Malam, Dears!
Iya, iya, tahu. Kemarin Hara lupa update. Gantinya, besok DOUBLE update kayak biasanya, ya? Pagi dan malam. Tapi tolong ramein dulu dong, bab ini ya.Enjoy this story~
Happy reading!***
Aku dan Devika saling berpandangan, lalu kompak menatap Mas Danu sebagai pengambil keputusan. Dan dengan santainya, Mas Danu mengangkat bahu sembari berujar, “Terserah mau yang mana dulu, Kin. Lagian kita juga bakal dengar dua-duanya, kan?”
“Bad news dulu kalau gitu.” Mbak Kinan berdeham. “Jadi, gue dapat kabar kalau Dokter Fadil Hoesain pamit dari Lensa Nalar. Keadaan ibunya nggak memungkinkan buat ditinggal. Akhirnya, dia mutusin pindah ke Bandung dan ngelepas Lensa Nalar.”
Suasana di ruang meeting mendadak hening. Lensa Nalar sudah berjalan sekitar tiga tahun bersama Dokter Fadil. Ibarat satu keluarga, jika ada salah satu yang pamit, tentu kami merasa sedih.
“Mi, tolong nanti lo lobi Dokter Rieta dan Dokter Akhtar buat jadi presenter tetap Lensa Nalar, ya. Gue udah bilang sama HRD biar disiapin kontraknya. Tinggal lo yakinin mereka aja,” titah Mbak Kinan yang aku sahuti dengan anggukan. “Sedangkan untuk good news-nya, karena minggu kemarin rating Lensa Nalar tembus tujuh belas persen, kita dapat kesempatan buat pegang program baru di Sabtu dan Minggu.”
“Lo udah ada konsep nggak, program baru kayak gimana yang bakal kita garap, Kin?”
“Ada, Nu. Karena kita dapat jatah ngisi program weekend, gimana kalau kompetisi masak gitu? Tapi ini beneran kayak di kitchen yang pressure-nya lebih nyata. Mumpung sponsornya juga gede, nih.”
Aku ingin menyanggah tidak setuju. Menurutku, sudah terlalu banyak acara memasak dengan konsep begitu. Di televisi sebelah saja ada Super Chef yang diadakan tahunan, sedangkan i-Net TV sendiri punya program Dapur Mamasuka yang mengisi slot tayang di hari Sabtu dan Minggu pagi. Andai kita dapat slot sore, ya ... masa harus masak-masak lagi, sih? Namun, sebelum aku sempat mengutarakan pendapatku, Mas Danu lebih dulu menolak ide Mbak Kinan.
“Lo yakin, Kin? Paginya kita punya program Dapur Mamasuka, lho. Nggak ada ide program yang lebih variatif dan kreatif lagi gitu?”
“Selama pengemasan programnya beda, menurut gue sah-sah saja, Nu. Sebenarnya, ide itu kan bukan cuma buat satu atau dua program aja. Ya gimana pintar-pintarnya kita ajalah mengemas ide yang biasa jadi program yang menghIbur dan banyak diminati masyarakat,” kekeh Mbak Kinan.
Mas Danu mengusap-usap dagu. Ada beberapa kerutan cukup dalam di sekitar glabelanya, menandakan dia tengah berpikir serius. Tak lama kemudian, dia menatapku lurus.
“Sebagai orang yang sering punya ide brilian dan terakhir sukses bikin rating Lensa Nalar naik, gimana menurut lo, Mi? Lo setuju sama Kinan atau punya ide lain?”
Aku melirik Mbak Kinan. Seperti yang aku bilang, bahwa sejak awal aku juga sepemikiran dengan Mas Danu. Cuma ya, untuk menyampaikan pendapat, aku takut membuat Mbak Kinan tersinggung. Karena baru kali ini Mas Danu meminta pendapatku langsung di tengah meeting. Biasanya, kami lebih sering sharing di pantry.
"I have no idea sih, Mas. Menurut gue, ini cuma soal slot tayang aja. Kalau bukan weekend, ide Mbak Kinan patut dipertimbangkan. Masalah program yang variatif dan kreatif, bisalah nanti kita bikin ala-ala Hell Kitchen gitu. Kan belum ada tuh, di stasiun televisi lain. Bisa jadi gebrakan baru juga buat i-Net TV. Tapi ya, balik lagi. Karena kita kebagian slot tayang hari Sabtu dan Minggu, jadi agak riskan kalau bikin program serupa," paparku se-objektif mungkin, tetapi juga tetap menghargai ide program Mbak Kinan dengan memberi masukan-masukan yang mungkin berguna untuk ke depannya.
Mas Danu menaik-turunkan kepala. Selama beberapa menit, dia bergeming, tak juga kunjung bicara. Aku dan Mbak Kinan saling bertatapan, menunggu Mas Danu memutuskan. Sebaik atau seluar-biasa apa pun ide program yang kami punya, kami tetap harus mendapat persetujuan dari kepala divisi produksi. Sekali Mas Danu berkata tidak, maka kami tidak akan bisa berbuat apa-apa, selain mencari ide program lain yang bisa dia terima dan bikin dia puas.
"Begini aja," tuturnya, mengambil alih seluruh atensi kami di ruang meeting setelah terdiam cukup lama. Dia menunjukku dan Mbak Kinan sembari berkata, "Gue mau kalian berdua sama-sama bikin satu proposal program yang akan kita diskusiin lagi di meeting selanjutnya. Nanti kita akan pilih proposal program siapa yang idenya paling menarik dan kreatif. Gimana? Kalian berdua sanggup nggak?"
"Almira juga, Nu? Lo yakin?"
Mas Danu mengangkat bahu. "Kenapa nggak, Kin? Gue percaya sama kemampuan kalian berdua. Buktinya, lo bisa bertahan sebagai produser sampai sekarang. Almira baru aja bikin rating Lensa Nalar pecah telur. So what?"
Jika boleh jujur, aku senang Mas Danu memberiku kesempatan. Namun, melihat bagaimana raut wajah Mbak Kinan yang mengisyaratkan rasa keberatan, aku pun berusaha menolak. Anggap saja aku bodoh karena malah mencoba melepas kesempatan emas.
"Mas, jangan gue-lah. Mana bisa gue—"
"Gue nggak mau dengar kata nggak bisa sebelum lo nyoba, Mi!" Mas Danu memotong ucapanku cepat dan tegas, membuat kata-kataku kembali kutelan. Dia lantas berdiri, lalu menutup meeting kami pagi itu sebelum beranjak. "Gue rasa meeting pagi ini cukup. Kita bahas lagi masalah ini di meeting selanjutnya. Dan gue harap, kalian berdua nggak ngecewain gue."
Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Mataku tak lepas mengamati Mas Danu yang berjalan keluar ruangan, lalu disusul Mbak Kinan dan yang lainnya. Saat hendak menegakkan lutut, ponselku berdenting.
Mas Danu mengirimiku sebuah foto dengan caption yang ditulis kapital berbunyi, "LABEL ANTI MALING!" Sementara itu, foto tersebut berupa kutipan hadis riwayat Bukhari yang membuatku mengucap istighfar di dalam hati.
“Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur, lalu di lain waktu ia dipotong tangannya karena mencuri tali.”
Pas banget tidak sih, kalau kukirim ke grup kosan untuk menyindir Sujatmiko yang mencuri telur Bara kemarin?
TBC
Santai aja dulu, ya! Sebelum negara api menyerang dan huru-hara menerjang. Tapi kalau kalian baca baik-baik, bakalan ketebak nggak kira-kira bakal ada konflik apa?
Komen, ya?
Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears!
Thanks for your support~
Big hug,
Vanilla Hara
18/9/24
KAMU SEDANG MEMBACA
SESUAI BUDGET | ✔ | FIN
Literatura FemininaAlmira Bestari, Produser Assistent i-Net TV, berusaha menabung demi membeli sebuah apartemen agar tak lagi menyewa bersama sahabatnya. Namun, orang tua dan saudaranya di kampung seperti tak pernah kehabisan akal untuk menguras tabungannya. Akhirnya...