16. Tentang Prinsip Ekonomi (1)

122 35 8
                                    

Siang, Dears!
Hari ini DOUBLE update lagi, mau?
Ramein ya, kalau begitu.

Enjoy this story~
Happy reading!

***

"Kalau langsung lo kerjain sekarang, besok bisa beneran kelar kan, Lil?"

Aku memastikan sekali lagi kesanggupan Khalil yang kuminta untuk mengubah set panggung di studio satu. Kebetulan Lensa Nalar baru kelar syuting setengah jam yang lalu.

"Gampang ini, Mi. Ntar malam juga kelar," jawab Khalil enteng.

"Beneran, ya? Konsep set panggung Lensa Nalar yang baru udah paham, kan? Pokoknya, gue mau—"

"Open ended staging, tapi juga audience show biar nanti ada interaksi antara host sama penonton."

Khalil berdiri dari posisi jongkoknya, dan berbalik sembari menggunting penjelasanku. Tangan kirinya yang memegang gulungan kertas bergerak turun. "Dan Lo mau ada LED di sisi kiri buat memudahkan host kasih penjelasan tiap demonstrasi," sambungnya.

Aku mengangguk puas. Rupanya, meskipun sejak tadi sibuk dan menanggapiku sambil lalu, dia mampu memahami apa yang kumau.

"Ya. Di belakang sofa, mungkin bisa lo kasih apa kek gitu. Biar nggak kosong-kosong amat."

"Oke. Ada lagi?"

Aku bergumam tak yakin. "Kayaknya itu aja. Lo atur sendirilah gimana bagusnya. Jangan lupa diskusi sama anak lighting juga. Soalnya, penambahan LED kan juga bakal pengaruh ke lighting buat pengambilan gambar ntar."

"Sip!"

"Satu lagi." Khalil bersiap menyimak informasi tambahan dariku. "Lo sama yang lain makan siang dulu, deh!" pintaku.

Saat itu juga, Khalil berteriak kepada timnya untuk menjeda pekerjaan mereka sebentar. Dia menginstruksikan mereka agar rehat makan siang.

"Lo nggak makan siang juga, Mi?" Khalil menatapku heran karena masih berdiri di tengah set panggung yang berantakan.

"Gampang lah gue. Kalian duluan aja."

Setelah itu, Khalil dan yang lainnya meninggalkan studio satu. Aku melongokkan kepala ke sana kemari, mengamati apa kiranya yang luput dari pandangan. Namun karena merasa tak ada lagi yang perlu kukerjakan, aku berjalan ke sebuah meja yang berisi sisa nasi kotak. Kuambil satu, lalu mengacir mencari tempat untuk makan siang.

Kuempaskan bokong di samping Mas Danu yang tengah duduk di sofa ruang santai dengan mimik muka serius. Tak berniat mengganggunya, aku membuka nasi kotak yang kubawa dan tak sabar untuk menyantapnya.

"Tumben lo nggak makan siang di luar bareng Devika?" tegur Mas Danu yang baru menyadari keberadaanku.

"Lo nggak ingat gue lagi bokek, Mas? Lagi pula, makan nasi kotak juga bikin kenyang. Mumpung masih banyak sisanya kelar acara."

Mas Danu mendesah. Dia mengambil nasi kotak di pangkuanku, sengaja menjauhkannya agar aku tak bisa menjangkaunya. Jangkauan tangannya yang panjang, tentu tak sebanding denganku. Kesal, aku memanyunkan bibir dengan pipi menggembung.

"Mas! Balikin nggak?"

Bukannya merasa bersalah telah mengganggu orang yang hendak makan siang, dia malah tertawa-tawa. Selang tiga denyut nadi, tawanya mendadak reda. Matanya mengarah pada seseorang yang baru saja keluar dari ruang make up.

"Eh, Dokter Akhtar," sapanya. "Mau langsung balik, Dok? Atau ada rencana buat makan siang dulu sebelum balik ke rumah sakit?"

Kontan aku ikut menoleh, mengikuti arah pandang Mas Danu. Kupikir Mas Danu sengaja memecah atensiku untuk mengerjaiku. Ternyata Dokter Akhtar benar-benar berdiri di sana sembari menatap kami berdua.

Dokter Akhtar menyahut bingung, "Makan siang?"

"Iya. Memangnya Almira belum bilang, ya?" Mas Danu mengerling padaku. "Dia mau ngajakin Dokter makan siang sekalian bahas kontrak kerja. Makanya, dia udah nungguin Dokter dari tadi di sini. Iya kan, Mi?" tanyanya, sukses membuatku melongo di tempat.

Iya, memang sih, aku belum menawarkan kontrak sebagai pembawa acara tetap Lensa Nalar kepada Dokter Akhtar. Aku juga sempat mengeluhkannya ke Mas Danu. Namun sumpah demi apa pun, apa yang diomongin Mas Danu barusan bohong banget.

Mana ada aku nungguin Dokter Akhtar dan berniat mengajaknya makan siang. Aku saja lagi dalam mode pengiritan. Lagi pula, ajakan makan siang itu berarti harus mentraktir, kan? Ya kali, aku mengajaknya makan siang di warteg sambil bicarain kontrak?

Yang benar saja!

"Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat sekarang sebelum kena macet. Saya tunggu di depan ya, Almira." Dokter Akhtar langsung menyetujui omong kosong Mas Danu tanpa mengonfirmasinya padaku. Parahnya, aku tak bisa berbuat apa-apa karena Dokter Akhtar sudah pergi lebih dulu.

Kulayangkan delikan tajam pada Mas Danu. Namun dengan santainya, pria itu menyunggingkan senyum sembari memakan nasi kotak yang belum kusentuh. Kedua alisnya bergerak naik-turun.

Lalu dengan mulut penuh, dia berkata, "Udah, sama buru pergi! Ntar ditinggalin, lho! Udah gue susah-susah bantuin juga."

Ish!

Tanpa mengucapkan terima kasih, aku berderap pergi. Sembari menunggu lift, diam-diam aku menghitung berapa duit yang harus kuhabiskan untuk makan siang hari ini. Otakku pun mulai sibuk menyisir restoran yang kiranya menyuguhkan makanan enak, tetapi dengan harga yang masih tergolong manusiawi. Kalau gue bawa Dokter Akhtar ke warteg, kira-kira dia mau tidak, ya?

TBC

Si Bara sebenarnya ada ceritanya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Si Bara sebenarnya ada ceritanya sendiri. Nggak cuma Bara doang, sih. Tapi semua tokoh yang ada di Arsha Kos itu ada ceritanya masing-masing. Kayak satu universe gitu, meski alur cerita dan konflik para tokoh nggak saling berhubungan. Cuma ya, namanya tinggal satu kosan, pasti ada beberapa interaksi.

Nah, kalau kalian mau baca Bara dan yang lain-lainnya, bisa ke web atmenulis.com ya, Dears! Bacanya GRATIS. Cuma draft-nya masih dalam bentuk yang belum REVISI alias sedikit berantakan. Beda sama Ami di sini yang udah revisi, ya.

Tapi karena Hara tahu kalian pasti males berkunjung ke sana, nanti Hara coba spill sikit2 dalam bentuk quotes atau adegan apa aja yang seru.

Coba komen, kalian pengin tahu kehidupan siapa di Arsha Kos selain Ami?

Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears!

Thanks for your support~

Big hug,
Vanilla Hara
23/9/24

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang