17.♡

171 42 64
                                    

Dalam kesunyian malam. Deraian air mata Anita mengiringi untaian doa yang sekarang ia panjatkan setelah beribadah sholat isya.

Di luar kamar, bu Lina yang awalnya berniat akan meminta Anita membantu nya menutup toko, seketika langsung mengurungkan niat ketika melihat sang anak masih menunduk menutupi wajah oleh kedua tangan nya dibalik mukena, dan sempat terdengar suara isak tangis. Bu Lina beralih pergi kembali ke ruang tv dimana Ilham berada. Kemudian menyuruhnya menutup toko.

Sesaat, bu Lina terpikir, 'Anita sudah makan belum ya?'
Dia pergi ke meja makan, dan menemukan ayam goreng serundeng di piring dibalik tudung saji, lauk pauk kesukaan Anita ternyata masih utuh. Nafasnya berhembus dramatis. Jika sedang begitu, Anita sulit dibujuk.

Mukena telah dilepas. Anita berdiri di jendela, meratapi kidung malam yang semakin gelap, merenungi nasib yang tak berpihak pada dirinya.

Mengenai Marie yang telah berrumah tangga, dan sekarang menempuh pendidikan untuk menjadi seorang biarawati, namun jika dia tidak dapat lulus, bukankah dia akan kembali pada keluarga nya?

Pikiran Anita semakin merana.
Apakah besok dia harus pergi bersama Marie? Bertemu suami dan anak nya?

Dia biarkan dinginnya angin malam mendekap diri.
Getir pahit batin membuat air matanya berlinang lagi.






Hari telah menyongsong pagi. Marie telah berpakaian cantik dengan blouse dress tangan panjang warna putih, dan scarf penutup kepala berwarna salem dihiasi motif bunga. Dia berpamitan pada semua suster untuk pulang kampung beberapa hari. Sekarang sudah pukul setengah tujuh, Marie pergi keluar sambil menenteng tas nya. Sementara para suster pergi sarapan bersama di ruang makan.

Marie edarkan pandangan ke seluruh arah area. Dia bergumam, "Mana ya Anita?"

Dia berjalan lagi ke depan, tak lama, baru lah mendapati kemunculan orang yang ditunggu nya. Senyuman manis Marie terlepas, seraya melambaikan tangan pada gadis itu.

Kaki jenjang nya terus melangkah. Melihat senyuman cantik itu, bersama hati penuh luka, Anita turut mengulas senyum dan melambaikan tangan. Dia betulkan tali tas gendong di bahunya.

"Selamat pagi, suster Marie," sapanya setelah lebih dekat.

"Selamat pagi juga, Anita. Bu Lina mengizinkan?"

"Iya. Ayo, kita berangkat!"

"Ayo!" sahut Marie bersemangat, berjalan disamping Anita.

Mereka berdua akan menunggu angkot untuk pergi ke stasiun kereta api jalur kabupaten Sumedang.
Anita, memandang nanar perempuan pujaan hati disamping nya. Hanya dapat menahan gejolak batin oleh rahasia terpendam nya.
Semalam, dia berpikir, mungkin dengan bertemu suami dan anak Marie nanti, itu akan dapat membantu menghilangkan perasaannya. Tak apa hari ini harus sakit terluka berkali-kali lipat, daripada nanti dia harus berkali-kali lipat kesusahan melupakan Marie dan perasaannya.

Selama di perjalanan dengan menaiki angkot, Marie selalu terkesan atas perlakuan Anita yang begitu perhatian, menjaganya. Padahal dia lebih tua dari Anita.
Sekitar hampir lima puluh menit berlalu, mereka berdua sampai di stasiun kereta Gedebage. Kereta api jalur kabupaten Sumedang muncul tak lama setelah mereka membeli tiket. Dengan semangat Marie menggandeng tangan Anita, bersiap-siap masuk ke kereta.

'Tidak kah kamu tau, suster? Tangan mu menjerat saya dalam seonggok derita cinta rahasia?' batin Anita yang penuh pikiran saling berbenturan.

Marie duduk di kursi dekat jendela. Dia simpan tas nya di atas paha. Begitu pula Anita, duduk disamping, membenarkan posisi duduk dan tas.
Beberapa menit kemudian, kereta melaju meninggalkan stasiun.

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang