33

7.2K 841 56
                                    

Harris menelepon berkali-kali sepanjang sisa hari itu. 

Menanyakan apakah Mia sudah makan, apakah Mia cukup istirahat, apakah dia perlu sesuatu untuk dibawakan. Di tiap akhir telepon, Harris menawarkan diri untuk menjemput Mia atau malah menemani Mia menginap di rumah Parung. Semua tawaran itu ditolak Mia. Dan meski Mia bisa merasakan keengganan Harris, pada teleponnya yang terakhir Harris hanya mengingatkan Mia untuk berhati-hati, jangan lupa mengunci pintu dan jendela.

Setelah menutup telepon dari Harris, Mia tercenung sejenak. Dia lupa kalau pintu dan jendela perlu ditutup saat malam. Dia keluar dari kamar belakang yang terang ke ruang tengah yang lampunya redup, lalu menutup pintu dan jendela.

Dadanya agak berdesir sedikit. Di rumah mereka, meskipun seringnya dia tidak bisa melihat siapa-siapa, tapi Mia tahu dia tidak pernah sendirian. 

Di sini, dia benar-benar sendirian. Semua adegan film horor yang pernah dia tonton, mendadak naik ke permukaan ingatannya.

Setelah selesai mengunci pintu dan jendela, Mia berjalan cepat menuju kamarnya yang terang benderang. Setelah memasuki kamar dan menutup pintu di belakangnya, Mia buru-buru naik ke tempat tidur. Jantungnya masih berdegup kencang.

Mia meraba-raba permukaan kasur, mencari ponselnya. Setelah menemukannya, kali ini giliran Mia yang menelepon Harris.

"Halo?" Harris mengangkatnya di dering pertamanya. Suara suaminya itu pelan dan dalam, ada suara musik pelan di latar belakang, tapi Mia hanya berkonsentrasi mendengar suara Haris. 

Mia berusaha mengatur napasnya, dan perlahan debar jantungnya berangsur normal.

"Mia? Halo? Mia? Kenapa?" panggil Harris lagi, kali ini nada suaranya lebih mendesak. Suara musik yang tadinya terdengar melatar belakangi suara Harris perlahan menghilang. 

"Nggak apa-apa," kata Mia, dia kemudian berbaring, dengan ponsel masih menempel di telinganya. "Aku udah kunci pintu dan jendela, tadi belum tertutup."

"Oh..." kata Harris. Hening beberapa saat, sebelum Harris berkata, "Pintar."

Mia tertawa kecil. "Kenapa aku merasa seperti anjing yang berhasil ambil tongkat karena dibilang pintar?" tanya Mia.

"Menjaga diri sendiri adalah keputusan yang pintar, kenapa jauh banget dibawa ke situ?" Harris tidak tertawa, tapi dari suaranya, yang melembut, Mia bisa membayangkan lelaki itu tersenyum.

"Mas Harris lagi di mana? Tadi aku dengar suara musik, tapi sekarang nggak ada?"

"Ini lagi di mobil, mau keluar sebentar," kata Harris.

Setelah Harris bilang begitu, Mia menyadari dia mendengar derum rendah suara mesin. 

"Oh, gitu. Yaudah hati-hati ya..."

"Oke," kata Harris singkat.

Mia tidak menutup teleponnya, dan rupanya, Harris juga tidak. Mia baru menyadari kalau selama ini, selalu dia yang mengakhiri sambungan telepon. Selama dia tidak melakukanya, maka panggilannya pada Harris akan tetap tersambung.

"Mas Harris..." panggil Mia.

"Ya?" tanya Harris. Harris tidak mempertanyakan kenapa Mia masih bicara, atau kenapa Mia belum menutup telepon. 

"Aku.... akan kembali ke rumah besok siang. Aku cuma ingin tidur di sini barang semalam..."

"Oke Mia, nanti aku akan berangkat siangan, berangkatnya menunggu kamu datang...."

Mia merasa darahnya berdesir pelan mendengar suara Harris. Suara suaminya

Sebuah pikiran melintas di kepalanya, mulanya seperti samar dan tidak berbentuk, tapi kemudian pinggirannya terlihat dan makin jelas.... sebuah pikiran, bahwa pernikahan ini, masih bisa jadi sumber ketentraman hidupnya.... Mendengar seseorang mengatur ulang rencana hariannya untuk mengakomodasi kebutuhannya. Habis ini Harris mungkin mengabari pegawainya, mengatakan kalau dia besok akan berangkat siang karena 'menunggu Bu Mia datang'.

Bahkan kalau ada yang tidak Mia sukai dari cara Harris memperlakukannya--bagaimana Harris terlalu sering mengambil sendiri keputusan tanpa mengindahkan pendapatnya, itu masih bisa ditoleransi kan? Toh Mia sendiri kadang tak sepenuhnya jujur pada diri sendiri, apa yang sebenernya dia inginkan... Karena dia tak jujur pada dirinya sendiri, Mia berakhir kesulitan untuk jujur pada Harris...

Pada akhirnya, kalau Mia masih ingin pernikahan ini berlangsung dengan bahagia, yang perlu dia lakukan adalah mempelajari lagi siapa dirinya sekarang. Mia menyadari beberapa tahun ini dia berubah, meski belum tahu dia berubah menjadi siapa.... Kegagalannya mengenali siapa dirinya membuat dia mengalami kebingungan, keresahan, dan perasaan ingin menutup diri. 

Seperti sekarang: alasan Mia ingin menginap semalam di rumah Parung. Mia punya alasannya sendiri, tapi Harris tidak tahu apa. Harris hanya mendengar Mia meminta izin untuk pergi, yang membuatnya jadi terus menerus menawarkan diri untuk menemani Mia.

Mungkin kalau Mia jujur pada Harris....

Mia menelan ludah. Panggilan teleponnya masih tersambung.

Dia perlu melangkah maju. Dia ingin jadi orang yang berani. 

"Aku cuma pengen suasana baru. Aku males kerja dan males ketemu orang, tapi di rumah aja, kayaknya hatiku sumpek banget dan badanku sakit terus.... aku capek banget," kata Mia. Entah mengapa, sebulir air mata mengalir turun di pipinya. "Aku terus-terusan mimpi balik lagi jadi anak SMA... beneran kayak duduk kelasku pas lagi SMA..."

Harris mendengarkan Mia sampai selesai bicara. Lelaki itu tertawa gugup sebentar sebelum serius berkata, "Mia... besok pas kamu sampai rumah lagi, kita langsung ke dokter ya?"

"Tapi aku cuma--"

"Dokter kandungan," potong Harris. "Mungkin kamu hamil...."

Darah terasa berkejaran naik ke kepalanya. Mia merasa akar-akar rambutnya meremang. Mood-nya yang naik turun, sakit masuk angin yang tak kunjung sembuh sejak dia kembali dari Bandung....

"Tapi tidak mungkin kalau--" Mia tidak bisa melanjutkan kalimat itu. 

Tidak mungkin kalau dia hamil. 

Itu yang ingin Mia katakan. 

Dalam alam bawah sadarnya, Mia tahu ada yang salah dengan tubuhnya. Tanggal menstruasinya sudah terlewat. Mungkin ada yang salah lagi dengan rahimnya. 

Tapi  pikiran Mia bermuara pada hal-hal buruk, mungkin kistanya membesar dan harus ada intervensi medis. Atau ada penyakit lain bersarang di tubuhnya. 

Setelah kematian mendadak ayahnya saat dia lagi senang-senangnya bekerja, sakit ibu mertuanya saat dia sedang baru-barunya menjadi istri Harris... Mia tak mengizinkan dirinya memiliki bayangan akan masa depan.

Dia tidak mengizinkan dirinya berharap, karena entah kesedihan apa lagi yang mungkin akan menghampirinya, mematahkan hati dan meremukkan kembali angan-angannya.

"Hamil...?" kata Mia.

"Makanya kita periksa besok, oke?" tanya Harris. "Boleh nanti aku jemput ke Parung?" tanyanya lagi.

Mia menggeleng meski dia tahu Harris tak bisa melihatnya. "Jangan, nanti aku pulang sendiri saja. Tunggu aku, ya? Nanti kita ke dokter kandungan sama-sama?" kata Mia, suaranya sedikit gemetaran.

Harris bergumam mengiyakan. "Oke, sekarang istirahat ya... semoga mimpi indah.... semoga nggak mimpi jadi anak sekolah lagi...." kata Harris. "Sampai ketemu besok..."

***

*** 


Luka SegarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang