28. Sekarang Atau Tidak Sama Sekali

152 48 16
                                    

Malam, Dears!
Tinggal 2 bab lagi tamat nih. Makanya Hara jadi males update karena bakal berpisah sama si Ami.

Ini update-nya sampe tamat doang, ya. Kalau kalian kurang lega sama endingnya, ntar kita voting deh, enaknya gimana. Wkwkwk.

Enjoy this story~
Happy reading!

***

Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, aku diizinkan pulang dengan syarat tidak boleh melakukan aktivitas berat selama sepuluh sampai empat belas hari ke depan. Aku pun mempertimbangkan untuk cuti dan pulang ke Semarang. Bagaimanapun, masalahku dengan Ibu harus segera kuselesaikan.

Devika tidak bisa menjemputku karena bersamaan dengan syuting Lensa Nalar. Aku sudah berniat pulang ke kos sendirian, tetapi Bara tiba-tiba muncul. Namun belum apa-apa, kami berdua malah asyik ribut.

"Naik gojek ajalah, Bar! Lebih murah dan lebih cepat juga."

"Terus? Lo mau bonceng di tengah gitu? Yang bener aja lo, Mi! Jangan kayak orang miskin gitulah. Gue yang bayar!"

"Beneran? Lo nggak lupa bawa dompet lagi, kan?" tanyaku sangsi.

Percaya sama Bara itu, sama halnya dengan percaya investasi bodong. Lebih banyak buntungnya daripada untungnya.

"Bawa. Yailah, nggak percayaan banget! Andai biaya rumah sakit lo belum ada yang bayarin, gue pasti bayarin juga, Mi. Lagi pula, lo baru keluar dari rumah sakit. Udah jelas naik gocar lebih aman dan nyaman. Mana tega gue sama kaum duafa."

"Sialan lo!"

Tawa Bara menguar dan menular. "Bercanda, Mi. Bercanda!"

Saat perdebatan kami berakhir, tawaku pun ikut lesap. Aku dan Bara berjalan bersisihan. Sebelah tanganku memegang credit card Devika yang belum kupakai. Bagaimana tidak, seluruh biaya rumah sakitku telah lebih dulu ada yang melunasi. Bukan dari asuransi kesehatan yang i-Net TV berikan pada setiap karyawannya, melainkan dari seseorang yang tak pernah kuduga sama sekali.

***

Saat kami sampai, hatiku perlahan menghangat. Bu Wati dan anak kos lain menyambutku dengan sukacita. Apa yang Arum sampaikan kemarin ternyata bukan bualan semata. Meskipun tak mengatakan apa-apa dan tetap memasang wajah judesnya, Bu Wati benar-benar memasak, khusus untuk menyambutku pulang.

"Mbak Almira tahu ndak, waktu Mbak Almira ndak pulang, Bu Wati juga nanyain ke kita. Cuma waktu itu, mungkin waktunya aja yang ndak pas. Jadi, pas Mbak Almira pulang telat, Bu Wati lagi di kamar mandi. Pak Alpian juga ndak ada bilang kalau Mbak Almira sempat balik kosan," cerita Arum. Dia kemudian merendahkan suaranya sebelum melanjutkan, "Meskipun galak begitu, Bu Wati itu aslinya gampang khawatir sama anak kos, Mbak."

Kontan aku menoleh pada Bu Wati yang duduk di dekat televisi. Awalnya, dia tidak menyadari tatapanku yang terarah padanya. Namun, ketika manik mata kami bertemu, dia berujar, "Makan! Jangan dilihatin mulu. Kalau dimasakin itu, ya dimakan."

"Iya. Bu Wati nggak ikut makan juga?" tawarku.

"Nggak. Buat kalian saja. Terutama kamu, Almira. Makan yang banyak. Itu lauknya masih banyak banget. Pilih yang kamu suka. Jangan kalah sama yang lain!"

Di bawah pengawasan Bu Wati, segera kucomot perkedel kentang, lalu kusuap dengan nasi kuning yang sudah lama tak pernah kumakan. Merasakan kembali makanan kesukaanku, apalagi yang sudah susah payah dimasakkan orang lain, membuatk mendadak mellow. Ada banyak kata 'seandainya' yang mampir di benakku.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang