Hari menjelang siang dan para wisudawan kini resmi menyandang gelar sarjana di bidangnya masing-masing. Tak terkecuali Juwita sebagai sarjana psikologi terbaik tahun ini.
Bagi citra keluarga Arundaya tentunya hal itu sangat mempengaruhi pandangan publik yang selalu dijunjung tinggi. Arundaya sejak dulu dikenal dengan citra pendidikan yang kental. Dan pencapaian Juwita kali ini mampu membuat paman Mike sangat bangga.
Setelah sesi pemotretan keluarga, paman Mike mengucapkan beribu-ribu kata bangga kepada Juwita.
"Sudah lama paman ingin merasakan perasaan begitu bangga ini pada salah satu keponakan paman, dan kau mewujudkannya, Juwita.." kata paman Mike menepuk pundak keponakannya itu.
Juwita membalas dengan senyuman terima kasih namun penuh iba. Meski berhasil ditutupi dari semua keluarga yang hadir, namun Juwita menyadari hal kecil dari perlakuan paman Mike. Lekukan mata yang tersenyum menyimpan luka yang sarat akan kerinduan mendalam. Tentu saja Juwita sangat tau apa artinya itu.
Rasa bangganya pada Juwita hari ini telah mengorek kenangan lama yang tersimpan di hati pamannya. Kenangan atas keberhasilan keponakannya yang lain. Keponakan yang sangat ia sayangi. Dulu jauh sebelum semua pencapaian berhasil ditorehkan untuk ditunjukkan kepada paman Mike.
Yah... Juwita kembali menyeruakkan kenangan kebanggaan itu hari ini. Juwita membuat paman Mike mundur ke belakang. Saat-saat momen ia menepuk pundak Maher yang berhasil meraih gelar cumlaude yang sama di bidang bisnis digital.
Juwita tau dan mendekat pada paman Mike, memeluknya sedikit sambil berkata, "Maafkan aku paman karna telah membuatmu kembali pada masa itu, tapi sungguh kau perlu tau bahwa pencapaian ini paling tidak sedikitnya aku khususkan untukmu"
Meski terlihat tersentak, paman Mike tetap tersenyum, "Kurasa paman salah berhadapan dengan seorang psikiater sekarang.
Juwita terkekeh pelan, "Aku punya firasat paman akan merindukanku saat aku pergi ke Paris nanti" balas Juwita menggenggam erat tangan pamannya itu.
Meski terlihat tegas dan keras, paman Mike sebenarnya adalah sosok yang amat sangat menyayangi keluarga. Terlebih jika itu memang pilihan yang terbaik apalagi juga menyangkut bidang pendidikan.
"Jangan nakal selama disana, ingat aku punya banyak sekali mata-mata yang akan mengawasimu, kau tentu tau, hem.." titah paman Mike mencubit pangkal hidung keponakan bungsunya itu. "Kemarilah.."
Ia membuka lengannya, lalu Juwita berhambur ke pelukan pria tua yang pundaknya menyangga begitu banyak tanggung jawab.
Hangat pelukan tersalur perlahan diantara mereka. Setelah cukup lama berpelukan, Juwita berkata singkat sebelum menjauh, "Kami juga sangat merindukannya, paman.."
Mendengar ucapan Juwita itu paman Mike tetap berusaha tersenyum, "Tetaplah belajar dan jadi berguna untuk banyak orang, Juwita" ucap paman Mike mengelus pucuk kepala Juwita lembut.
Juwita mengangguk dan paman Mike pergi untuk melanjutkan tugasnya sebagai rektor universitas Durham, menyambangi para orang tua murid dan memastikan acara wisuda itu berakhir sesempurna mungkin.
"Juwita ayo bergegaslah, kita akan mengunjungi rumah baru Jasmine dan Mahesa, kemari" ajak Jihan menarik tangan Juwita setelah paman Mike pergi.
"Benarkah.. wah.. aku belum sempat kesana saat mereka pindah, aku jadi tidak sabar melihat sebesar apa rumah impian mereka"
"Tidak besar, Juwita.." ucap Jasmine bergabung bersama kakak dan adiknya itu. Ia mendesak masuk ke tengah dan mengapit lengan keduanya. "Yang terpenting itu nyaman dan kami tidak merasa berjauhan meski sedang sama-sama berada di rumah, iya kan didi.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
RomanceNyatanya mau sekuat apapun kita mempunyai rencana, takdir tetaplah milik sang Pencipta. Walaupun Jasmine Felicia sudah memimpikan menikah dengan Maher Arundaya karna perjodohan mereka tapi semua itu hanyalah mimpi belaka. Maher mati pada hari pernik...