Malam semakin larut, tetapi Arga tidak bisa menemukan ketenangan. Suara napasnya masih terdengar menggema di telinganya, seolah mengingatkan akan kengerian yang baru saja ia alami. Ia terus melangkah menjauh dari pondok, berusaha mengabaikan rasa dingin yang mencengkeram tulang-tulangnya. Namun, bayangan sosok Nisa masih terbayang jelas dalam benaknya wajah pucat, gaun compang-camping, dan tatapan kosong yang memancarkan kebencian.
Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat. Kakinya seolah terbenam dalam ingatan pahit tentang boneka yang membawa malapetaka dan simbol terkutuk yang mengubah segalanya. Hutan yang dulunya tampak akrab kini berubah menjadi labirin yang menakutkan, di mana setiap pepohonan tampak beringas dan setiap bisikan angin seolah menyampaikan ancaman.
Di tengah kegelapan, Arga merasakan sesuatu yang tak biasa. Ada getaran halus di udara, seolah ada yang mengawasi pergerakannya. Ia menahan napas, berusaha mendengarkan dengan saksama. Suara langkah kaki itu, langkah yang sama yang ia dengar sebelum sosok Nisa muncul, kini kembali menghantuinya. Namun kali ini, ia tidak berani menoleh.
“Siapa di sana?” Tanyanya, suaranya terdengar lebih lemah daripada yang ia harapkan. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyesakkan. Arga berusaha mempercepat langkahnya, tetapi tanah di bawahnya tampak berubah menjadi semakin menakutkan. Tanah yang keras seakan menyedot energinya, membuatnya merasa terjebak.
Dengan langkah yang bergetar, Arga berusaha mencari arah. Bayangan sosok Nisa terus mengejarnya, dan ia tahu ia harus menemukan jalan keluar sebelum semuanya terlambat. Di pikirannya, rasa takut berbaur dengan keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ada yang mengendalikan semua ini, dan ia ingin tahu siapa atau apa yang berada di balik layar.
Tiba-tiba, cahaya samar muncul di kejauhan. Arga berusaha menajamkan pandangannya. Cahaya itu terlihat hangat, kontras dengan dinginnya malam yang mengelilinginya. Dengan penuh harapan, ia melangkah menuju cahaya tersebut, berharap itu adalah jalan keluar dari kegelapan yang menyekapnya.
Saat semakin dekat, ia melihat bahwa cahaya itu berasal dari sebuah api unggun kecil. Di sekelilingnya, ada sosok-sosok yang duduk melingkar, terlihat saling berbincang dengan nada rendah. Ketika Arga melangkah lebih dekat, sosok-sosok itu menghentikan pembicaraan dan menoleh ke arahnya.
“Mendekatlah, pemuda. Kami menunggu kehadiranmu,” salah satu dari mereka, seorang lelaki berambut panjang dengan tatapan tajam, mengundangnya untuk bergabung. Arga merasa canggung, tetapi rasa penasarannya mengalahkan ketakutannya. Ia melangkah mendekat, memperhatikan wajah-wajah yang tampak familiar meskipun ia tidak mengenali mereka secara langsung.
“Apa yang terjadi di dalam pondok itu?” tanya Arga, suaranya bergetar.
“Pondok itu adalah pintu gerbang,” jawab lelaki itu. “Dan kamu telah dibawa ke dalam permainan yang lebih besar dari yang kamu bayangkan. Apa yang kamu lihat, itu adalah bagian dari ritual yang tidak boleh kau abaikan.”
Arga terkejut. Ritual? Apa yang dimaksud dengan semua ini? “Tapi kenapa aku? Kenapa Nisa?”
Mereka saling bertukar tatap, kemudian lelaki itu melanjutkan. “Nisa adalah bagian dari apa yang disebut sebagai ‘penjaga’. Dia adalah perantara antara dunia ini dan kegelapan yang menanti untuk melahap semua yang ada di sekitarnya. Kamu, Arga, memiliki potensi untuk menghentikan ini semua.”
Potensi? Arga merasa bingung. Ia hanya seorang pemuda biasa yang terjebak dalam situasi yang sangat tidak biasa. “Tapi bagaimana caranya? Aku merasa tidak berdaya.”
“Semua kekuatan ada di dalam dirimu. Yang kamu butuhkan hanyalah keberanian untuk menghadapi kegelapan itu. Lingkaran di pondok bukan hanya sebuah simbol; itu adalah panggilan untuk bersatu melawan kegelapan yang mengancam. Ketika saatnya tiba, kamu harus siap untuk memilih. Apakah kau akan melawan atau membiarkan semuanya hancur?”
Kata-kata itu menggema di pikiran Arga. Ia merasa ada kebenaran di dalamnya, tetapi keberanian untuk melawan kegelapan terasa sangat berat. Ia teringat akan Nisa dan betapa menakutkannya sosok itu, betapa rapuhnya posisinya saat itu.
Namun, saat ia memandang api unggun yang menyala, ada secercah harapan yang menyala di dalam hatinya. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa menemukan cara untuk menghentikan semua ini. Dengan tekad yang baru, Arga mengangkat kepalanya dan menatap lelaki itu dengan penuh keyakinan. “Apa yang harus aku lakukan?”
“Kita akan membantumu. Bersiaplah untuk menghadapi kegelapan, karena pertempuran ini baru saja dimulai.”
Dan dengan itu, Arga merasa seolah seluruh dunia mulai berputar kembali di sekelilingnya. Ia tahu bahwa ia tidak lagi sendirian, dan mungkin, hanya mungkin, ia bisa menemukan jalan untuk mengakhiri kegelapan yang mengancam.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG BONEKA KERAJAAN [End]
FantasyDi sebuah lembah yang jauh dari pandangan dunia, berdiri sebuah kastil megah yang tampak begitu indah namun penuh dengan keheningan. Dikelilingi oleh taman-taman yang dulu berwarna-warni, kini berubah menjadi rimbunan tanaman liar yang tak terurus...