23. Kembali Menjadi Asing (1)

147 53 0
                                    

Pagi, Dears!
Semoga weekend kalian menyenangkan.
Maaf belum sempat balas komen.
Diusakan, ya ...

Enjoy this story~
Happy reading!


***


Setelah kejadian semalam, aku terbangun dengan mata sembap parah. Bahkan untuk membuka mata saja, kelopak mataku rasanya berat. Tak ada yang bisa kulakukan karena sepanjang malam aku memang tak berhenti menangis sampai ketiduran.

"Feeling better?" Devika keluar dari kamar mandi. Dagunya mengedik ke arahku sembari berkata, "Honestly, ngelihat wajah lo kayak gitu, mending lo cuti aja hari ini deh, Mi."

Aku mengerjap mendapati Devika di kamar kosku sepagi ini. Untuk beberapa saat, aku lupa jika semalam dia menginap dan menemaniku menangis sampai puas. Biasanya, aku tidak pernah lepas kendali. Selama ini, apa pun itu masih bisa kutahan dan kupendam. Namun, kemarin malam aku benar-benar mencapai limit kesabaran yang kupunya. Bom waktu yang lama kusimpan, akhirnya meledak juga.

Menyingkirkan sejenak perasaan menyesal yang perlahan menelusuk, tanganku terulur untuk mengambil cermin kecil yang ada di atas meja. Saat wajahku terpampang, aku tidak bisa untuk tidak menghela napas. Wajahku benar-benar kacau. Tenggorokanku terasa kering. Untuk berdeham saja rasanya sakit bukan main.

"Mau ke mana?" tanya Devika ketika aku bangkit dari tempat tidur.

Dengan suara serak, aku berujar, "Dapur."

"Ambil es batu sekalian buat ngompres mata lo."

Kepalaku mengangguk. Membuka pintu, aku berpapasan dengan teman Dayat, si Saipul. Dia tersenyum lebar sembari mengangkat sebelah tangan hendak menyapa. Namun, Dayat yang berada di belakangnya buru-buru menggamit tangannya, lalu menyeretnya melewatiku begitu saja ke arah teras. Tidak ada sapaan sok akrab atau ucapan selamat pagi seperti yang biasa Dayat lontarkan. Pagi ini dia jelas-jelas sengaja menghindar.

Tak begitu memikirkan perubahan sikap Dayat, aku meneruskan langkah menuju dapur. Di sana ada Arunika yang tengah berbincang dengan Arum. Karena sama-sama berasal dari Surabaya, obrolan mereka terdengar ramai dan seru.

Enggan menginterupsi obrolan keduanya, aku mengayunkan langkah menuju kulkas untuk mengambil es batu. Saat aku berbalik, obrolan seru mereka tak lagi terdengar. Arunika cepat-cepat memindahkan Mi Samyang yang sudah dimasaknya ke dalam piring, lalu pamit kepada Arum untuk kembali ke kamar. Dia bahkan tak menoleh sedikitpun ke arahku seolah-olah aku ini adalah makhluk tak kasatmata.

Sebelah alisku bergerak naik. Aku memang tidak pernah akrab dengan Arunika. Kendati begitu, biasanya dia masih mau bertegur sapa meski sekenanya. Tak seperti hari ini yang terkesan acuh tak acuh. Walaupun mataku bengkak begini, aku masih bisa membedakan mana yang tak sengaja terlewat dan mana yang memang pura-pura tidak melihat. Dan sikap Arunika tadi jelas contoh dari opsi kedua.

"Mbak Almira udah nggak apa-apa?"

Kepalaku berputar ke kanan sehingga tatapanku dan Arum bertemu pada satu garis lurus. Mendengar dia menanyakan keadaanku, aku sedikit lega. Setidaknya, Arum masih mau bersikap seperti biasa.

"Gue nggak apa-apa," jawabku. Sayangnya, suaraku tidak sepenuhnya keluar. Aku malah terdengar seperti orang yang sedang sakit radang tenggorokan.

Arum sigap mengambil gelas, kemudian mengisinya dengan air hangat. Dia lantas memberikan segelas air hangat itu padaku.

"Minum dulu, Mbak!"

Aku menerima dan menandaskan isinya dengan cepat. Setelah digelontori air hangat, tenggorokanku lumayan terasa nyaman. Suaraku juga mulai keluar dan cukup bisa didengar meskipun tidak terlalu kencang ketika berdeham.

Suasana canggung pun menyelimuti kami berdua. Ujung jariku bergerak memutari bibir gelas. Kepalaku sibuk memilah kata untuk kusampaikan kepada Arum perihal kejadian semalam. Bagaimanapun, ucapanku semalam pasti menyinggung perasaannya.

"Rum," panggilku ragu. Ujung mataku meliriknya yang tengah menunduk. "Gue—"

"Maafin aku yo, Mbak Almira. Aku tahu aku salah banget karena ndak ngasih kabar pas mau pergi. Gara-gara aku, Mbak jadi diomelin Bu Wati. Aku beneran minta maaf, Mbak."

"Gue juga minta maaf. Gue nggak bermaksud nyinggung lo semalam. Kemarin itu gue ...." Aku menarik napas, bingung bagaimana harus menjelaskan.

"Have a worst day?" Arum terkekeh melihat mataku melebar ketika mendengarnya berbicara bahasa Inggris. "Pasti Mbak Almira kaget yo, aku iso bahasa Inggris?" tebaknya. Setelah puas membuatku penasaran, dia berujar, "Itu yang dibilang Mas Bara semalam, Mbak. Katanya, kemarin Mbak Almira lagi dapat hari yang buruk aja, makanya sampai nge-reog."

Aku berdecak. Tadinya aku pengin berterima kasih sama Bara karena sudah mau repot-repot memberi pengertian. Tetapi kalau dipikir-pikir ulang, sepertinya tidak perlu. Anggap saja kita sudah impas. Lagi pula, selalu ada saja tingkah atau ucapannya yang membuatku kesal.

"Meski begitu, nggak seharusnya gue nge-reog kayak semalam, Rum." Aku sengaja meminjam istilah baru yang Bara ciptakan untuk menggambarkan tingkahku yang lepas kontrol. "Gue jadi nggak enak sama yang lain," sesalku.

"Ya udah sih, Mbak. Jangan terlalu dipikirin. Mereka juga pasti ngerti kok." Arum mengambil gelas di tanganku, lalu membawanya ke kitchen sink. "Mbak Almira hari ini ndak kerja?"

"Kerja."

"Bareng Mbak Devika?"

"Iya. Dia kan nginep sini semalam."

Arum mengelap tangannya yang basah sebelum memutar badan menghadapku. Dia menipiskan bibir sembari bergumam tidak jelas. Dari gerak-geriknya, dia kelihatan ingin menyampaikan sesuatu, tetapi sungkan.

"Anu, Mbak Almira. Anu ...."

"Anu kenapa, Rum?"

"Aku cuma mau ngingetin. Kalau bawa orang luar nginep sini, tarifnya seratus per malam. Biasanya, bayarnya ke Bu Wati. Tapi berhubung tadi Bu Wati buru-buru keluar, dia titip pesan ke aku buat disampaikan ke Mbak Almira."

Seketika aku mengulas senyum. Tinggal di Arsha Kos membuatku menyadari satu hal. Apa pun keadaannya, peraturan tetaplah yang utama. Tidak ada alasan, apalagi tawar menawar.

Melanggar, artinya membayar!


TBC

Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears!

Thanks for your support~


Big hug,
Vanilla Hara
28/9/24

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang