☆
Sedang melayani pelanggan yang baru datang, Ilham dapat melihat Marie sudah keluar dari rumah, kembali pergi ke gereja.
Beruntung ketika dia lupa harga seperempat terigu, teringat ada buku daftar harga di meja. Dia segera mengeceknya. Ilham merasa lega, senang. Lantaran kali ini dia tidak perlu mengganggu ibunya lagi.Selesai melayani pembeli, dia menaruh dan merapihkan uang di laci.
"Ada yang beli?" tanya bu Lina dari belakang.
"Iya, mah. Bi Saroh, sama tadi teh Yulis."
Bu Lina anggukan kepala. Bangga si anak bungsu dapat menjaga toko dengan baik. Kemudian beranjak mengambil satu sachet susu coklat yang tergantung.
"Gimana si teteh mah?" tanya Ilham menanyakan keadaan Anita.
Sempat terdengar nafas lega bu Lina. Jawabnya, "Alhamdulillah, setelah diajak ngobrol sama suster Marie, teteh kamu sekarang udah mau makan. Ini mamah mau buatin susu."
Ilham ikut merasa lega.
Sesaat setelah ibunya pergi, dia jadi terpikir, 'Apa seberpengaruh itu suster Marie bagi si teteh? Kenapa ya? Mereka deket? Temenan?'
Merasa tidak kesampaian oleh otaknya, Ilham memilih abai. Yang penting sekarang bersyukur kakaknya sudah mau makan.Sore hari telah menyapa.
Jendela terbuka lebar, ruang kamar bernuansa warna putih itu masih cukup tersedia banyak oksigen. Anita dijenguk oleh teman-temannya. Untung saja kamarnya tidak kecil. Masih cukup menampung Edi, Abas, Rusli, Sopyan, dan Rika. Dengan mental yang masih terguncang, Anita menceritakan semampu nya saja. Dan mereka semua terkejut. Apalagi setelah mengetahui motif para pelaku menangkapnya tadi malam."Bener-bener edan!!" geram Rika.
Sebagai sesama perempuan, dia turut sangat berempati atas apa kejadian yang menimpa Anita, dan mengecam para pelaku, terutama orang yang menjadi dalang utama.Rika dan yang lain sangat mendukung jika kasus ini dilaporkan dan mengambil jalur hukum. Tetapi, lagi-lagi itu sangat beresiko. Terlebih lagi, Anita telah mendapat ancaman penghilangan nyawa.
Rusli dan Abas sampai tidak dapat menahan air mata yang diam-diam jatuh.
"Maafkan kita, Anita," ungkap Abas.
Anita memandang sarat pertanyaan. "Apa?"
Abas melanjutkan, "Harusnya, semalam kita teh tetap pulang bersama. Gak lanjut pergi ngebiarin kamu sendirian."
Teman-temannya ikut berpikir sama. Penyesalan tampak jelas di wajah mereka.
"Iya, Anita," sesal Edi sedih.
Kepala Anita menggeleng. Menatap haru mereka semua.
"Tapi kemarin malam, aku yang memang menyuruh kalian pergi duluan. Ini...- ini salah ku sendiri," tutur Anita diiringi deraian air mata.
"Ini karena aku menulis protes tentang pemerintah di blog."Rika rangkul Anita. Menenangkannya yang gemetar menahan tangis.
"Enggak, nit.. Yang kamu lakukan gak salah. Aku baca blog kamu. Gak ada yang perlu kamu salahkan atas dirimu sendiri.""Bener, nit. Jangan salahin diri kamu begitu..! Kita kan punya hak bersuara. Kita, rakyat, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini." tutur Sopyan bersemangat.
"Pemerintah kita saja yang bobrok!" timpal Rusli.
Edi bersandar di dinding. Menghela nafas berat sebelum mengatakan, "Katanya negara ini negara demokratis, tapi dikritik begitu saja sampai melakukan pembungkaman!"
Yang kemudian disepakati teman-temannya.
Rika mengusap pundak Anita. "Nanti biar aku dan Sopyan yang bantu hapus tulisan itu, nit."
KAMU SEDANG MEMBACA
[NEW] Rahasia Mereka
RomanceKamu ingin mengetahui semuanya, & saya tau itu bisa terasa luar biasa, atau menakutkan akan hal-hal tidak pasti, atau yang tidak diketahui. Tapi ketahuilah, bahwa yang tidak diketahui tidak selalu harus merasa seperti ini. Mungkin kali ini; yang tid...