BAB 8 : "Cermin Kehidupan"

50 32 20
                                    

Langkah Arga semakin mantap seiring dengan suara desiran angin yang perlahan menjadi bisikan di telinganya. Kunci di tangannya berkilauan sesekali, menyatu dengan cahaya lembut yang menyusup dari sela-sela pepohonan. Jalan setapak di depannya mulai berubah, tak lagi hanya berhiaskan kabut tipis, melainkan mulai dihiasi bebatuan besar yang tampak berusia ratusan tahun. Di kejauhan, Arga mulai melihat sesuatu yaitu sebuah gerbang besar yang tampak kuno, dengan ukiran-ukiran simbol yang menyerupai yang ada pada kunci di tangannya.

Ketika Arga mendekati gerbang tersebut, perasaan aneh menjalari dirinya. Ada sesuatu di balik gerbang ini yang terasa familiar, tapi juga menggetarkan hatinya. "Apakah ini tempat terakhir?" gumamnya pelan, sambil meraba kunci yang terasa semakin dingin. Pikirannya dipenuhi pertanyaan kenapa gerbang ini terasa begitu akrab, dan apa yang sebenarnya menunggunya di sana?

Namun sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, gerbang besar itu perlahan terbuka dengan sendirinya, suara jeritannya menggema di udara. Arga berhenti sejenak, menatap ke dalam. Di balik gerbang, terbentang sebuah jalan setapak yang mengarah ke sebuah rumah tua. Arga terkejut. Rumah itu... tampak seperti rumah masa kecilnya tetapi lebih suram, lebih gelap, dan tampak terkoyak oleh waktu.

"Apa ini...?" Arga berbisik pada dirinya sendiri. Langkahnya goyah sejenak, kenangan masa kecilnya kembali membanjiri pikirannya. Rumah itu adalah tempat di mana semuanya dimulai. Tempat di mana rasa takut dan kesepiannya pertama kali muncul. Perempuan tadi mengatakan kunci ini akan membawanya pada jawaban, namun yang ada sekarang, semua kenangan lamanya justru kembali menghantuinya.

Arga mencoba menenangkan dirinya, mengambil napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Suasana di dalam begitu hening, dengan bau debu yang menyengat dan lantai kayu tua yang berderit di setiap langkahnya. Jam dinding di ruang tamu berdetak pelan, menyamai ritme detak jantungnya.

Di tengah ruangan, terlihat sebuah cermin besar. Cermin itu berdiri tegak di ujung ruangan, hampir mendominasi pemandangan. Arga merasakan dorongan kuat untuk mendekatinya, seolah-olah ada sesuatu yang menunggunya di sana.

Ketika Arga akhirnya berdiri di depan cermin, ia melihat pantulan dirinya tetapi ada yang berbeda. Sosok yang ada di dalam cermin tampak lebih tua, lebih lusuh, dengan tatapan yang dalam dan kelam. Arga terdiam, menatap dirinya sendiri, seakan ada sesuatu yang ia lupakan.

"Ini... aku?" Arga bertanya dengan lirih. Namun tiba-tiba, sosok dalam cermin itu bergerak sendiri, meskipun Arga diam di tempatnya. Sosok itu menatap Arga dengan intens, lalu berbicara dengan suara serak, "Kau tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini, bukan?"

Arga mundur satu langkah, terkejut dengan apa yang ia lihat dan dengar. "Apa maksudmu?" suaranya bergetar, meski ia mencoba untuk tetap tenang.

Sosok itu tersenyum tipis, senyuman yang menimbulkan perasaan tidak nyaman. "Ini bukan tentang mencari kebenaran dari masa lalu mu, Arga. Ini tentang menghadapi kenyataan yang selama ini kau sembunyikan dari dirimu sendiri. Kau tahu persis apa yang ada di balik pintu itu."

Arga menelan ludah, kunci di tangannya terasa semakin berat. "Tidak... aku tidak tahu. Aku hanya ingin menemukan jawaban. Aku hanya ingin tau"

"Dengan menghadapi rasa bersalahmu." Sosok itu memotong, dengan suara yang dingin dan tajam. "Selama ini, kau berusaha lari. Dari kenangan, dari kebenaran, dari dirimu sendiri. Tapi kini, kau tak bisa lagi lari."

Arga terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-kata sosok itu menyentuh sesuatu yang mendalam di dalam dirinya. Rasa bersalah. Kenangan yang tak pernah sepenuhnya bisa ia hadapi. Ada sesuatu yang selalu ia coba lupakan, namun kini, semua itu muncul kembali, tepat di depan matanya.

"Tunjukkan padaku," kata Arga akhirnya, dengan suara yang berat namun mantap.

Sosok itu hanya mengangguk, sebelum menghilang perlahan, meninggalkan cermin kosong. Pada saat yang sama, dinding di sebelah cermin terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan gelap yang bersembunyi di baliknya. Arga merasakan jantungnya berdebar kencang, namun ia tahu, ini adalah langkah terakhir yang harus ia ambil.

Dengan tangan gemetar, ia memasukkan kunci ke dalam lubang pintu yang muncul di hadapannya. Suara klik terdengar, dan pintu terbuka perlahan, mengungkapkan kegelapan yang tampak tak berujung di dalamnya.

Arga mengambil napas dalam, dan tanpa ragu lagi, ia melangkah masuk ke dalam ruangan terakhir itu.

Saat pintu tertutup di belakangnya, ia tahu, jawaban yang ia cari selama ini akan segera ia temukan tetapi apa yang akan ia temui di dalam, adalah kebenaran yang mungkin lebih gelap dari yang ia duga.

SANG BONEKA KERAJAAN [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang