Nisa memejamkan matanya, jantungnya berdebar-debar ketika kata itu meluncur dari bibirnya. "Bayangan," bisiknya dengan penuh keyakinan, walaupun sedikit ada ragu di dalam dirinya.
Raksasa itu mendadak terdiam. Suasana menjadi hening, seolah-olah seluruh hutan sedang menahan napas. Perlahan-lahan, raksasa yang tadinya tampak marah berubah melunak. Matanya yang berwarna merah menyala mulai meredup, berubah menjadi lebih lembut. Sebuah senyum kecil, nyaris tak terlihat, muncul di bibir raksasa tersebut. "Kalian benar," gumamnya sambil mengangguk dengan anggun. "Kalian layak melanjutkan perjalanan ini."
Dengan kalimat itu, tubuh raksasa yang besar mulai menghilang, seperti kabut yang tertiup angin pagi. Bayangan sosoknya perlahan-lahan memudar, hanya menyisakan Arga dan Nisa yang berdiri sendirian di jalan yang panjang, sekarang diterangi sinar matahari yang temaram.
Arga menoleh pada Nisa, senyumnya merekah, penuh rasa bangga. "Kamu berhasil, Nis," katanya sambil menepuk bahu Nisa dengan lembut.
"Enggak mungkin bisa kalau bukan karena kamu juga, Arga," balas Nisa. Mereka berdua saling memandang, merasakan kekuatan yang baru. Tak hanya rasa lega, tetapi juga kepercayaan diri yang baru saja tumbuh. Ini bukan sekadar perjalanan fisik menuju kerajaan Astara; ini adalah perjalanan mereka untuk menemukan diri mereka sendiri.
Dengan langkah yang lebih ringan, mereka mulai berjalan lagi, kali ini memasuki padang rumput yang luas. Bunga-bunga liar berwarna-warni menutupi padang, melambai-lambai ditiup angin. Burung-burung kecil beterbangan di atas kepala mereka, sesekali berkicau riang, seolah-olah menyambut mereka dengan lagu penuh harapan.
Seiring mereka berjalan, Nisa mendapati dirinya tersenyum tanpa sadar. “Padang ini indah banget, Arga. Rasanya seperti mimpi.”
Arga mengangguk. “Iya. Tapi entah kenapa, kayak ada perasaan damai yang sulit dijelaskan.”
Mereka terus berjalan hingga tiba di sebuah danau yang luas dengan air jernih berkilauan, memantulkan cahaya matahari yang perlahan-lahan mulai redup. Di tepi danau itu, berdiri seorang wanita yang tampak misterius, mengenakan jubah perak berkilauan yang tampak menyatu dengan alam sekitar. Rambut panjangnya tergerai, tertiup angin. Wajahnya tampak tenang dan bijaksana, dan matanya memancarkan sinar lembut yang menenangkan.
“Kalian pasti Arga dan Nisa,” katanya dengan suara yang seakan-akan bergema dalam hati mereka. Suaranya lembut, namun penuh kekuatan. “Aku adalah Penjaga Air Kehidupan. Aku tahu tujuan kalian, dan aku di sini untuk memberikan petunjuk yang kalian butuhkan.”
Arga dan Nisa terdiam, merasa sedikit bingung namun juga terpesona oleh kehadiran wanita itu. Nisa, yang biasanya pemalu, memberanikan diri bertanya, “Apa yang bisa Anda tunjukkan kepada kami?”
Wanita itu tersenyum dan mengangguk pelan. “Kerajaan Astara bukan sekadar tempat di peta. Ia adalah perjalanan ke dalam diri kalian. Kalian telah menemukan keberanian untuk menghadapi ketakutan, namun masih ada satu hal lagi yang harus kalian kuasai: ketenangan dalam diri. Tanpa ketenangan, setiap rintangan akan menjadi lebih sulit dan setiap kesulitan akan terasa lebih berat.”
Dia kemudian mengulurkan tangannya ke arah danau, dan permukaan air yang sebelumnya tenang tiba-tiba memantulkan bayangan-bayangan masa lalu mereka. Di permukaan air itu, mereka melihat momen-momen di mana mereka merasa ragu, takut, dan bingung—perasaan-perasaan yang selama ini menghambat mereka.
“Lihatlah ini,” kata Penjaga Air Kehidupan. “Setiap kali kalian ragu atau takut, kalian menciptakan bayangan dalam diri kalian sendiri. Bayangan-bayangan ini adalah beban yang harus kalian lepaskan. Setiap keraguan adalah batu yang akan menarik kalian tenggelam saat kalian semakin dekat ke Astara. Lepaskanlah beban ini.”
Arga tertegun, merasa sedikit emosional. Sejak awal perjalanan ini, dia menyimpan banyak keraguan dan ketakutan dalam hatinya. Rasanya seakan semua perasaan itu kembali menghantuinya saat melihat bayangan dirinya yang pernah cemas, marah, dan ragu.
"Bagaimana caranya kami bisa melakukannya?" tanya Arga, suaranya hampir berbisik.
“Rasakan air ini,” jawab Penjaga dengan lembut. “Biarkan ketakutan dan kegelisahan yang ada di hati kalian mengalir bersama air ini. Bersihkanlah diri kalian dari beban itu.”
Nisa dan Arga menunduk, menyentuh air danau yang dingin dan jernih. Ketika jari-jari mereka menyentuh permukaan air, mereka merasakan kehangatan yang lembut mengalir di dalam hati mereka, seakan-akan air tersebut bukan hanya air biasa, melainkan aliran energi yang mampu menyapu bersih setiap perasaan negatif. Mereka merasakan kelegaan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya; seolah-olah beban di pundak mereka perlahan-lahan terangkat, dan pikiran mereka menjadi jernih seperti permukaan danau.
Arga menutup matanya sejenak, membiarkan dirinya merasakan momen itu. Begitu banyak beban yang dia simpan selama ini, begitu banyak harapan dan impian yang terkubur oleh keraguannya sendiri. Tapi sekarang, dia merasa seolah-olah sedang memulai lembaran baru.
Nisa, yang sejak awal perjalanan ini selalu cemas dan ragu, sekarang merasa lebih tenang. Matanya terbuka, dan dia menatap danau itu dengan senyum kecil di wajahnya. “Aku merasa lebih ringan,” katanya dengan nada syukur. “Terima kasih.”
Penjaga Air Kehidupan mengangguk pelan, senyum damai menghiasi wajahnya. “Dengan ini, kalian akan lebih siap melangkah ke Astara. Ingatlah, kekuatan sejati kalian akan muncul bukan hanya dari keberanian, tetapi juga dari ketenangan dalam diri kalian. Jangan pernah biarkan bayangan masa lalu menahan langkah kalian.”
Setelah mengucapkan terima kasih, Arga dan Nisa pun melanjutkan perjalanan mereka, kali ini dengan hati yang lebih mantap. Langkah mereka kini lebih ringan, dan mereka merasakan kekuatan yang berbeda—kekuatan yang muncul dari ketenangan dan kepercayaan diri yang baru saja mereka temukan.
Mereka melangkah melewati padang rumput dan kembali ke jalan setapak yang membawa mereka lebih dekat ke kerajaan Astara. Di setiap langkah, mereka merasakan keberanian yang mengalir di dalam diri mereka, keberanian yang tidak hanya untuk menghadapi dunia luar, tetapi juga untuk menghadapi diri mereka sendiri.
Hutan dan rintangan di depan mereka mungkin masih panjang dan penuh misteri, tapi kini mereka merasa tidak hanya lebih kuat, tetapi juga lebih bijaksana. Perjalanan mereka masih jauh dari selesai, namun mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil adalah langkah yang membawa mereka semakin dekat ke pemahaman sejati tentang diri mereka sendiri.
Di kejauhan, di balik pepohonan yang lebat, mereka bisa melihat sekilas puncak menara kerajaan Astara yang menjulang tinggi, bercahaya di bawah sinar matahari. Arga dan Nisa saling pandang, merasakan antusiasme yang tak tertahankan. Perjalanan mereka telah lama dimulai, tetapi mereka tahu, dengan setiap tantangan yang telah mereka lewati, mereka akan semakin dekat pada takdir yang menunggu mereka di kerajaan Astara.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG BONEKA KERAJAAN [End]
FantasyDi sebuah lembah yang jauh dari pandangan dunia, berdiri sebuah kastil megah yang tampak begitu indah namun penuh dengan keheningan. Dikelilingi oleh taman-taman yang dulu berwarna-warni, kini berubah menjadi rimbunan tanaman liar yang tak terurus...