02. On The Way Boyongan

214 49 6
                                    

Pagi, Dears!
Terima kasih buat yang udah vote dan komen di bab perdana Almira kemarin. So, enjoy this story, ya~

Happy reading!

***

Kumala Sari baru saja membagikan postingan baru.

Sebuah pop up Instagram tiba-tiba muncul, membuat jempolku tergelincir mengkliknya. Kakak perempuanku membagikan beberapa slide foto dan sebuah video. Biasanya aku tak begitu peduli dengan sosial media saudaraku. Kami sebatas berteman dengan saling follow. Namun karena sudah telanjur, tidak ada salahnya aku mengintip sebentar postingan terbaru yang dia bagikan.

Kumala.Sari Alhamdulillah, MasyaAllah, Tabarakallah. Dari 0% sampai 40% on progress. Semua tidak lepas dari kerja keras suamiku @Djaja.Rahardian dan doa Ibu. Akhirnya, satu per satu impian keluarga kecil kami terwujud.

Bibirku berdecih. Dalam hati aku mencibir. Caption yang dia bubuhkan sungguh tidak sesuai realita. Berkat kerja keras suami katanya? Halah, bullshit! Aku masih ingat bagaimana dia begitu keras kepala menyampaikan keinginannya kepada orang tua kami beberapa bulan kemarin.

***

"Kalau ndak sekarang, kapan lagi aku bisa punya rumah, Pak, Bu? Radit sebentar lagi masuk SMP, Rania udah kelas dua SD, sementara Retha baru TK B. Mumpung Ratih masih belum sekolah dan uangnya juga ada."

"Tapi yo, ndak langsung bikin rumah tingkat toh, Nduk. Biayanya gede itu. Ibu sama Bapak cuma khawatir duitmu ndak cukup. Kalau sampai ndak kelar, malu sama tetangga nanti." Ibuku berusaha memberi pengertian kepada Mbak Kumala agar tidak grasah-grusuh.

Sayangnya, saudara perempuan yang terpaut enam tahun lebih tua dariku itu menolak dengan cepat. "Ibu tahu kan, anakku itu empat lho, Bu. Sebentar lagi mereka udah pada gede. Kalau ndak ditingkat, luas tanah Ibu itu kurang kalau dibuat kamar enam-lah minimal. Mau ndak mau yo, harus aku tingkat, Bu."

"Yo wis, yo wis. Sekarang Bapak tanya. Tabungan kalian ada berapa?" Bapak menyela sebelum Ibu kembali menyanggah.

"Pokoknya ada lah, Pak. Nanti katanya Mas Djaja juga mau pinjam ke Giani setengahnya."

"Giani?" Kerutan di dahi Bapak makin dalam dan terlihat jelas. Matanya menyipit seolah-olah sedang berusaha mengingat. "Giani adik iparmu?"

Mbak Kumala mengiyakan dengan sebuah anggukan.

"Memangnya kamu dan suamimu sudah mengumpulkan berapa kok sampai mau pinjam ke adik iparmu segala?"

"Ada lima puluh juta, Pak," jawab Mbak Kumala enteng seakan-akan uang segitu cukup untuk membangun rumah dua lantai seperti yang dia rencanakan.

Sontak Bapak mendesah berat, sementara Ibu menggeleng-geleng kecil. Aku yang ikut hadir di sana tentu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk merutuk kakak perempuanku yang tak tahu diri. Meskipun ya, aku sempat menertawainya di dalam hati.

Bagaimana tidak, ucapan konyolnya sungguh lucu, sih. Bisa-bisanya dia mengutarakan rencananya membangun rumah dengan budget yang seupil. Dikira dia dan suaminya titisan Bandung Bondowoso kali ya, yang bisa membangun ribuan candi hanya semalam dengan bantuan jin?

"Kumala, Bapak ndak bermaksud menghalangi keinginanmu. Sama sekali ndak. Malah Bapak senang kamu dan suamimu punya rencana seperti itu. Tapi Kumala, Ibumu benar. Apa ndak sebaiknya kamu pikirkan ulang sebelum telanjur? Menurut Bapak, lima puluh juta itu sangat jauh dari cukup." Berbeda dengan Ibu, bapak memberitahu dengan lembut agar sarannya bisa Mbak Kumala pertimbangkan.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang