Menit demi menit berlalu.
Harris masih berbaring dan memejamkan matanya, menunggu Mia datang dan menyuruhnya keluar.
"Pak, ayo kita keluar."
Panggilan itu datang juga, tapi kecuali suara Mia mendadak jadi dalam dan baritone dalam waktu lima menit, yang memanggilnya jelas bukan Mia.
Harris menoleh. Menatap Yan yang kini berdiri di ambang pintu kamar. "Kamu..." kata Harris pelan.
"Maaf kalau tidak sesuai harapan," kata Yan bersimpati.
Harris berusaha bangkit, tapi agak susah karena dia hanya menggunakan satu tangan untuk bertumpu. Dengan sigap, Yan menyalakan lampu kamar, memasuki kamar, lalu membantu Harris duduk dengan menarik tangan dan menahan bahunya.
Setelah Harris duduk, Yan mundur dan berdiri menatap Harris.
"Yah, setidaknya kalau kamu yang datang, saya jadi dibantu duduk," kata Harris menghibur diri. "Kalau sama istri saya belum tentu."
"Bapak kan cuma patah tangan, bukan hamil," kata Yan.
Harris mengangkat kepalanya. "Lucu juga kamu."
Yan berdeham sedikit dan mengepalkan tangan di depan mulut untuk mengembunyikan senyumnya. Harris jarang melihat Yan tertawa, tapi memang di sini Yan agak rileks. Mungkin karena rumah Mia terpencil dan jauh dari pusat kota, Yan jadi tak sewaspada biasa.
"Bu Mia sudah menunggu kita di teras, dia sudah membuat teh, katanya, diminum dulu sebelum pulang...." jelas Yan.
Harris menatap Yan, sebelum bangkit dari kasur dan keluar kamar.
***
Mia tahu, Harris sedang menunda-nunda kepulangannya.
Yan sudah sejam yang lalu menandaskan minumannya, dan Harris menyuruhnya menunggu di mobil yang diparkir di ruko-ruko dekat gerbang perumahan. "Nanti kalau sudah selesai saya menyusul," ucap Harris kala itu.
Harris mengajak Mia duduk di dalam rumah, di depan TV. Di dalam, Mia tidak punya kursi jadi mereka duduk di karpet yang tergelar. Harris membantu menumpuk banyak bantal dan selimut empuk untuk agak Mia bisa duduk dengan nyaman.
Harris mengajak Mia mengobrol. Pertama mulai dari rumah keluarga Mia yang sebentar lagi kosong dan akan di kontrakkan, sampai rumah Harris (atau kata Harris, rumah mereka) yang masih belum jelas bagaimana nasibnya--apakah akan ditinggali lagi atau dijual saja.
Harris juga bercerita soal keberlangsungan usaha-usaha yang sebelumnya dipegang Mia, beberapa masih buka sementara banyak juga yang dijual, atau ditutup permanen.
Mia cenderung hanya mendengarkan ucapan Harris, sesekali mengangguk, menjawab saat ditanya dan mengomentari yang bisa dikomentari.
Sepanjang obrolan, mata Mia berkali-kali melirik cangkir Harris. Sepertinya Mia terlalu meremehkan kemampuan Harris untuk menunda kepulangannya, karena hingga setengah delapan malam, air teh di cangkir Harris masih setengahnya.
Mia berkata, "Apa tidak terlalu lama nanti Yan menunggu di mobil?"
"Jam kerjanya 24 jam," jawab Harris. Pria itu mengambil cangkir teh yang kini ada di depannya, terhidang di karpet bersama sepiring pisang raja dan semangkuk buah kelengkeng.
Mia memperhatikan Harris baik-baik saat lelaki itu mengambil cangkir dan mengekatkannya ke mulutnya. Bibir Harris basah, tapi Mia yakin tehnya memang hanya digunakan untuk membasahi bibir saja, tidak ada setetes pun yang masuk ke tenggorokannya.
Mia lalu mengambil pisang, dan mengupasnya, sebelum memakannya. Harris menatap Mia, yang kini pipinya penuh sebelah.
"Lapar?" tanya Harris, sepertinya mendadak menyadari ini sudah lewat waktu makan malam.
![](https://img.wattpad.com/cover/360412973-288-k185578.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Segar
RomanceSelepas kematian ayahnya yang mendadak, Artemia Mudita memilih menerima pinangan Harris Teguh Prawira. Menjadi istri Harris membuat Mia bisa memastikan Killa, adiknya, tetap berkuliah karena harta keluarga sudah dia rencanakan untuk membayar hu...