15.♡

101 35 40
                                    

27 Desember.
Masih pukul setengah lima. Ketenangan pagi dini hari mengundang hasrat suster Friska untuk bangun dan menikmati kesejukan udara di luar asrama.

Kunci pintu telah dia raih, dan, "Loh? Sudah ada yang buka kunci ya?"

Memang pintu asrama terkadang sudah ada yang membukanya sepagi ini. Jadi, suster Friska tidak heran. Lanjut saja membuka pintu, menapaki teras depan asrama.

Baru hendak menghirup udara, rungu pendengarannya menangkap suara lirih isak tangis dari sisi kiri teras.
Dia menengok. Terlihatlah Marie tengah duduk sendirian di pagar tembok, bersandar pada tiang kayu, memandang sendu langit yang mulai nampak terang.

Suster Friska beranjak menghampiri.
"Suster Marie," tegurnya lembut.

Marie menoleh. Telat menyadari keberadaan senior nya. Mata sembab merah nya sendu. Bibirnya mengulas senyum. Sudah tidak bisa menyembunyikan tangis nya lagi.

Tangan suster Friska mengenggam hangat satu tangan Marie.
"Ada apa..?"

Hatinya masih penuh oleh gelegak emosional. Marie hanya dapat mengatakan, "Merindukan mereka,"

Suster Friska sudah paham. Dia bawa bahu Marie dalam rangkulannya.
"Disana, mereka pasti bahagia dan bangga atas dirimu sekarang yang telah hidup lebih baik, sayang,"

Menetes dalam diam air mata Marie. Kehangatan, ketulusan jiwa suster Friska sungguh terasa hingga sanubari nya. Mengingatkan dirinya pada sang ibu.
Lisan tak dapat berucap. Kepala Marie mengangguk, tangan memeluk suster Friska.

Garasi rumah bu Lina.
Mobil Toyota Corolla Sprinter Trueno keluaran 1983 warisan sang kakek, Anita keluarkan dari garasi. Mobil berdesain ikonik di jamannya inilah yang sudah dia gunakan dua minggu terakhir ini untuk mengantar ibunya berbelanja ke pasar, setelah dia masih trauma mengendarai motornya.

Di depan, bu Lina telah siap. Menenteng tas dengan anggun, rambut diikat rapih.

Sembari membersihkan kaca depan, benak Anita terpikir, 'Kapan-kapan harus ajak suster Marie naik mobil ini,' Mulutnya merapat menahan bibir yang ingin tersenyum sendirian.

Memperhatikan gelahat anaknya, batin bu Lina bertanya-tanya, 'Mikirkeun naon eta budak?' (Mikirin apa itu anak?)

"Udah siap, teh?" tanya nya pada Anita.

Kebetulan sudah selesai. Anita menjawab, "Udah,"

Bu Lina masuk ke mobil, siap pergi ke pasar.

Di perjalanan, diam-diam Anita harus menahan keterkejutannya ketika mendengar bu Lina mengatakan, "Teh, kalau ada apa-apa cerita ke mamah..!"
Intonasi nya lembut. Namun justru karena kelembutannya itu menghadirkan gejolak batin dalam hati Anita.
Jika saja, jika saja bisa.. Anita pasti akan banyak bercerita pada sang ibu. Terutama tentang hatinya dan tentang Marie. Ini yang paling mengisi hidup nya. Akan tetapi, dalam dirinya terlalu banyak hal yang berbeda. Pikirnya masih tidak mungkin untuk dapat dia ceritakan. Karena harapan bu Lina yang berseberangan. Memiliki impian anak perempuan nya ini menikah, berjodoh dengan seorang lelaki, yang pintar, baik, mapan, penuh kasih sayang.
Tidak. Anita tidak dapat menyalahkan sang ibu dan impian nya.
Memikirkan semua itu, sesak dada nya. Anita hanya mampu tersenyum dan menyahut, "Iya, mah."
Kemudian dia nyalakan radio mobil untuk mengalihkan suasana.

Benar saja, dua menit berlalu sama-sama mendengarkan berita di radio yang mengabarkan bahwa krisis moneter masil berlangsung, bu Lina curhat mengenai pikirannya perihal Ilham yang akan masuk kuliah tahun depan. Yang mana soal biaya menjadi hal utama. Dengan kondisi ekonomi negara saat ini, dia jadi dirundung kekhawatiran. Sebetulnya Anita juga turut khawatir. Tapi dia berusaha optimis.
Dia sampaikan pada sang ibu, "Mamah gak perlu terlalu khawatir! Kalo nanti ada apa-apa mah, tabungan Anita bisa kok bantu kuliah nya Ilham,"

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang