26. Cinta yang Menghancurkan

150 18 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

🦋🦋🦋



26. Cinta yang Menghancurkan

"Aku pulang, ya." 

Suara Aneya membuat Aksa menghela nafas pelan. Ia menarik Aneya lebih dekat, lalu memeluknya lagi dan lagi. Hari ini akan Aksa nobatkan sebagai hari paling banyak memeluk Aneya, bahkan sampai pelukan kali ini Aksa tidak rela melepaskannya.

Aneya mengusap punggung Aksa dengan lembut, membiarkan pemuda itu menyamankan perasaannya. Di kamar Aksa, hanya ada mereka berdua. Setelah hari yang panjang kemarin dan Aneya yang diizinkan menginap semalam, Aksa masih belum merasa puas. Namun berlama-lama menahan Aneya di sisinya juga tidak akan mengubah apapun. Aksa melepaskan pelukannya, ia sudah bisa tersenyum, namun tipis.

"Mama menderita depresi setelah nenek aku meninggal," ujar Aksa yang membuat Aneya sedikit terkejut. Aneya tidak berniat untuk mengetahui apa yang terjadi pada Mamanya Aksa hari ini, mungkin jika Aksa lebih siap menceritakannya di kemudian hari. 

"Mama sering nangis tiap malam, selera makannya berkurang, dan minat hidupnya juga jadi rendah banget." Aksa melanjutkan, sementara Aneya diam menyimak.

"Suatu hari Mama tiba-tiba sakit, dan Papa milih buat nyewa perawat supaya Mama bisa diobatin di rumah aja tanpa perlu ke rumah sakit. Ternyata itu keputusan yang salah." Tatapan Aksa mulai sendu, dan Aneya hanya bisa menggengam tangan pemuda itu untuk memberinya rasa tenang. 

"Mama... "Aksa menarik nafas dalam, rasa sesak kembali terasa di dadanya. "Mama nyerang perawat itu sampai meninggal dan aku ada di sana nyaksiin semuanya."

Bukan Aksa saja yang merasa dadanya sesak, Aneya pun merasa demikian. Ia tidak pernah mengira bahwa apa yang telah Aksa lewatkan benar-benar semengerikan itu. Baru Aneya sadari alasan kenapa Aksa tidak pernah mengunjungi Mamanya di rumah sakit jiwa, kejadian itu menghantuinya setiap ia melihat wujud Mamanya, bahkan dari kejauhan.

"Udah, stop!" Aneya menahan Aksa yang hendak melanjutkan ceritanya. Melihat bagaimana pemuda itu berusaha kuat untuk bercerita, Aneya yang tidak sanggup. "Aku paham sekarang, kamu nggak perlu lanjutin."

Aksa tertawa tipis, tapi air mata di sudut matanya tidak bisa menutupi betapa sakitnya itu. Aneya mengusapnya, menghapus air mata itu dengan jari tangannya. 

"Kamu boleh sedih, tapi jangan lama-lama, ya. Aku minta maaf banget, tapi aku nggak mau kamu berakhir sama kayak Mama kamu." Aneya menatap Aksa dengan lembut. Pemuda itu selama ini selalu nampak sempurna dan kuat di mata Aneya, kali ini biarkan dia menjadi yang paling lemah. Aksa juga berhak menjadi lemah setelah kehilangan sosok paling berharga di hidupnya.

Aksa mengangguk pelan. Ribuan rasa syukur ia ucapkan dalam hatinya, setidaknya masih ada Aneya, perempuan yang bisa ia genggam setiap saat.

"Kamu pulangnya jangan sendirian, ya. Biar Om Murdi yang anterin."

AKSA'S | HARUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang