Arga melangkah lebih jauh ke dalam hutan yang kelam, di mana cahaya bulan semakin redup. Setiap detak jantungnya terasa menggema dalam kesunyian malam, menciptakan irama yang mengiringi langkahnya. Dia tahu, tantangan yang dihadapi bukan hanya sekadar kegelapan fisik, tetapi juga bayangan yang tersembunyi di dalam jiwanya.
Di tengah perjalanan, sosok Nisa masih tampak berdiri di kejauhan, cahaya di sekelilingnya memberikan aura harapan yang kuat. “Arga, kau harus berani menatap kegelapan dalam dirimu,” ujarnya. “Semua yang kau hindari akan muncul ke permukaan jika kau tak bersedia melawan.”
Terdengar bisikan lembut dari dalam hati Arga. Kata-kata Nisa menggugah keberanian yang selama ini tertahan. “Aku akan melawan,” ia berkata pada dirinya sendiri. Dalam benaknya, terbayang semua ketakutan dan kegagalan yang selama ini membelenggu. Tak ada jalan mundur, ia harus terus maju.
Mendadak, bayangan hitam muncul dari balik pepohonan. Semakin mendekat, Arga bisa melihat sosok itu lebih jelas. Itu adalah manifestasi ketakutannya—sebuah boneka hitam besar, dengan wajah yang kabur dan gerakan yang menyeramkan. Boneka itu bergerak seolah-olah memiliki kehidupan sendiri, dan setiap langkahnya menimbulkan rasa ngeri dalam hati Arga.
“Siapa kau?” teriak Arga, berusaha menantang meski tubuhnya bergetar. Boneka itu menjawab dengan suara yang dalam dan bergetar, “Aku adalah ketakutanmu, Arga. Setiap kenangan yang ingin kau lupakan, setiap luka yang tak ingin kau hadapi, aku ada di sini untuk menuntut perhatianmu.”
Arga merasa terperangkap. Dalam sekejap, kenangan akan kegagalan masa lalu dan rasa cemas yang selama ini ia sembunyikan muncul kembali. “Tidak! Aku tidak ingin merasakannya lagi!” Ia meronta, tetapi semakin ia berusaha melarikan diri, semakin mendekat boneka itu.
“Tidak ada cara untuk melupakan. Kau harus menghadapi aku,” boneka itu berkata, suaranya mengalun penuh tantangan. Arga merasakan dinding-dinding mentalnya mulai runtuh, dan ia terpaksa harus menghadapi bayangannya sendiri.
“Baiklah!” serunya dengan semangat baru. “Jika ini adalah pertempuran yang harus aku hadapi, maka aku akan melakukannya!” Arga melangkah maju, berusaha meneguhkan hatinya.
Boneka itu bergetar, dan dalam sekejap, ia mulai mengeluarkan bayangan-bayangan dari dirinya. Setiap bayangan adalah momen yang menyakitkan dalam hidup Arga, saat ia merasa tidak cukup baik, ketika harapan bertransformasi menjadi keputusasaan. Arga menutup matanya sejenak, mencoba mengingat semua yang telah dilalui, semua pelajaran berharga yang telah ia petik.
“Semua ini bukan untuk menghancurkanmu, tetapi untuk membawamu kepada kekuatan yang sebenarnya,” suara Nisa kembali bergema dalam pikirannya. Arga membuka matanya, melihat ke arah boneka yang kini tampak lebih besar dan lebih menakutkan.
“Jika aku harus menghadapimu, maka aku akan melakukannya dengan sepenuh hati,” katanya, berusaha menemukan kekuatan dari dalam dirinya. “Aku menerima setiap bagian dari diriku, baik yang terang maupun yang gelap.”
Sebagai respons, boneka itu terdiam sejenak. Sepertinya, pernyataan Arga mengguncang dasar kegelapan yang menyelimutinya. Tiba-tiba, suasana hutan berubah. Cahaya bulan menembus kabut, menerangi jalan di hadapan Arga. “Apakah itu kau yang berani menerima dirimu sendiri?” boneka itu berbisik.
“Ya, aku adalah Arga, dan aku tidak akan melarikan diri lagi,” ia menjawab dengan keyakinan. Dalam sekejap, boneka itu mulai memudar, bayangannya bertransformasi menjadi serpihan cahaya yang berkilau, hingga akhirnya menghilang sepenuhnya.
Arga tertegun sejenak, merasakan gelombang kebebasan mengalir dalam dirinya. Dalam kegelapan, ia telah menemukan bagian dari dirinya yang hilang—keberanian untuk menghadapi ketakutan, dan penerimaan atas diri sendiri. Di saat itu juga, sosok Nisa mendekat, senyumnya memancarkan kehangatan.
“Sekarang kau telah melangkah ke dalam terang, Arga,” katanya lembut. “Setiap langkah yang kau ambil menuju diri sendiri adalah langkah menuju kebangkitan. Kini, kau siap untuk menyelesaikan teka-teki dan menemukan kekuatan yang terpendam.”
Arga merasa seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Dengan semangat baru, ia bertanya, “Apa langkah berikutnya?”
Nisa menatap jauh ke dalam kegelapan yang masih ada. “Kau harus mencari simbol-simbol yang terukir di lingkaran, dan setiap simbol akan membimbingmu menuju kebenaran yang lebih dalam tentang dirimu dan perjalananmu.”
Dan saat mereka berdua melangkah bersama, Arga merasakan bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Di balik setiap kegelapan, ada harapan; di balik setiap ketakutan, ada kekuatan. Cakrawala yang tak terduga kini menghampar di depan mata, dan Arga bertekad untuk menghadapinya dengan sepenuh hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG BONEKA KERAJAAN [End]
FantasiDi sebuah lembah yang jauh dari pandangan dunia, berdiri sebuah kastil megah yang tampak begitu indah namun penuh dengan keheningan. Dikelilingi oleh taman-taman yang dulu berwarna-warni, kini berubah menjadi rimbunan tanaman liar yang tak terurus...