnya, duit gue sisa sejuta tujuh ratus.” Aku menyengir lebar. “Oh, sama goceng ini, sih. Kembalian dari sarapan tadi,” imbuhku mengacungkan gulungan lembar lima ribuan di tangan.

Seriously?” Devika menatapku heran.  “Kok bisa?”

Aku berdecak, sengaja tidak menceritakan soal Ibu yang memintaku membelikan Sarah tas laptop merek Eiger seharga empat ratus ribu lebih. Itu juga Sarah sendiri yang memilih.

“Ya bisa. Namanya juga dipakai buat kebutuhan sehari-hari. Naik ojek buat ngelobi Dokter Akhtar di Rumah Sakit Pondok Indah kemarin aja udah seratus lebih buat pulang pergi. Belum buat makan semingguan ini. Sama kebutuhan lain juga. Ya kali duit gue nggak berkurang sama sekali, Vi.”

“Lagi ngobrolin apa, nih? Seru banget. Program baru, ya?” Mas Danu datang dan langsung menginterupsi obrolanku dengan Devika.

“Ngobrolin duit, Mas,” jawabku spontan.

Mas Danu mengeluarkan laptopnya dari dalam tas dan menyahutiku sambil lalu. “Kenapa duit lo, Mi? Habis? Pinjam ke Devika aja. Kalian tinggal bareng juga, kan?”

“Kita udah nggak tinggal bareng lagi, lho, Mas.” Devika menggoyang-goyangkan telunjuknya ke kiri dan kanan seiring kepalanya yang menggeleng kecil. Setelah berhasil membuat Mas Danu menoleh penasaran, Devika melanjutkan, “We live separately because semingguan ini dia ngekos di sekitaran Mampang sini.”

“Seriusan, Mi?”

You can't believe kan, Mas? Apalagi gue! Stubborn banget dia, nih.” Devika menimpali dengan menggebu-gebu. Sepertinya, dia masih kesal karena aku menolak mentah-mentah bantuannya.

Mas Danu tertawa hingga bahunya berguncang. Sebelum tawanya benar-benar mereda, dia bertanya, “Terus sekarang lo kesal, Vi, karena Almira mau pinjam seratus?”

That doesn't matter for me kalau cuma pinjam seratus. The problem is, dia yang stubborn, dia juga yang mumet. Mana mumetnya ngajak-ngajak lagi.”

“Ngekos kalau pengin ngirit ya, masak sendiri, Mi. Lo cewek. Pasti bisalah masak yang simpel-simpel. Asal nggak ceplok telur atau mie mulu. Jangan sampai minum promag juga demi ngirit makan. Ogah gue gendong lo lagi kalau mendadak pingsan.”

Aku membelalak. “Jadi yang kemarin gendong gue pas pingsan itu lo, Mas?”

“Lo pikir siapa? Kinan? Lo aja berdirinya dekat gue. Mau gue gelundungin sebenarnya. Cuma gue nggak tega aja.” Tawa Mas Danu kembali terdengar.

“Jahat lo, Mas!” kecamku bersungut-sungut sembari meniup poni. “Tapi lo ada benarnya juga sih, Mas. Masalahnya—"

“Teman kos lo ada yang suka maling?” tebaknya. Dia kemudian menjentikkan jari sebelum berkata, “Gampang  itu! Lo masukin aja makanan lo ke food storage. Terus lo kasih label. Tapi kalau lo masih khawatir bakal dicolong juga, ntar deh, gue kasih label anti maling. Dijamin bikin keder yang mau maling.”

Devika melempar kotak tisu ke arah Mas Danu. “Ngaco lo, Mas! Almira not stupid enough ya, buat dengerin saran ngaco lo itu!"

Devika dan Mas Danu lantas terlibat adu mulut yang cukup seru. Aku tergelak menyimak mereka.

“Pagi, Guys! Yuk, briefing singkat aja.”  Mbak Kinan masuk diikuti Gendis dan yang lainnya. Mereka langsung mengisi kursi di ruang meeting.

Aku menegakkan badan, menyisihkan sejenak permasalahan yang tadi kupikirkan. Devika dan Mas Danu pun kompak memasang wajah serius.

“Oke. Gue ada good news and bad news. Mana yang mau kalian dengerin dulu?” tanya Mbak Kinan sembari menatap kami satu per satu.

TBC

Gimana sepanjang sepuluh bab ini? Menurut kalian, Almira ini tipe yang bego atau kelewat baik orangnya?

Masih sanggup baca sampai ending?

Hara berharap masih, ya! Karena apesnya hidup Almira masih panjang ke belakangnya. Struggle banget dia sebagai anak rantau. Wkwk.

Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears!

Thanks for your support~

Big hug,
Vanilla Hara
18/9/24

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang