Harris menyudahi pembicaraannya dengan Faizal, dan tanpa menunggu hingga mobil Faizal pergi, pria itu berbalik dan berjalan cepat melintasi jalan beton di halaman menuju teras.
Harris masih belum tahu Mia sakit apa, mungkin keracunan makanan, mungkin masuk angin--tapi duduk di luar rumah, terkena angin dan udara dingin bukan kondisi yang ideal untuk orang yang tadi malam muntah hebat.
Mia memang mengeluhkan aroma darah, mungkin karena sisa perban yang masih ada di dalam tempat sampah dan belum dibuang, atau memang ada aroma darah yang tertinggal saat kemarin teman-temannya mampir. Harris sudah melakukan segalanya untuk membersihkan rumah, tapi dia tetap tak ingin ambil resiko penyakit Mia kembali datang.
Mungkin, kalau Sari masih ada, dia akan menasehati anaknya kalau 'penyakit' Mia baru akan sembuh dalam sembilan bulan ke depan, atau minimal, dalam tiga bulan ke depan.
Tapi tidak ada Sari.
Jadi Harris akan menangani situasi ini sesuai dengan informasi yang dia ketahui, dengan cara yang dia bisa; dia akan memastikan Mia segera masuk kamar lagi, dengan cara yang sepelan mungkin.
Karena terakhir kali dia berkeras pada Mia untuk tidak terlalu sering ke kuburan ibunya, dan Mia menarik diri hingga berminggu-minggu.
Harris sudah menaiki tangga teras dan berhenti di hadapan Mia, lalu berlutut dengan setengah kaki. "Sedang apa di sini?" tanya Harris. "Kamu masih sakit. Ayo masuk..."
Mia menatap Harris. Sorot mata istrinya terlihat terlalu tajam. Tak sekuyu tadi malam. Mata Mia mencari sesuatu di wajah Harris.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Mia. "Kenapa Mas Harris terluka, dan kenapa teman-teman Mas juga?"
Harris menggertakkan gerahamnya dan menunduk. Berharap Mia tak perlu melihat air mukanya yang menggelap.
Angin yang dingin berhembus, dan tak ada yang lebih Harris inginkan daripada menarik Mia masuk, menjauhkannya dari angin dan kalau bisa, dari segala marabahaya di dunia ini...
Harris mengangkat wajah dan menggenggam pergelangan tangan istrinya. "Mia..."
Mia mengibaskan tangan Harris. "Sedang ada masalah apa? Apa ada hubungannya dengan Mas Harris menyuruhku untuk tetap di Bandung? Sampai-sampai Mas Harris berniat memutuskan komunikasi denganku?"
Harris menatap Mia. Sejenak, Harris lupa soal tekadnya untuk 'melakukannya dengan lembut'.
Harris berkata tajam, "Kamu bukannya sama? Tiap ada masalah juga inginnya menyendiri, bukannya bilang padaku?"
Tanpa memutuskan kontak mata dengan Mia, Harris berdiri.
Mia tetap menatap Harris.
Dari yang tadinya menunduk, kini Mia mendongak agar bisa tetap menatap suaminya. Wajah Mia memerah, matanya berkaca-kaca dan ketika Harris melihat genangan air mata itu, dadanya seperti ditumbuk.
Harris mengepalkan tangan erat-erat di sisi tubuhnya.
Kata-kata yang tersembur seperti panah yang dilepaskan dari busur, mustahil ditarik kembali.
Kini yang biasa Harris lakukan hanya menunggu.
Menunggu Mia membantahnya. Menunggu Mia marah padanya.
Aku tidak sama denganmu... Aku bukan pengecut sepertimu...
Karena menyamakan dirinya dengan Mia, mungkin akan terasa seperti hinaan bagi Mia.
Selama ini, tidak pernah ada pertengkaran atau keributan, tapi kekecewaan-kekecewaan kecil yang tak terselesaikan cukup banyak, seperti bara-bara kecil dalam sekam... akan menjadi pemantik kebakaran saat jumlahnya sudah cukup banyak, dan saat panasnya sudah cukup tinggi.
"Oh.... Jadi begitu yang selama ini Mas Harris pikirkan tentang aku?" tanya Mia, kini sambil berdiri pelan.
Harris menatap Mia. Air mata Mia mulai bergulir, tapi airmata segera memenuhi kelopak mata istrinya lagi.
Harris hanya bisa membayangkan rasanya jadi Mia--menatap wajahnya dengan pandangan yang mengabur, badan lemah dan mual, dengan pikiran kacau, dan keadaan yang serba membuatnya bingung.
Salahkah kalau Mia heran dan bertanya?
Tidak adakah yang bisa ditawarkan Harris sebagai pelipur dan jawabannya?
Bahkan kalau Harris memang butuh waktu untuk berpikir demi menyelesaikan masalahnya, adilkah kalau Mia juga dibuat sakit hati dalam prosesnya?
Harris sudah bertekad tidak akan terang-terangan mengatakan apa yang terjadi padanya, bertekad tidak akan melibatkan Mia dalam masalahnya... tapi seharusnya dia bisa juga mencari cara untuk tak menimbulkan dampak buruk bagi Mia dalam prosesnya.
"Sayang..." panggil Harris, dengan nada memohon, dengan suara pelan.
Kini dia mengaitkan jemarinya pada jemari Mia. Tidak seperti tadi, saat Mia menepis tangan Harris yang menggenggam pergelangan tangannya, kali ini Mia membiarkan jemari Harris menggenggam jemarinya.
Saat Mia diam saja, Harris lanjut berkata, "Gimana kalau kita ngobrol di dalam saja? Di luar sini banyak angin.... kamu habis muntah-muntah masuk angin semalam, mending jangan ambil risiko..."
***
Mia akhirnya membiarkan dirinya dituntun Harris memasuki kamar. Sesampainya di kamar, Mia melepaskan genggaman tangan Harris dan melangkah duluan memasuki kamar, melangkah gontai ke kasur, menumpuk dua bantal dan bersandar di sana dengan mata terpejam.
Rupanya Harris tidak perlu takut harus menjelaskan hal-hal sulit pada Mia, karena begitu sampai kamar, Mia seperti kehilangan tenaga dan tak lagi berminat mengobrol.
Harris menunggui Mia sebentar. Mia terlihat seperti ingin muntah lagi. Jadi Harris mengusapkan minyak kayu putih pada perut, punggung dan kaku Mia. Mia akhirnya tertidur lagi, dengan kepala disangga dua bantal dan nyaris seperti setengah duduk.
Setelah Mia terlihat benar-benar sudah tidur, Harris keluar kamar dan menutup pintu dan pergi ke dapur, lalu mendatangi asisten rumah tangga pertama yang dia temui di sana.
"Sop dagingnya sudah matang? Tolong nanti satu jam lagi bawakan semangkuk untuk sarapan ibu. Sama melon iris."
Satu orang yang diajak Harris bicara itu paling muda, dan dia menoleh ke arah dua seniornya yang lain, yang sedang membereskan dapur dan menyiangi sayuran.
Satu orang ART senior mendekati Harris. "Mungkin sebaiknya kita bikin telur rebus pak... Tapi kami diminta matikan kompor, tadi Ibu bilang mual cium bau daging, katanya. Nasi juga sebaiknya tidak usah. Tapi mungkin melon irisnya ditambah sama pisang juga ya Pak?"
Harris mengernyitkan dahi. Sejak kapan orang sakit malah dikasih makan telur rebus yang hambar? Harris tahu Mia, dia jenis orang yang suka makan makanan panas berkuah kalau sedang tidak enak badan--entah soto, sop, atau malah mie rebus.
"Ibu sedang nggak enak badan," kata Harris, seolah itu bisa menjelaskan segalanya. "Siapkan saja sopnya, nanti saya yang bawa masuk. Sama buahnya terserah apa. Nasinya juga jangan lupa."
"Tapi, Pak...." kata ART senior yang satu lagi, dia maju menghadap Harris, menjajari rekannya, lalu berkata, "Tadi Ibu juga bilang dia mual cium bau nasi.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Segar
RomanceSelepas kematian ayahnya yang mendadak, Artemia Mudita memilih menerima pinangan Harris Teguh Prawira. Menjadi istri Harris membuat Mia bisa memastikan Killa, adiknya, tetap berkuliah karena harta keluarga sudah dia rencanakan untuk membayar hu...