27. Everything's Gonna Be Okay

148 49 9
                                    

Selamat siang, Dears!
Dua hari Hara ngilang karena lupa kalau September cuma 30 hari, sementara penerbit minta naskah tanggal 1. Jadilah Hara ngelembur ngerjain revisian si Ami ini untuk kesekian kali. T.T

Maaf, ya.
Enjoy this story~
Happy reading!

***

Kupikir, setelah bisa buang angin, esoknya aku bisa langsung pulang. Kenyataannya, Dokter Akhtar tak memberiku izin dan menyarankan untuk rawat inap selama tiga hari dua malam. Karena tak memiliki pilihan lain, aku menurut saja. Lagi pula, lumayan kan selama beberapa hari aku bisa makan gratis dan enak. Hitung-hitung pengiritan.

Hari kedua Devika masih menemaniku di rumah sakit. Dengan telaten dia mengurusku tanpa mengeluh. Aku sudah memintanya untuk tidak datang, tetapi dia tidak mendengarkan. Entah mendapat suntikan energi dari mana, Devika sama sekali tidak terlihat lelah. Pulang kerja, dia langsung menyambangiku sembari membawa buah dan gosip terhangat.

"Gue nggak expect Mbak Kinan bakal ngeluarin lo dari tim begitu aja. Gue udah bilang kalau lo lagi masa pemulihan pasca operasi, masih belum bisa pulang dari rumah sakit. But, I didn't understand anymore." Devika memulai ceritanya malam ini sembari sibuk mengupas sebutir apel.

Sesaat sebelum menyetujui tindakan operasi, aku sempat kepikiran untuk mengajukan cuti. Namun, karena selepas itu aku bertengkar dengan Ibu lewat telepon, aku jadi lupa dan seakan-akan tidak masuk kerja tanpa kabar. Seharusnya, tidak jadi masalah karena belum lewat tiga hari. Siapa sangka, Mbak Kinan malah mengambil keputusan ekstrim dengan mengeluarkanku dari tim.

Kesal? Pasti.

Jika Mbak Kinan memang kecewa karena aku tidak bisa membujuk Dokter Akhtar untuk program baru, dia bisa membicarakannya baik-baik. Lagi pula, masih banyak alternatif lain. Kenyataannya, aku juga sama tidak mengertinya dengan Devika perihal keputusan Mbak Kinan yang terkesan impulsif. Atau ini ada kaitannya dengan adu argumen kami kemarin?

"Ya udah sih, Vi. Nggak apa-apa." Aku merespons sembari berbesar hati.

"How can? Lo sadar kan, dikeluarkan dari tim itu, artinya all programs that you handle before, will be replaced sama orang baru, Mi!"

"Iya, gue tahu. Tapi mau gimana lagi, Vi?" jawabku pasrah.

Tangan Devika berhenti mengupas apel. Dia menatapku tak percaya. "Minimal, lo kesal atau marah gitu sama dia."

"Biar apa?" Aku mengambil pisau dan apel di tangannya, lali melanjutkan kupasan Devika. "Marah-marah tuh capek tahu, Vi. Gue marah pun ya, percuma. Nggak bakal bikin Mbak Kinan narik balik gue ke tim." Menggigit potongan apel, aku mengimbuhkan, "Mungkin udah saatnya gue pindah ke tim lain. Toh karier gue gitu-gitu aja selama satu tim bareng Mbak Kinan."

"You're right." Devika membenarkan. "Dan yang paling nggak gue habis pikir tuh, Mas Danu kelihatan santai. Kayak don't care too much gitu lho, selama meeting."

Kunyahan mulutku berangsur memelan. Benakku menerawang. Sepertinya, memang benar alasan aku dikeluarkan dari tim karena masalah kemarin. Jika tidak, mustahil Mas Danu setuju-setuju saja dengan keputusan Mbak Kinan.

"Mi, halo!" Devika melambaikan telapak tangannya di depan wajahku sehingga aku terkesiap. Dia mencebikkan bibir, "Malah bengong. Minimal kasih komentar apa kek gitu. Selama ini Lo kan dekat sama Mas Danu."

Malas mengungkit kejadian di ruangan Mbak Kinan, aku menanggapinya dengan mengangkat bahu. Mumet juga kalau aku pikirin. Tidak mungkin juga keputusan mereka berubah dan kembali menarikku ke tim. Que sera, sera. Whatever will be, will be-lah!

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang