18. Masa Promo Habis

122 36 2
                                    

Malam, Dears!
Ini update kedua hari ini, ya.

Enjoy this story~
Happy reading!

***

"Pengawas kos lo okay nggak kalau gue main ke tempat lo? Dia nggak bakal grumbling kan, Mi?"

Sebelah tanganku memindahkan ponsel ke telinga kanan, lalu mengapitnya dengan bahu agar bisa membuka pintu kamar. Karena sambungan telepon kami belum terputus, aku tetap berusaha menyahuti Devika meskipun tanganku yang lain memeluk laptop.

"Nggak kok. Ke sini aja."

"But, Arum bilang, pengawas kos lo kayak Meriam Belina gitu wujudnya, Mi. Gue kan jadi agak takut mau mampir."

Gerakan tanganku berhenti saat mengunci pintu. Kebetulan Bu Wati berjalan masuk dari teras. Otomatis kepalaku berputar, mengamati seseorang yang sedang kita bicarakan. Kutengok-tengok secara saksama bagaimana rupa Bu Wati yang selama ini tak begitu kuperhatikan.

Mataku pun membola, menyadari bahwa Bu Wati memang mirip aktris kenamaan Indonesia yang biasa memerankan tokoh antagonis, Meriam Belina. Saking miripnya, mereka bak pinang dibelah dua. Bahkan gaya bicaranya yang judes dan tegas pun serupa. Tidak heran sih, semua anak kos pada kicep kalau sudah berhadapan dengannya.

"Baru pulang, langsung mau ke kantor lagi?" Bu Wati tidak jadi melewatiku.
Mengabaikan panggilan telepon Devika, aku gegas menggeleng. "Sa—saya mau ke ruang tengah, Bu," jawabku menggeragap.

"Nah, gitu dong! Jangan di kamar terus kayak yang lain. Ya sudah sana."

Mengayunkan langkah pelan, aku berjalan mendahuluinya sembari mendekatkan ponsel kembali ke telinga. Di seberang telepon Devika sudah heboh setelah mencuri dengar percakapanku dengan Bu Wati. Saat aku ingin menimpalinya, atensiku teralih pada gumaman pelan bernada khawatir sekaligus curiga dari Bu Wati.

"Jam segini masih belum pulang juga. Arum, Arum. Kerja apa kamu itu sebenarnya?"

Aku menoleh ke belakang di mana Bu Wati balik lagi berjalan kembali ke teras. Dengan berbisik, aku memberikahu Devika. "Vi, Arum masih jadi penonton di program lo, kan? Kalau udah kelar, buru dia suruh pulang! Lo larang aja kalau dia mau ikut jadi penonton program yang lain. Bilangin, Bu Wati nungguin."

Devika mengiyakan, lantas menutup sambungan telepon saat program acara yang dipandunya sudah mendekati closing. Aku melanjutkan langkah menuju ruang tengah. Dari di depan kamar Bu Wati, samar-samar aku mendengar dua orang sedang asyik mengobrol.

"Gue sebenarnya pintar lho, Mbak Nika. Makanya sayang banget terpaksa drop-out waktu kuliah. Tapi gue bisa apa aja. Bukannya tipe orang kayak gue ini yang seharusnya diperhatikan pemerintah?"

Arunika yang diajak bicara mengiyakan saja dengan ogah-ogahan.

Kupelankan langkah, tak ingin mengganggu Arunika yang ternyata sedang mengamati pekerjaan Miko. Entah apa yang pria itu tengah lakukan dengan solder panas dan timah. Di atas meja ada beberapa komponen elektronik berserakan.

Aku menempati sofa panjang sembari melirik mereka diam-diam lewat ujung mata. Miko sedang meniup-niup ponsel di tangannya dengan wajah serius. Sementara itu, Arunika terlihat bosan dan mengantuk.

"Seandainya orang kayak gue ini dapat lowongan kerja, bayangkan betapa banyak karya-karya cemerlang bangsa yang bisa lahir. Kita nggak perlu lagi tuh namanya impor dari negara lain. Sumber daya alam di Indonesia itu kan kaya. Ya kita manfaatkan dengan semaksimal mungkin," celotehnya, membuat glabelaku mengerut mendengarnya.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang