25. Mikul Duwur Mendem Jero

116 40 20
                                    

Siang, Dears!
Ami datang lagi.
Mohon diramein.

Enjoy this strory~
Happy reading!

***

Terhitung sudah dua kali aku mengunjungi Rumah Sakit Pondok Indah. Kepentingannya pun belum berubah, yakni membujuk Dokter Akhtar seperti yang Mbak Kinan minta. Jika yang pertama usahaku membuahkan hasil, kali ini aku tidak begitu yakin. Kendati begitu, aku tetap mencobanya.

Aku pernah bilang kan, bahwa apa pun yang terjadi, jika menyangkut soal pekerjaan, aku pasti bersikap profesional. Tidak peduli tadi aku sempat beradu pendapat dengan Mas Danu dan Mbak Kinan. Lagi pula, siapa tahu Dokter Akhtar berubah pikiran.

Kusandarkan badan di dinding lift yang membawaku naik. Lagi-lagi rasa sakit diperutku berulah. Saking mati-matiannya menahan  sakit, sekujur tubuhku mengucurkan keringat dingin. Padahal sebelum berangkat, aku sudah menelan pil pereda nyeri. Biasanya, nyeri perut seperti ini selalu terjadi di hari pertama menstruasi. Masalahnya, setelah aku cek ke kamar mandi, tak ada bercak darah pun meski setitik.

Aku berjalan sempoyongan keluar dari lift. Kutarik napas dalam-dalam agar nyeri di perutku berkurang. Hal tersebut lumayan efektif. Aku menegakkan tubuh sembari mengusap telapak tangan yang berkeringat tepat di depan ruangan Dokter Akhtar.

Berkaca dari pengalaman sebelumnya yang mengharuskanku menunggu berjam-jam, hari ini aku bisa langsung menemuinya karena sudah menghubunginya lebih dulu. Jadi, tanpa membuat janji di bagian resepsionis, aku bisa langsung bertemu. Setelah mengetuk pintu, Dokter Akhtar memersilakanku masuk.

"Selamat pagi, Dok!" sapaku, mengingat masih pukul sepuluh.

Dahi Dokter Akhtar mengerut melihatku berjalan mendekat. Bukannya menjawab sapaanku, dia bertanya, "Kamu baik-baik saja, Almira?"

Langkahku sontak terhenti. Aku berdiri bingung sebab tiba-tiba ditanya seperti itu. "Baik, Dok. Saya baik."

Dokter Akhtar bergeming sembari menatapku lamat. Tak berselang lama, dia mengangguk, lalu mempersilakanku duduk. Dia melepas kacamata yang bertengger di hidung mancungnya sebelum memfokuskan tatapannya padaku.

"Saya kaget lho, kamu tiba-tiba meminta bertemu. Bukannya jadwal syuting Lensa Nalar itu besok, ya?"

"Benar, Dok." Aku mengangguk, mengulas senyum tipis. "Tapi keperluan saya bertemu Dokter hari ini bukan untuk membahas soal Lensa Nalar."

"GERD-mu kambuh lagi?" tebaknya dengan mimik muka serius. Kerutan-kerutan halus menyembul di antara kedua pangkal alisnya. Tidak adanya jawaban cepat dariku, kemudian dia berdiri. "Pindah ke sini, ya! Saya periksa dulu."

"Dok, saya ke sini bukan karena sakit," cegatku ketika dia hendak mengayunkan langkah menuju ranjang pasien. "Saya ... diminta Mbak Kinan ke sini untuk membicarakan program baru kami."

Setelah mengetahui tujuanku, Dokter Akhtar kembali duduk. "Saya pikir GERD-mu kambuh."

Sejak tadi dia selalu menyinggung GERD-ku. Biasanya, seorang dokter senang kalau tidak punya pasien, tetapi sepertinya Dokter Akhtar ini kelihatan maksa banget menjadikan aku pasiennya.

"Kenapa Dokter ngiranya begitu?"

"Soalnya kamu pucat banget." Dia menunjuk wajahku. "Tapi beneran kamu nggak apa-apa?" tanyanya seolah-olah memastikan untuk terakhir kali.

"Saya beneran baik-baik aja, Dok."

Dia pun mengangguk. "Jadi, ada program baru apa?"

Aku mengeluarkan proposal program yang sempat kucetak, lalu memberikannya kepada Dokter Akhtar. "Jadi, program ini tuh semacam tourism documentary and health education, Dok. Kita bakal jalan ke desa-desa gitu untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis sekaligus mengedukasi masyarakat setempat tentang pentingnya menjaga kesehatan."

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang