3.♡

141 48 23
                                    

Rusli, Abas, dan Edi saling melirik.

Mereka mengerti jika sebenarnya Anita sendiri tau, paham, bahwa pilihan kapan menikah itu adalah hak pribadi, tidak salah dengan belum ada kemauan kapan bisa menikah. Pikiran Anita pasti sedang terganggu lagi. Mereka bertiga mengerti, biasalah, perempuan memang lebih rawan dengan tuntutan, pertanyaan soal menikah dan usia.

Abas menuturkan, "Nit.. Gak masalah kalo kamu teh belum mau nikah. Nanti kalau udah takdir waktu nya mau mah ya bakal mau sendiri."

"Bener, nit." timpal Rusli.
"Gak salah. Sekarang mah udah banyak hal yang bisa dilakukan perempuan. Sudah bukan seperti jaman dulu lagi yang biasa tau nya hanya perempuan mah ngurus rumah sajah."

Edi mengangguk sepakat. Dia menepuk pelan pundak Anita, memberi semangat.

Senyuman muncul di bibir Anita. Dia acungkan kedua jempol pada mereka.

Motor Honda Astrea Anita melaju pelan di depan kompleks gereja Katedtral St. Petrus. Sebenarnya dia sendiri masih tidak paham mengapa dirinya bisa memutuskan pergi kesini. Padahal jarak dari warung kopi tadi lebih dekat ke rumah nya dengan lewat gang jalan lain daripada ke sini. Tapi tetap saja pandangannya tak bisa diam memperhatikan sekitar. Mencari entitas seseorang yang sekarang muncul diantara ramainya anak-anak murid SD yang hendak pulang bersama diantar bus sekolah.
Dia lah Marie.
Dari balik pagar tembok, Anita duduk di motornya, memperhatikan Marie dari jauh. Terkagum-kagum sendiri melihat keceriaan Marie bersama anak-anak dengan nampak begitu jiwa keibuan. Sedang asik sendiri, Anita baru sadar jika Marie telah melihat keberadaannya.

'Yah! Ketahuan!' kagetnya sendiri.
Anita berusaha terlihat tetap tenang, lalu memperlihatkan senyum tipisnya untuk membalas senyum sapaan Marie dari sana. Kemudian Marie terlihat sibuk lagi, pergi bersama dua biarawati lain kembali menuju gedung sekolah.

Anita kini telah melajukan lagi motornya untuk pulang. Tapi kali ini, dia berkendara dengan bibir yang tak henti mengembangkan senyuman. Walau dia tidak tau juga, mengapa perasaannya senang gembira seperti ini sejak tadi bertemu sapa dengan Marie lewat senyuman.

Tiba lah hari agenda demo mahasiswa dan aktivis. Pagi-pagi sekali Anita sudah bangun untuk beribadah solat, mandi, menyiapkan tas, menyempatkan diri mengantar bu Lina berbelanja ke pasar, lalu membantu di toko. Dia, bu Lina, dan Ilham juga menikmati nasi wuduk bersama di toko sambil menonton tv.

"Teh, cenah ayeuna rek aya demo di gedung sate?" tanya Ilham pada Anita selesai makan.
(Teh, katanya sekarang bakal ada demo di gedung sate?)

Anita, "Enya. Sakeudeung deui rek berangkat. Naha maneh apal?"
(Iya. Bentar lagi mau berangkat. Kok kamu tau?)
Kemudian dia meneguk air minum di gelas kaca putih.

"Ilham tea atuh! Tau lah..!" jawab Ilham begitu santai.

Anita geleng-geleng kepala. Sementara bu Lina kini sedang mengangkat telpon.

Melihat ibunya sekarang mengumpulkan beberapa belanjaan ke kantong keresek besar, Ilham bertanya, "Aya pesenan ti saha, mah?"
(Ada pesanan dari siapa, mah?)

Bu Lina menjawab, "Ti gereja,"
(Dari gereja)

Mendengar itu, Anita refleks bangkit, beranjak menghampiri sang ibu.
"Mah, dianteur ku abi war ieu mah,"
(Mah, diantar sama aku aja ini mah)

Bu Lina sih senang saja, apalagi Ilham. Ilham senang karena masih bisa bersantai lanjut menikmati teh manis nya.

Suara senandung dari mulut Anita tak henti-henti nya selama perjalanan menuju gereja. Mengantar belanjaan pesanan, sembari memanfaatkan kesempatan bertemu sosok Marie. Yang telah mencuri perhatiannya beberapa hari ini, sampai selalu teringat lagi.

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang