All the love I gave you
is yours to keep.
***
Mia sampai ke rumahnya pagi-pagi sekali. Langkahnya ringan dan pikirannya terasa segar. Mualnya masih sedikit terasa, tapi dia sudah mengantisipasinya dengan mengisap permen jahe. Semalam tidurnya nyenyak, bahkan telepon aneh dari Melki tidak membuatnya terganggu.
Hari ini, Mia merasakan semangat hidup yang sudah sejak lama tak dia rasakan. Ada yang dia tunggu-tunggu, sesuatu yang dia nanti. Hari ini, Mia dan Harris akan pergi ke dokter kandungan.
Dan tidak seperti kunjungan-kunjungan di masa lalunya yang terasa penuh beban dan kecemasan, kunjungan yang akan dilakukannya hari ini terasa penuh dengan harapan. Saking antusiasnya, Mia sampai memasuki kamarnya dengan setengah berlari, dengan senyum yang terpulas di pipi.
Ketika Mia membuka pintu kamar, dia mendapati Harris sedang duduk di sofa tunggal dekat meja baja, lelaki itu bersandar ke punggung sofa, matanya terpejam, dengan ekpresi yang lelah dan kuyu, hampir seperti dia belum tidur seharian.
Mia menutup pintu kamar pelan, dan berjalan memasuki kamar. Dia tadinya ingin membangunkan Harris, tapi di tengah-tengah kamar, Mia berhenti berjalan. Pandangannya tertarik ke arah ranjang yang memang tadinya tidak terlihat saat dia baru masuk dari pintu.
Di ranjang itu, rebah dua buah koper karbon besar. Satu milik Harris, satu miliknya. Keduanya dalam keadaan terbuka, seolah Harris dan Mia akan melakukan perjalanan jauh, atau perjalanan dalam waktu yang lama. Terakhir kali kedua koper itu keluar saat Harris dan Mia berlibur dua minggu ke pedalaman Jepang.
Tapi... mereka tidak punya rencana pergi ke mana-mana kan?
Satu-satunya agenda mereka hari ini... hanya ke dokter kandungan kan?
"Mia? Sudah pulang?"
Suara Harris berat dan terdengar parau. Mia menoleh ke arah Harris; ekspresi Mia campuran antara senyum dan kebingungan.
"Kita mau pergi ke mana? Kok ada koper?" tanya Mia.
Harris menatap Mia. Dia berdiri lalu perlahan mengusap wajah dengan kedua tangan, dan menggeleng.
"Bukan kita yang mau pergi," kata Harris. "Tapi salah satu dari kita harus pergi dari sini... Tinggal pilih, aku atau kamu yang angkat kaki."
***
Mia tidak pernah sekaget ini.
Atau mungkin dia pernah sekaget ini... saat menerima telepon yang mengabarkan kematian ayahnya.
Tapi Mia ingat, meski sulit untuk dicerna, kematian ayahnya bisa dia terima dengan mudah. Karena kematian tidak bisa dimajukan atau dimundurkan barang satu detik pun. Tidak bisa dibatalkan, tidak bisa ditawar.
Insting pertama Mia adalah berjalan berderap menuju Harris.
Tangan Harris terentang, pupil mata Harris melebar. "Mia, jalannya pelan-pelan--"
Harris tidak sempat meneruskan ucapannya, karena tamparan Mia keburu menghantam pipi Harris.
Suara plakkk keras membahana di kamar yang luas dan lengang itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Segar
RomanceSelepas kematian ayahnya yang mendadak, Artemia Mudita memilih menerima pinangan Harris Teguh Prawira. Menjadi istri Harris membuat Mia bisa memastikan Killa, adiknya, tetap berkuliah karena harta keluarga sudah dia rencanakan untuk membayar hu...