Panas menyengat terasa di kulit Arga saat ia berdiri di depan sebuah rumah tua yang tampak seperti telah ditinggalkan bertahun-tahun. Rumah itu memiliki dinding yang retak, cat yang sudah mengelupas, serta jendela-jendela yang ditutupi oleh tirai tebal yang robek. Meskipun matahari masih bersinar terik, rumah itu seolah memancarkan kegelapan yang tidak wajar. Arga tahu, ada sesuatu di dalam sana yang harus ia hadapi dan mungkin yang terakhir, namun paling penting dari semua.
Ia melangkah perlahan, setiap suara langkahnya bergema di sekitar halaman yang dipenuhi rumput liar. Daun-daun kering berterbangan tertiup angin, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Arga mendekati pintu depan yang sudah lapuk, tangan gemetarnya meraih gagang pintu.
Saat pintu terbuka dengan jeritan panjang yang menyakitkan telinga, aroma debu dan kayu tua yang lembap segera menyerbu indra penciumannya. Di dalam, ruangan itu tampak seperti museum yang tidak terawat; meja-meja tua, kursi usang, dan barang-barang lain yang terlihat asing, namun entah kenapa terasa familier bagi Arga. Ia melangkah masuk, kegelapan perlahan menyelimuti dirinya.
Cahaya yang menerobos dari jendela kecil di ujung ruangan memberikan sedikit penerangan, cukup untuk melihat bayangan-bayangan yang ada di sekitarnya. Dan di sanalah, berdiri di tengah ruangan, sebuah cermin besar dengan bingkai berukir yang tampak sangat antik, seolah memanggilnya untuk mendekat. Bayangan cermin itu memantulkan cahaya yang aneh, membuat ruangan di sekitarnya terasa lebih kelam.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakang, cepat dan menghantui. Arga berbalik dengan cepat, namun tak ada apa pun di sana, hanya ruangan kosong yang sunyi. Nafasnya tercekat, tetapi ia terus berjalan. Ada dorongan kuat yang memaksanya untuk menghadapi sesuatu di rumah ini, sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa takut.
Saat ia mendekati cermin itu, bayangannya sendiri perlahan memudar, digantikan oleh sosok lain dan sesuatu yang ia kenal. Wajah saudarinya, Nisa, kembali muncul, namun kali ini lebih nyata. Ia tidak tersenyum, tatapannya datar dan dalam. Di tangan Nisa, ada boneka yang sama seperti di ruangan sebelumnya, boneka yang pernah menjadi simbol masa lalu yang Arga coba lupakan.
"Nisa...," bisik Arga, suaranya gemetar. "Aku sudah meminta maaf... Apa lagi yang kau inginkan?"
Nisa tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah keluar dari cermin, tubuhnya terlihat seperti menyatu dengan bayang-bayang di ruangan itu. Suasana di sekitarnya mulai berputar perlahan, membuat Arga merasa seolah ia berada di tengah-tengah mimpi buruk yang tak berujung.
"Tidak ada lagi yang bisa ku perbuat!" teriak Arga, dadanya sesak oleh ketakutan dan frustrasi. Ia ingin lari, tetapi tubuhnya terasa seolah terperangkap di tempat.
Cahaya di ruangan tiba-tiba berpendar, dan dari sudut-sudut kegelapan, muncul lebih banyak boneka. Satu per satu, boneka-boneka tua itu bergerak mendekatinya. Mata kaca mereka yang dingin memandangnya tanpa berkedip, seolah-olah mereka menuntut jawaban dari Arga. Boneka-boneka itu menggenggam tangan mereka sendiri, membentuk lingkaran mengelilingi dirinya. Suara berderit dari sendi-sendinya terdengar nyaring di dalam ruangan.
"Berhenti!" Arga memekik, punggungnya bersandar ke dinding, tak ada jalan keluar dari lingkaran ini.
Boneka-boneka itu semakin mendekat, tatapan kosong mereka kini seolah hidup, memandang Arga dengan intensitas yang mengerikan. Dari dalam diri Arga, perasaan bersalah yang selama ini ia pendam meletus ke permukaan. Ia tak bisa lari lagi dari bayangan yang terus menghantui pikirannya.
Kemudian, satu boneka-boneka yang Nisa pegang di dalam cermin itu berjalan ke depan. Tiba-tiba, boneka itu terangkat ke udara, digerakkan oleh kekuatan tak kasatmata. Boneka itu melayang tepat di depan wajah Arga, matanya yang dingin menatap ke dalam jiwanya. Suara tawa kecil yang menggema dari seluruh ruangan kini terdengar semakin nyaring, menambah kengerian suasana.
Arga menutup telinganya, namun suara itu terus bergema di kepalanya. "Kau tidak bisa lari selamanya, Arga..." suara itu berbisik, samar namun jelas. Ia menyadari, suara itu bukan dari boneka-boneka tersebut, melainkan dari dirinya sendiri. Suara ketakutan yang selama ini ia pendam.
Tiba-tiba, boneka itu jatuh dengan bunyi keras, dan ruangan kembali sunyi. Tatapan Arga beralih ke cermin, yang kini menampilkan pantulan dirinya dengan jelas. Di belakangnya, tak ada lagi sosok Nisa. Hanya dirinya, dan kenyataan bahwa ia harus menerima apa yang telah terjadi.
Arga berlutut, tubuhnya bergetar hebat. Ia tahu, perjalanan ini bukan tentang boneka-boneka itu atau sosok Nisa yang terus menghantuinya. Ini tentang dirinya, tentang bagaimana ia harus berdamai dengan rasa bersalah dan trauma yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Sebuah embusan angin dingin melintas di ruangan itu, dan satu per satu, boneka-boneka di sekelilingnya mulai menghilang, memudar menjadi bayangan. Rumah yang tadinya penuh dengan kegelapan kini perlahan menjadi terang. Arga berdiri perlahan, menatap cermin sekali lagi. Kali ini, yang ia lihat adalah dirinya sendiri tanpa bayang-bayang masa lalu, tanpa hantu-hantu yang mengejar.
Sebuah ketenangan aneh menyelimuti hatinya. Arga menutup matanya sejenak, menarik napas dalam, lalu membuka pintu rumah tua itu. Cahaya matahari yang terang menyambutnya di luar. Dengan langkah berat namun pasti, Arga meninggalkan rumah itu, meninggalkan masa lalunya yang kini telah ia hadapi.
Dunia di sekitarnya terasa lebih ringan. Meskipun ia tahu bahwa rasa bersalah dan luka itu mungkin takkan sepenuhnya hilang, namun ia juga tahu bahwa ia tidak lagi sendirian dalam kegelapan. Kini, ia bisa melangkah ke depan, perlahan, menuju kehidupan yang lebih damai.
TUNGGU KELANJUTANNYA TERIMAKASIH
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG BONEKA KERAJAAN [END]
FantasiaDi sebuah lembah yang jauh dari pandangan dunia, berdiri sebuah kastil megah yang tampak begitu indah namun penuh dengan keheningan. Dikelilingi oleh taman-taman yang dulu berwarna-warni, kini berubah menjadi rimbunan tanaman liar yang tak terurus...