BAB 12 : "Hari-hari Dalam Penyesalan"

37 21 0
                                    

Langit mendung mulai turun ketika Arga meninggalkan hutan, awan kelabu tampak rendah di atas kepala, menambah perasaan berat di dadanya. Meski sinar matahari telah lenyap di balik awan, kehangatan yang samar di dalam dirinya mulai sedikit mereda. Namun, hanya beberapa langkah meninggalkan hutan, suara gemerisik terdengar dari balik pepohonan.

Arga menghentikan langkah. Jantungnya berdebar kencang. Awalnya ia mengira itu hanya suara angin, namun semakin ia berjalan, suara itu semakin jelas, seperti langkah kaki yang dengan sengaja mengikutinya. Arga menoleh ke kanan, lalu ke kiri, tetapi tidak ada yang terlihat. Hanya pohon-pohon diam dalam kesunyian.

"Siapa di sana?" tanya Arga dengan nada ragu. Tidak ada jawaban, hanya hening yang mengerikan.

Langkahnya menjadi lebih cepat. Namun, semakin cepat ia berjalan, semakin dekat pula suara itu terdengar. Detak jantungnya semakin menggila, sekujur tubuhnya mulai diliputi keringat dingin. Kemudian dari sudut matanya, ia melihat sesuatu yang tidak pernah ia sangka. Sebuah boneka kecil, lusuh, tergantung di dahan pohon.

Boneka itu mengingatkan Arga pada sesuatu. Sesuatu yang ingin ia lupakan. Ia mendekat, menatap boneka itu dengan seksama. Boneka berwajah pucat, matanya yang hitam terbuat dari kancing tua, rambutnya kusut seperti telah bertahun-tahun ditinggalkan.

"Nisa..." bisiknya pelan. Boneka itu adalah milik Nisa. Ia ingat dengan jelas Nisa pernah membawa boneka ini ke mana pun ia pergi. Tapi bagaimana mungkin boneka ini berada di sini? Arga menelan ludah, matanya masih terpaku pada boneka itu. Perasaannya campur aduk antara ketakutan dan kebingungan.

Tanpa sadar, tangannya terulur, menyentuh boneka itu. Begitu ia menyentuhnya, udara di sekitarnya seolah berubah. Angin dingin menyapu tubuhnya dengan kuat, seperti bisikan yang membawa kekuatan tak terlihat. Boneka itu tiba-tiba bergerak, berayun pelan seolah-olah dihembuskan oleh angin, namun tidak ada angin yang cukup kencang di tempat itu.

Arga terkejut dan mundur beberapa langkah. Napasnya semakin memburu. Tawa kecil mulai terdengar samar di telinganya, seperti suara anak kecil bermain, tetapi terdengar aneh dan mengerikan. Suara itu berasal dari arah hutan, namun juga seakan-akan berasal dari dalam kepalanya sendiri.

Panik, Arga berbalik dan berlari. Ia tidak peduli lagi ke mana ia berlari, yang ia inginkan hanyalah menjauh dari tempat itu. Namun, setiap langkahnya terdengar lebih berat, seakan-akan ada sesuatu yang mengikuti di belakang. Di kejauhan, ia melihat sebuah pondok tua di antara pepohonan, seakan menjadi satu-satunya tempat untuk berlindung.

Arga mendorong pintu pondok itu dengan kuat dan masuk ke dalam. Pondok itu gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk melalui celah-celah dinding kayunya yang lapuk. Napasnya terengah, dan ia bersandar pada dinding, mencoba menenangkan dirinya. Namun, kengerian di dalam hatinya belum hilang.

Di dalam pondok itu, Arga melihat sesuatu di sudut ruangan. Sebuah meja kecil, dan di atasnya boneka lain. Sama seperti yang ia lihat di hutan, tapi boneka ini lebih besar. Wajahnya menghadap ke arah Arga, seolah-olah memperhatikannya sejak tadi.

Arga mengernyit, lututnya melemas. Dia tidak mengerti kenapa boneka itu ada di sini, atau bagaimana mungkin ada dua boneka yang persis sama dengan milik Nisa. Ketakutannya semakin menjadi ketika ia melihat boneka itu bergerak. Boneka tersebut terjatuh dari meja, tanpa alasan yang jelas, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang mendorongnya. Suara tawa itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, memenuhi ruangan.

Arga ingin berlari keluar, tetapi pintu pondok tertutup dengan sendirinya. Napasnya memburu. Di tengah ruangan yang kini semakin gelap, ia merasa ada sesuatu yang mendekat, meskipun ia tidak bisa melihatnya. Langkah kaki terdengar dari belakangnya, dan saat ia menoleh, bayangan hitam tiba-tiba muncul, mendekatinya dengan cepat.

"Arga..." suara itu terdengar, tidak lagi lembut seperti suara Nisa. Suara itu dalam, mengerikan, seperti suara yang berasal dari tempat tergelap. Arga memejamkan mata, tangannya mencengkeram lantai, berusaha menahan teriakan.

Ia merasa tubuhnya tidak bisa digerakkan, seolah-olah ditahan oleh kekuatan yang tidak terlihat. Dalam hitungan detik, bayangan itu semakin mendekat, dan di depannya, boneka itu tampak berdiri sendiri, matanya yang kancing hitam tampak berkilau dalam kegelapan.

Saat bayangan itu semakin mendekat, boneka itu tiba-tiba jatuh ke lantai dengan bunyi yang memekakkan telinga. Arga membuka matanya, tubuhnya kembali bisa digerakkan. Dengan cepat, ia bangkit dan menendang pintu pondok hingga terbuka. Tanpa berpikir panjang, ia berlari keluar dengan sekuat tenaga.

Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tidak cukup untuk menenangkan kegilaan yang baru saja ia alami. Pondok itu kini terlihat jauh di belakangnya, namun suara tawa itu masih terngiang di telinganya. Meski telah meninggalkan pondok, Arga tahu satu hal pasti: ia tidak lagi sendiri. Boneka itu, suara itu, mereka masih ada di sana, menunggu, mengawasinya.

SANG BONEKA KERAJAAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang