25. Pengejaran dan Keheningan

115 18 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

🦋🦋🦋

25. Pengejaran dan Keheningan

Aurel menghilang, kabar itu seperti api yang menyebar ke mana-mana. Rumahnya sudah diserbu, fakta-fakta yang tersembunyi dibaliknya kini terungkap. Tentang bagaimana orang-orang dikurung karena memiliki masalah pada setiap anggota keluarganya, kini yang dikurung telah kembali ke keluarganya masing-masing. Sementara yang mengurung hilang tanpa jejak.

Semua orang membicarakannya. Namun di tengah ketegangan, ada Aksa yang menunduk dengan pikirannya saat ini.  Keheningan pemakaman menggantikan keramaian berita buronan itu. Di depan, peti kayu cokelat yang sederhana, tetapi tampak anggun, telah siap diturunkan ke liang lahat. Mama Aksa, yang dulu selalu penuh cinta dan kehangatan, kini terbaring diam, tak tersentuh oleh drama yang terus memutar di luar sana.

Aksa berdiri di tepi kuburan, matanya kosong menatap ke depan. Di sekelilingnya, para pelayat datang dan pergi, memberi ucapan belasungkawa dengan kata-kata yang terdengar sama dari satu orang ke orang lain. Tapi tak ada kata yang benar-benar mampu menyentuh Aksa saat itu. Ia merasa seolah semua ini hanya ilusi, bahwa mungkin jika ia membuka matanya lebih lebar, semua ini akan hilang dan Mama akan kembali.

Di sisi lain kuburan, Abima berdiri diam, ekspresinya tak terbaca. Hampir sama seperti Aksa, Abima merasa ini hanyalah ilusi dan istrinya akan kembali seperti dulu. 

Sebuah mata mengarah ke Abima dan Aksa secara bergantian, Aneya menarik nafas dalam. Diam-diam ikut merasa hancur, karena Aneya juga pernah melewatinya sebelum Aksa.

Sementara itu, sang penggali kubur mulai menurunkan peti. Aksa merasakan dadanya semakin berat seiring bunyi tanah yang menyentuh kayu. Dunia di sekitarnya terasa lambat, seolah semua bergerak dalam putaran yang tak sinkron dengan dirinya. Hanya detak jantungnya yang bergema keras di telinganya, seraya air mata yang kembali jatuh ke pipi.

Pertahanan Aksa akhirnya runtuh, kakinya terasa lemah untuk terus menopang tubuhnya yang berusaha kuat. Ia menunduk dengan suara tangisan yang sudah tidak mampu terbendung lagi, membuat Aneya segera menghampiri dan menjadi penopang satu-satunya di tengah rasa kehilangan yang begitu dalam.

Suara tangisan Aksa semakin memenuhi udara yang berat, dan Abima, yang biasanya dingin dan tak banyak bicara, tampak tak lagi mampu menahan rasa pedih itu.

"Aksa..." Suara Aneya terdengar serak, hampir patah. "Kamu harus kuat, Aksa. Mama kamu pasti nggak pengen kamu nangis."

Aksa menggeleng, menundukkan kepalanya lebih dalam, isakannya tak kunjung reda. "Aku nggak mau Mama pergi, Aneya..." Aksa menangis semakin menjadi. Semuanya terasa tidak adil. Ia tumbuh dengan baik dalam pola asuh Papanya, tapi sangat merasa kurang dengan kasih sayang Mamanya.

"Aku harusnya ngunjungi Mama setiap hari. Aku salah, harusnya aku nggak takut buat ketemu. Aku... terlalu pengecut buat hadapin Mama, buat nerima keadaan dia. Sekarang semuanya terlambat. Aku... aku nggak pernah kasih dia kesempatan buat tahu kalau aku masih sayang..." Suara Aksa patah, isak tangisnya mengguncang tubuhnya semakin keras. 

AKSA'S | HARUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang