37

5.6K 716 46
                                    

Killa menggunakan shuttle travel pertama yang bisa dia temukan untuk pulang ke Bogor. 

Sore hari, dia sudah sampai di rumah salah satu kerabatnya, yang biasa Killa panggil dengan sebutan Uwa Puji. Uwa Puji merupakan sepupu ayahnya, anaknya ada tiga tapi tinggal satu anaknya, yang bungsu, tinggal bersama Uwa, namanya Teh Sonya. Keluarga Uwa punya satu salon khusus wanita yang sudah mapan dan laris, dan kini dikelola oleh Teh Sonya, karena kakak-kakaknya memilih bekerja di bidang lain, dan tidak tinggal di Bogor lagi.

Killa tahu, karena pernah bekerja di bidang yang hampir beririsan, kakaknya dan Sonya lumayan dekat. 

Hanya saja, Killa tidak tahu kalau mereka cukup dekat, hingga siang itu, ketika Teh Sonya menelepon Killa dan mengatakan kalau Mia kini ada di rumah mereka dalam keadaan sakit.

Segera setelah Killa menutup telepon dari Sonya, dia langsung menelepon semua agen travel yang sepengetahuannya punya rute ke Bogor, sementara itu otaknya berputar mengingat-ingat agendanya selama empat-lima hari ke depan. Killa bisa pulang sekarang dan bisa tinggal dua hari di Bogor, karena tiga hari lagi paling lambat dia harus kembali ke Bandung.

Di kampusnya, Killa punya lingkar pertemanan yang rajin dan ambisius, yang saking rajinnya sampai punya aneka julukan: beasiswa hunter, student exchange hunter, publikasi hunter. Killa selalu rajin kuliah, tapi dia tidak pernah tertarik dengan kegiatan yang mengharuskannya pergi keluar negeri untuk waktu yang lama.

Killa sering lupa alasannya, tapi hari ini dia seolah diingatkan lagi mengapa.

Karena Killa takut kalau Mia kenapa-kenapa, dan dia tak bisa cepat-cepat menemui kakaknya itu.

Bagaimanpun, Mia merupakan satu-satunya darah daging yang tersisa.

*** 

Sonya selalu memonitor perjalanan Killa dan sudah menunggu di pagar rumah saat mobil travel yang dinaiki Killa berhenti di depan rumahnya. Sonya sudah berniat membantu menurunkan bawaan Killa, tapi yang dibawa Killa tak terlalu banyak jadi mereka berdua berdiri bersisian memasuki halaman rumah.

Rumah ini berada di kompleks perumahan lama, tapi terawat apik. Bentuk rumahnya melebar ke samping, dengan rantai yang terulur dari pipa kucuran pembuangan air hujan, dan tegel beton warna kuning yang tergosok mengkilap. Di terasnya tertata aneka tanaman suplir dan kuping gajah, yang ditanam di pot beraksen kerang dan pot beraksen keramik pecah.

"Apa sedang ada masalah di rumah tangga Mia?" tanya Sonya, berbisik. "Ibuku khawatir terus dan memintaku menelepon suaminya Mia. Tapi kurasa, tidak mungkin Mia datang ke sini sambil membawa koper, meminta izin untuk tinggal sebentar di sini kalau bukan karena ada masalah di rumah tangganya, ya kan?"

Killa tidak tahu harus bilang apa. Dibilang ada masalah, sebenarnya tidak juga. Tapi dibilang semuanya mulus-mulus saja, juga tidak bisa. Harris pernah membuat Mia khawatir sampai kakaknya itu pulang tergopoh-gopoh, pernah memukul Mia, meskipun katanya tak sengaja...

"Tapi Kak Mia bilang apa?" tanya Killa.

"Dia nggak bilang apa-apa.... Justru itu," kata Sonya. "Dia datang ke sini pagi-pagi naik taksi, waktu aku mau berangkat kerja. Mia bilang, kalau di sini ada kamar kosong, dia mau istirahat sebentar. Sebenarnya dia mau ke rumahnya di Parung, tapi katanya uang di dompetnya cuma cukup buat tujuan dalam kota. Pas salaman tangan dan pipinya panas banget... Aku nggak jadi kerja dong, soalnya ART di rumahku pulang-pergi dan jam 12 udah pulang, dan lumayan khawatir Mia butuh apa-apa. Makanya aku telepon kamu juga... Ibuku pulang pengajian habis Zuhur, dia nengok Mia di kamar lagi tidur dan badannya panas, terus ribut deh suruh aku hubungin Mas Harris. Tapi masih aku tahan-tahan, aku takut salah langkah."

Luka SegarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang