BAB 9 : "Kembali ke Kenangan"

45 30 10
                                    

Suara pintu yang tertutup terdengar bergema di seluruh ruangan, menciptakan keheningan yang begitu pekat. Kegelapan di depan Arga tampak mencekam, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih mengerikan dari yang bisa ia bayangkan. Udara di dalam ruangan terasa lebih dingin, dingin yang menusuk hingga ke tulang. Arga mengusap tangannya yang gemetar, berusaha menguatkan dirinya. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan yang membuatnya semakin tidak nyaman dan sesuatu yang pernah ia rasakan bertahun-tahun lalu.

Saat matanya mulai terbiasa dengan kegelapan, bayangan samar dari benda-benda di sekitarnya mulai terlihat. Ruangan itu tampak seperti gudang tua yang dipenuhi oleh barang-barang usang. Di setiap sudut, ada furnitur tua yang tertutup debu, gorden lusuh yang bergantung, serta rak-rak yang penuh dengan benda-benda tak dikenal. Namun, yang paling menarik perhatian Arga adalah sebuah boneka tua yang duduk di atas kursi goyang di tengah ruangan.

Boneka itu, meskipun tampak tak bergerak, memiliki tatapan yang begitu menakutkan. Mata kacanya berkilauan di bawah cahaya remang-remang, menatap langsung ke arah Arga. Gaunnya yang lusuh dan penuh debu membuatnya terlihat seperti boneka yang sudah ditinggalkan berpuluh-puluh tahun lalu.

"Boneka ini... kenapa ada di sini?" gumam Arga sambil melangkah mendekat, perlahan, seolah takut sesuatu akan terjadi. Namun, di saat yang sama, ada kilasan memori yang menyeruak ke dalam pikirannya. Boneka itu bukanlah sekadar barang antik di ruangan ini. Arga mengenali boneka itu. Itu adalah boneka yang pernah diberikan kepadanya oleh seseorang di masa lalu dan seseorang yang kini hanya menjadi bayangan samar di ingatannya.

Tiba-tiba, suara lantai kayu berderit di belakangnya, membuat Arga membalikkan badan dengan cepat. Namun tak ada siapa pun di sana. Hanya kegelapan yang tampak menunggu. Arga menarik napas dalam, berusaha menenangkan hatinya yang berdebar kencang. Tapi perasaannya tidak bisa dibohongi ruangan ini menyimpan lebih dari sekadar benda-benda usang. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang selama ini ia lupakan.

Arga kembali menatap boneka di depannya. Ia ingat sekarang, boneka itu adalah milik seseorang yang penting di masa kecilnya. Seseorang yang selalu bersamanya, yang dulu sering menemaninya di saat ia merasa kesepian adalah saudarinya.

Tiba-tiba, suara tawa kecil, samar dan jauh, terdengar dari sudut ruangan. Arga merinding, mengenali suara itu. Itu adalah suara yang pernah sangat akrab di telinganya, suara saudarinya, Nisa. Arga menggeleng, menolak mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Nisa sudah lama pergi sejak kecelakaan yang tak pernah bisa ia lupakan.

"Kau tahu kau harus menghadapinya," bisik sebuah suara di kepalanya. Suara itu bukan berasal dari siapa pun, melainkan dari dirinya sendiri. Suara yang terus mengingatkannya pada rasa bersalah yang selalu ia coba lupakan.

Arga mundur, mencoba menjauh dari boneka itu, tetapi tatapannya tidak bisa lepas dari benda tersebut. Ingatan tentang Nisa muncul begitu jelas sekarang,tentang bagaimana ia merasa bersalah karena kecelakaan yang menewaskan saudarinya terjadi saat mereka masih kecil. Pada saat itu, Arga merasa dirinya yang bertanggung jawab karena ia tidak menjaga Nisa dengan baik.

Rasa bersalah itu terus menghantui Arga hingga kini. Boneka yang ada di depannya ini adalah simbol dari masa lalunya, simbol dari kenangan yang selalu ia coba hindari. Namun, sekarang boneka itu muncul kembali, mengingatkannya bahwa ia tak bisa lagi lari dari apa yang terjadi.

Langkahnya terhenti saat boneka itu mulai bergoyang sendiri di atas kursi goyangnya. Suara kayu yang bergesekan dengan lantai semakin nyaring, seperti sengaja menarik perhatian Arga. Ketika ia menatap boneka itu lagi, matanya melebar. Mata kaca boneka itu sekarang menatapnya dengan cara yang berbeda, seolah hidup, mengikutinya.

"Ini tidak mungkin...," Arga berbisik ketakutan, punggungnya bersandar pada dinding dingin di belakangnya. Tetapi suara tawa kecil itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan semakin mendekat.

Dalam kepanikannya, Arga berlari ke arah pintu yang ia masuki sebelumnya. Ia menarik gagang pintu dengan keras, tetapi pintu itu tidak mau terbuka. Ruangan ini, seperti dirinya, tak ingin membiarkannya pergi sebelum ia menghadapi apa yang sebenarnya terjadi.

"Arga..." Suara lembut namun menyeramkan terdengar di belakangnya, membuatnya membeku. Itu bukan hanya suara Nisa, melainkan suara yang penuh dengan emosi yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Arga menoleh perlahan, dan di sana, berdiri di depan cermin besar yang tadinya kosong, adalah sosok Nisa atau setidaknya sesuatu yang menyerupai nya.

Nisa yang berdiri di sana terlihat seperti versi yang lebih tua dari apa yang ia ingat, tetapi wajahnya begitu muram dan penuh dendam. Mata mereka bertemu, dan Arga merasakan beban yang begitu besar menghantam dirinya. Sekarang ia ingat semuanya. Hari kecelakaan itu. Hari di mana ia dan Nisa bermain di tepi tebing. Arga terlalu sibuk dengan dunianya sendiri saat itu, terlalu ceroboh, sehingga ia gagal menjaga Nisa. Dan ketika Nisa terjatuh, Arga hanya bisa menyaksikan, tak berdaya.

"Nisa... aku..." Suaranya tersendat, dadanya terasa sesak oleh rasa bersalah yang semakin kuat.

Sosok Nisa tidak menjawab, hanya menatap Arga dengan tatapan yang begitu menusuk. Dan di saat itu juga, boneka di kursi goyang itu tiba-tiba jatuh ke lantai dengan bunyi keras, seakan mengakhiri semua permainan yang selama ini terjadi di kepala Arga.

"Aku tahu sekarang," kata Arga pelan, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu aku harus berhenti lari. Maafkan aku, Nisa."

Tiba-tiba, sosok Nisa memudar, seperti asap yang perlahan lenyap di udara. Boneka di lantai juga berhenti bergerak, kembali menjadi sekadar boneka tua yang tak bernyawa.

Arga terjatuh ke lantai, tubuhnya terasa begitu lelah. Tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa sedikit lebih ringan.

SANG BONEKA KERAJAAN [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang