Hujan mulai turun saat Arga terus berlari meninggalkan pondok di tengah hutan. Air hujan menampar wajahnya, namun dinginnya tidak bisa mengalahkan ketakutan yang menggenggam erat jiwanya. Nafasnya masih tersengal-sengal, tapi ia tidak berani berhenti. Bayangan boneka itu, tawa yang membekukan darahnya, serta suara Nisa yang berubah menjadi sesuatu yang kelam, terus menghantuinya. Seolah-olah mereka semua mengejarnya, menjelma menjadi makhluk tak kasat mata yang siap menyeretnya kembali ke kegelapan.
Arga memaksa tubuhnya untuk terus bergerak, meski kakinya sudah terasa berat dan tanah yang basah semakin licin di bawah sepatunya. Langkahnya mulai melambat, tubuhnya kaku, dan ia tahu bahwa ia tidak akan mampu terus berlari lebih lama lagi. Di depan matanya, samar-samar ia melihat sebuah cahaya kecil yang berkedip dari arah jalan setapak di antara pepohonan. Harapannya bangkit, dan ia berusaha mencapai titik terang itu dengan sisa tenaga yang ia miliki.
Namun, semakin dekat ia mendekati cahaya tersebut, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Dunia di sekelilingnya tiba-tiba berubah. Cahaya yang tadi tampak seperti lampu menjadi semakin pudar, dan langit yang semula kelabu kini berubah menjadi gelap pekat, seperti malam tanpa bulan dan bintang. Arga berhenti, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Ia melihat sekeliling, dan perasaannya semakin tidak nyaman. Pohon-pohon tampak lebih besar dan menakutkan, seperti raksasa yang mengawasi pergerakannya.
Suara tawa kecil yang samar kembali terdengar, seolah datang dari balik kegelapan. Kali ini tawa itu lebih jelas, seperti berasal dari seseorang yang sedang berdiri di belakangnya. Dengan penuh rasa takut, Arga menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Tapi ia tahu, sesuatu atau seseorang ada di sana. Ketakutannya semakin menjadi, dan ia merasa ada sesuatu yang bergerak di antara bayangan pepohonan.
Tiba-tiba, dari kegelapan itu, muncul sosok yang membuat tubuhnya menegang. Nisa. Ia berdiri beberapa meter di depannya, mengenakan gaun yang dulu selalu dipakai saat mereka masih anak-anak. Wajahnya pucat, lebih pucat dari ingatan Arga. Mata Nisa tidak memancarkan keceriaan seperti dulu. Alih-alih, mata itu kosong, seperti tidak memiliki jiwa. Ia berdiri kaku, seperti patung, tidak bergerak sama sekali.
"Nisa?" suara Arga bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokannya. Ia berharap ini hanya ilusi, atau mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi sosok di depannya tidak hilang. Ia tetap di sana, diam dan mengerikan.
Sekonyong-konyong, Nisa tersenyum. Senyum itu tidak membawa kedamaian, melainkan kengerian. Perlahan, ia mengangkat tangannya dan menunjukkan sesuatu kepada Arga. Di tangannya tergenggam boneka yang sama, boneka lusuh dengan mata kancing hitam yang tadi ia temukan di hutan. Arga ingin melangkah mundur, tapi kakinya seperti terpaku ke tanah.
"Nisa... kenapa kamu di sini?" tanyanya, meski ia tahu sosok itu bukanlah Nisa yang ia kenal. Tidak ada respons. Hanya senyum menyeramkan yang masih menghiasi wajah pucat itu. Lalu, tanpa peringatan, Nisa mulai mendekat. Langkahnya pelan, tapi pasti. Dan setiap kali ia melangkah, suara tawa kecil itu kembali bergema, semakin keras, semakin dekat.
Arga panik. Tubuhnya kaku, seolah terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung. Sosok Nisa semakin dekat, dan ia bisa merasakan hawa dingin yang keluar dari tubuhnya. Ketika Nisa berada hanya beberapa inci dari wajahnya, boneka di tangannya bergerak. Mata kancing hitam boneka itu tiba-tiba berkilat, dan boneka itu jatuh dari tangan Nisa ke tanah dengan suara yang memekakkan telinga.
Saat boneka itu menyentuh tanah, sesuatu yang lebih menyeramkan terjadi. Dari dalam boneka, keluar bayangan hitam pekat yang berputar-putar di udara, seperti asap yang membentuk sosok menyeramkan. Bayangan itu bergerak cepat, menyerang Arga, membuatnya terhuyung mundur. Ia menjerit, tapi suaranya tercekik oleh ketakutan yang melingkupinya.
Tiba-tiba, semua gelap. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Hanya kegelapan dan kesunyian yang menusuk.
Arga membuka matanya perlahan, dadanya terasa sesak. Ia tidak lagi berada di hutan. Di sekelilingnya hanya ada ruangan kecil dengan dinding-dinding kayu yang rapuh. Pondok tua itu. Bagaimana mungkin? Ia yakin tadi sudah meninggalkan pondok itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia memegang kepalanya yang berdenyut, mencoba mengingat apa yang baru saja dialaminya.
Di sudut ruangan, boneka itu kembali ada. Masih di sana, dengan mata kancing hitam yang kini tampak lebih gelap dari sebelumnya, seakan menyerap semua cahaya di sekitarnya. Arga merasa kepalanya berputar, dan suara tawa itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, lebih dekat, hingga membuatnya merinding.
Perlahan, pintu pondok terbuka dengan sendirinya, mengundang kegelapan di luar untuk masuk. Arga tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan mimpi buruk. Tubuhnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menariknya kembali ke tempat di mana semua ini dimulai. Ia harus menemukan jalan keluar tapi bagaimana?
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, Arga mencoba bangkit, namun setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berjalan dalam lumpur yang menjerat. Boneka itu tetap diam, tapi Arga tahu, ia sedang diawasi. Sesuatu sedang menunggunya, sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar kenangan masa lalu.
Arga mengumpulkan keberanian dan melangkah menuju pintu. Ia tidak tahu apa yang ada di luar, tetapi ia tahu satu hal: ia tidak bisa tinggal di pondok itu lebih lama lagi. Boneka itu mungkin hanya awal dari sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang menginginkan lebih dari sekadar rasa bersalah.
Saat ia melangkah keluar, ia menyadari bahwa ini bukan hanya tentang dirinya dan Nisa. Ada kekuatan yang lebih besar di balik semua ini. Dan apa pun itu, Arga harus menemukan cara untuk menghadapinya sebelum semuanya benar-benar terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG BONEKA KERAJAAN [End]
FantasyDi sebuah lembah yang jauh dari pandangan dunia, berdiri sebuah kastil megah yang tampak begitu indah namun penuh dengan keheningan. Dikelilingi oleh taman-taman yang dulu berwarna-warni, kini berubah menjadi rimbunan tanaman liar yang tak terurus...