7.♡

141 41 38
                                    

Sore di hari Sabtu. Di salahsatu warnet (warung internet). Kacamata bening bertengger di hidung Anita. Gadis ini fokus di depan komputer. Jemarinya lincah menekan tombol-tombol, yang membuat sebuah tulisan artikel tentang indahnya perbedaan dan toleransi antar umat beragama. Dimana artikel ini terinspirasi pengalamannya berteman dengan Marie, dan orang-orang di sekitar tempat tinggal.
Klik. Sekarang file nya telah dia kirim ke alamat email perusahaan majalah tertuju.
Sejak kuliah, Anita lumayan sering menulis artikel untuk dimuat di koran atau majalah. Yang tentu saja dia akan mendapat bayaran. Walau tak besar, tapi baginya lumayan untuk dapat menabung.
Kegiatannya di warnet sudah selesai. Tapi Anita malah termenung. Dalam pikiran, dia masih menyayangkan Marie yang sibuk di akhir pekan ini, dan tidak bisa diajak pergi pada malam minggu. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah selayaknya harus menghargai, bukan hanya memikirkan ego sendiri saja.
Lalu tiba-tiba kedua pasang matanya terbuka lebih lebar. Ada sebuah ide muncul di otaknya. Tak lama muncul senyuman di bibirnya, lalu Anita segera mematikan komputer. Mengemas lagi kamera dan buku ke tas, kemudian pergi dari warnet.

Halaman gereja Santo Petrus. Disinilah sekarang Anita berada. Memarkirkan motor, lalu melangkah menghampiri pastor Leo. Kebetulan beliau sedang ada di halaman depan gereja sendirian. Pastor Leo merupakan pastor senior berasal dari negara Eropa, usianya sudah menuju enam puluh tahun. Anita sudah lama lumayan akrab bertemu sapa dengan nya.
"Selamat sore, pastor,"

Pastor Leo mengulas senyum hangat, "Selamat sore, Anita,"
Dia mengulurkan satu tangan pada Anita.

Mereka bersalaman.

"Apa kabar, nak? Sudah cukup lama kita tidak bertemu, ya," tanya pastor Leo.

"Alhamdulillah, baik. Betul, pastor. Saya baru pulang bekerja di Jakarta. Kalau pastor bagaimana?"

Pastor sempat menepuk pelan tangan Anita.
"Puji Tuhan.. Saya juga baik."

"Syukurlah.. Pastor, mhh, saya kemari berniat meminta izin untuk memotret pemandangan disini." tutur Anita santun. Dia keluarkan kamera Canon powershoot 600 dari tas backpack nya.

"Boleh, Anita.. Silahkan!" jawab pastor Leo ramah.

"Terima kasih, pastor,"

"Sama-sama. Saya permisi, ya, ada urusan,"

"Iya. Silahkan, pastor,"

Pastor Leo melangkah pergi menuju bangunan gereja. Anita melangkahkan kaki di halaman, memotret apapun yang menurutnya menarik. Sembari menunggu kemunculan sosok Marie.

Sore itu sudah pukul lima lebih. Anita masih menunggu, namun Marie tak kunjung terlihat. Dia pun melangkah lagi ke area lain, yaitu asrama biarawati. Benar saja, disana dia melihat Marie dan biarawati lain sedang tampak mempersiapkan selang air untuk menyiram tanaman. Teman Marie telah menyalakan kran, dan Marie bersiap menyiramkan air dari selang ke pohon bunga kamboja yang telah tumbuh besar. Baru lah pada waktu itu Marie mendapati keberadaan Anita, berjarak sekitar lima meter di sekitarnya. Dia melirik.
"Anita?" Spontan nya, tetap dengan tenang.

Anita tersenyum.
"Selamat sore, suster Marie dan suster Lia,"

"Selamat sore," sahut mereka berdua bersamaan.

Sambil menyiram tanaman dekat tembok dengan poci plastik, suster Lia bilang, "Tumben sore-sore begini, Anita.."

"Iya, sus. Saya lagi keliling memotret. Tadi saya sudah bertemu pastor Leo untuk izin memotret pemandangan disini."

Suster Lia melirik kagum pada kamera Canon milik Anita.
"Oh.. Kalau saya mau difoto juga, apa boleh?"

"Boleh. Ayo, suster Lia dan suster Marie bisa coba berdiri di dekat pohon bunga! Pasti bagus,"

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang