BAB 5 : "Pintu kedua Membongkar Bayangan Masa Lalu"

55 31 6
                                    

Arga memasuki ruangan berikutnya dengan perasaan yang campur aduk. Kegelapan di balik pintu tidak lagi mengintimidasinya, melainkan terasa seperti selimut yang hangat dan akrab. Cahaya lembut dari boneka di tangannya masih menerangi jalannya, namun semakin ia melangkah, ia merasakan energi yang berbeda dari sebelumnya. Seolah-olah ruangan ini dipenuhi oleh kekuatan yang lebih kuat, lebih berat.

Ruangan yang ia masuki jauh lebih besar daripada yang sebelumnya, dengan dinding-dinding tinggi yang dipenuhi ukiran aneh. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah cermin besar, setinggi manusia dewasa, dengan bingkai yang dihiasi ornamen menyeramkan, seperti tangan-tangan kecil yang meraih dari sisi cermin, seakan mencoba menarik seseorang ke dalamnya.

Arga mendekati cermin itu dengan hati-hati, perasaan tegang kembali menyelimuti dirinya. Namun, meski begitu, ia tahu bahwa cermin itu penting. Seperti boneka yang menyimpan masa lalunya, cermin ini tampaknya memiliki hubungan dengan sesuatu yang lebih dalam di dalam dirinya.

Saat Arga berdiri tepat di depan cermin, ia menatap bayangannya sendiri. Namun, yang ia lihat bukan hanya dirinya. Sosok di dalam cermin tampak lebih muda, tampak seperti dirinya yang dulu, sebelum semua rasa kehilangan dan kesedihan datang.

"Apa... ini?" bisik Arga, sedikit terkejut melihat bayangan tersebut.

Bayangan itu tersenyum tipis, namun bukan senyuman yang menyenangkan. Wajah itu kemudian berubah, perlahan-lahan menunjukkan ekspresi yang lebih serius, lebih dingin. Arga mundur sedikit, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Tiba-tiba, bayangan itu bergerak, meskipun Arga tetap diam. Sosok itu mengulurkan tangannya ke arah Arga dari balik cermin, dan meskipun Arga tahu ia seharusnya merasa takut, ada sesuatu yang membuatnya ingin meraih tangan itu.

"Arga, jangan," terdengar suara lembut perempuan bergaun putih dari belakangnya. Perempuan itu kembali muncul, wajahnya tampak lebih khawatir daripada sebelumnya. "Cermin itu tidak seperti boneka. Ini adalah refleksi dari semua yang kau tolak dalam dirimu,rasa marah, ketakutan, dan keraguan. Jika kau menyentuhnya sebelum waktunya, kau mungkin akan terjebak dalam kegelapan hatimu sendiri."

Arga memandang perempuan itu, lalu kembali ke cermin. "Jadi, ini adalah bagian lain dari diriku? Apa yang harus kulakukan?"

Perempuan itu mendekat, berdiri di samping Arga sambil memandang ke arah cermin. "Cermin ini hanya bisa kau lewati jika kau menerima semua yang ada di dalamnya. Semua perasaan yang telah kau abaikan, yang telah kau tolak. Ini bukan soal menemukan kebenaran masa lalu lagi, tapi tentang menghadapi dirimu yang sesungguhnya,dirimu yang takut, dirimu yang marah, dan dirimu yang rapuh."

Arga terdiam. Kata-kata perempuan itu membuatnya berpikir tentang semua momen ketika ia merasa tidak cukup baik, ketika ia merasa kecewa pada dirinya sendiri atau orang lain. Semua rasa frustrasi yang selama ini ia simpan dalam hati, semua rasa takut yang ia sembunyikan di balik wajah tenangnya. Dan sekarang, semua itu ada di sini, di hadapannya.

"Bagaimana jika aku tidak bisa menerimanya?" tanya Arga pelan. "Bagaimana jika aku tidak siap untuk menghadapi semua ini?"

Perempuan itu tersenyum lembut, tatapannya penuh pengertian. "Kau tidak harus siap sepenuhnya. Yang penting adalah kau berani mencoba. Tidak ada yang sempurna dalam perjalanan ini, Arga. Setiap langkah yang kau ambil sudah membawa dirimu lebih dekat pada jati dirimu yang sebenarnya."

Arga menatap cermin itu lagi. Bayangan di dalamnya kini tampak lebih tenang, meskipun tetap menatapnya dengan intensitas yang sama. Arga merasakan sesuatu dalam dirinya yang ingin menyerah, namun juga ada dorongan kuat untuk melangkah maju. Ia tahu bahwa jika ia ingin melanjutkan perjalanannya, ia harus menghadapi apa yang ada di dalam cermin ini.

Dengan napas yang dalam, Arga mengulurkan tangannya, menyentuh permukaan cermin. Begitu tangannya menyentuh cermin itu, bayangan di dalamnya tersenyum lebar, lalu cermin tersebut bergetar hebat. Seluruh ruangan bergetar seolah-olah akan runtuh, dan Arga merasakan sesuatu yang hangat merembes ke dalam dirinya-seperti rasa marah, ketakutan, dan kesedihan yang ia coba hindari selama ini mulai menyatu dengan dirinya.

Ruangan itu mulai berubah. Cermin yang ada di depannya menghilang, dan ia menemukan dirinya berdiri di tempat yang sangat berbeda,di sebuah taman yang damai, penuh dengan bunga-bunga berwarna cerah. Di tengah taman itu ada bangku, dan di atasnya duduk sosok kecil yang sangat ia kenal: dirinya sendiri, saat masih anak-anak, dengan boneka di tangan.

Arga mendekati sosok itu, dan anak kecil itu menoleh padanya. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, namun tatapan anak itu berbicara banyak. Arga tahu bahwa ini adalah dirinya yang paling murni, dirinya yang penuh harapan dan kebahagiaan, sebelum dunia memberinya rasa sakit yang begitu dalam.

Dengan perlahan, Arga duduk di samping anak itu. Ia merasakan air mata hangat mengalir di pipinya, namun kali ini bukan karena rasa sedih atau takut. Ini adalah air mata penerimaan-penerimaan terhadap segala sesuatu yang telah ia lalui, baik yang baik maupun yang buruk.

Anak kecil itu tersenyum padanya, lalu meletakkan boneka yang dipegangnya di pangkuan Arga. "Jaga ini," katanya pelan. "Ini milikmu."

Arga mengangguk, mengambil boneka itu dan merasakannya lebih ringan dari sebelumnya. Ketika ia bangkit dari bangku, anak kecil itu sudah tidak ada lagi. Namun, Arga tahu bahwa ia tidak benar-benar pergi,anak itu kini selalu ada di dalam dirinya, bagian dari siapa ia sebenarnya.

Arga kembali melangkah keluar dari taman, dan saat ia melakukannya, ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa lebih ringan, lebih kuat, dan lebih siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depannya.

Pintu besar lain kini terbuka di hadapannya, namun kali ini, Arga melangkah maju tanpa ragu.

SANG BONEKA KERAJAAN [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang