22. Kebenaran yang Tersembunyi

139 27 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

🦋🦋🦋



22. Kebenaran yang Tersembunyi

Aksa duduk di ruang kesiswaan yang terasa menyesakkan, seolah dinding bercat putih bersih itu mengepungnya dengan ketegangannya. Di sampingnya, Abima, ayahnya, duduk tegak dengan ekspresi serius, menunjukkan dukungan sekaligus kekhawatiran. Di meja besar di tengah ruangan, para guru berkumpul dengan ekspresi serius, seolah-olah mereka sedang mengadili seorang tersangka. Meskipun statusnya masih seorang anak donatur, namun rasa istimewa yang selama ini menemani kini terasa pudar, tergantikan oleh tekanan dan stigma negatif yang mengguncang reputasinya.

Salah satu guru, Bu Mira menatap Aksa dengan serius. "Aksa, kamu tahu yang terjadi di UKS itu sangat memalukan, bagaimana kamu mau menjelaskan itu?"

Aksa menegakkan punggungnya, berusaha menunjukkan bahwa dia masih memiliki kendali. "Saya dan Aneya nggak melakukan hal yang salah, Bu. Video itu jebakan dan Aurel yang buat. Saya nggak punya bukti, tapi saya tahu siapa yang salah sebenarnya."

Namun, para guru jadi saling bertukar pandang, terlihat ketidaknyamanan di antara mereka. "Kamu yakin bisa mengalahkan cucu dari pemilik yayasan dengan terus beralasan seperti itu, Aksa?" tanya Bu Mira. "Neneknya Aurel sudah mengetahui hal ini dan keputusan ada di tangan beliau. Pihak sekolah nggak mungkin ada yang berani menentang."

"Bu—"

"Akuin kamu yang salah, Aksa. Hukuman kamu akan dikurangi kalau kamu kamu mau bekerja sama, tidak mempersulit situasi."

Aksa merasa tercekat dalam hatinya. Saat menoleh pada Papanya pun, Abima tidak menunjukkan sesuatu yang bisa membuat Aksa merasa nyaman. Raut wajah Papanya terlalu tenang dan itu mengecewakan, seolah ia menyetujui permintaan sekolah yang menyuruh Aksa untuk kooperatif.

Aksa berdecak. Dalam sekejap, dia merasa frustrasi dan putus asa. Tanpa berkata sepatah pun, Aksa berdiri dan melangkah ke pintu. Guru-guru membiarkan, karena selanjutnya adalah pembicaraan serius dengan Abima.

"Bagaimana, Pak Abima? Keputusan Aksa harusnya ada di tangan Bapak sekarang," lanjut Bu Mira, kini lebih serius.

Abima menghela nafas dalam-dalam, dia kemudian memandang para guru dengan tatapan yang tenang namun penuh makna. "Saya menghargai keputusan sekolah, tetapi saya tidak bisa menerima bahwa Aksa harus menjadi korban dari situasi ini."

Bu Mira mengerutkan kening. "Kami hanya ingin melindungi nama baik sekolah, Pak. Aurel adalah cucu pemilik yayasan, dan kami tidak bisa mengabaikan pengaruhnya."

"Mengorbankan keadilan seharusnya tidak menjadi cara untuk melidungi reputasi," Abima menjawab tegas. "Selain Aksa, harusnya guru juga memperhatikan pihak lain yang terlibat, yang menjadi korban sebenarnya dalam kasus ini. Bukan hanya mental, tapi juga fisiknya. Bagaimana bisa sekolah seelit ini mengabaikan hal tersebut?"

AKSA'S | HARUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang