47

2K 544 35
                                    

Harris menatap Mia.

Dia lalu menurunkan pandangannya ke tepi selimut tebal, dan mengulurkan tangan, meraba jengkal demi jengkal selimut hingga dia menemukan telapak tangan Mia dari baliknya. 

Harris lalu menyibak selimut itu hingga sampai pergelangan tangan, dan dia menggenggam jemari Mia... Tangan Mia yang satunya keluar, berusaha menyibak selimut tapi Harris menahannya. 

"Nanti dingin," kata Harris. 

Harris memperbaiki ujung selimut hingga tubuh Mia kembali tertutup selimut  kembali menutupi Mia sampai dagu.

Satu tangan Mia yang masih dalam genggaman Harris, digenggamnya makin erat. Harris menyadari ada tahi lalat kecil di dekat telunjuk Mia dan mengusapnya dengan ibu jarinya.

"Aku yang salah, karena sudah meninggalkanmu... Aku salah. Dan aku sudah belajar dari kesalahanku... Habis ini, kita akan selalu bersama-sama.... bahkan meskipun hidup sedang sulit-sulitnya." Suara Harris sedikit gemetar saat mengatakannya. 

Harris punya firasat, itulah yang Mia ingin dengar darinya... Mia mengamuk dan membanting berkas perceraian saat Harris mengungkit soal bagaimana Mia mendapat banyak kesulitan hidup selama menjadi istri Harris. 

Harris tahu dia bodoh dan kaku secara emosional. Melihat Mia bicara dengan Killa, melihat bagaimana Mia dengan keluarganya, Harris tahu dia dan Mia  tumbuh besar di lingkungan yang sama sekali berbeda. 

Harris bukan orang yang tahu hal-hal semacam 'memproses perasaan', 'luka batin', 'bahasa cinta' atau 'trauma masa kecil'.

Tapi Harris hanya hidup berdua saja dengan ibunya... dan ibunya kepayahan membesarkannya. Bahkan sejak masih kecil, Harris ingat betapa kekecewaan menggelayuti wajah ibunya tiap kali dia tahu Harris dalam masalah. Sejak remaja, hingga dewasa, Harris terbiasa sendirian menyelesaikan masalah. Dipalak kakak kelas, kesulitan mencari kerjaan, banting tulang mengumpulkan modal, semua Harris hadapi sendirian... dan Harris ingat betapa bangganya dia melihat wajah ibunya, makin menua makin bahagia, mengatakan pada semua orang betapa senangnya punya anak seperti Harris; gampang diurus dan tidak pernah merepotkan.

Harris tidak tahu bagaimana menjelaskan dirinya pada Mia tanpa berkesan membela diri. 

Maaf, kukira beginilah yang namanya cinta...

Tapi Mia pasti tahu kan? Karena itu dia ada di sini sekarang... 

Genggaman Mia makin erat di jemari Harris. Harris mengangkat wajahnya, menatap Mia lagi. Mia tersenyum padanya, matanya sedikit berkaca-kaca. 

Harris mengangkat tangan Mia, menempelkannya ke pipi. "Kamu selalu bisa diandalkan, terima kasih karena selalu sehat dan menjaga dirimu baik-baik selama ini.... Maukah kamu tinggal lagi bersamaku, agar aku bisa menjagamu lagi?"

*** 

Mia menarik napas dalam-dalam dan tersenyum lebar.

Kakak beradik itu sedang jalan lambat beriringan, di jalur trotoar lebar yang mengitari hutan kota, tak jauh dari hotel tempat mereka menginap. Beberapa orang yang sedang olahraga lari, mengenakan baju dan sepatu lari berpapasan atau mendahului mereka. Tapi Mia dan Killa tetap santai berjalan.  

"Bahagia amat, Kak... diapain sama Mas Harris tadi malam?" tanya Killa.

Mia mengabaikan ucapan Killa dan menarik napas panjang sekali lagi, lalu berkata, "Segar sekali udara hari ini..." kata Mia. "Biasanya aku jalan pagi di rumah, narik napas sedikit udah kecium bau knalpot."

Killa terkekeh, suasana hatinya ikut ringan. "Tapi emang kamu yakin, Kak, mau balik lagi sama Mas Harris, emangnya nggak takut ke depannya bakal gimana?"

Mia menoleh pada Killa. "Orang tuh harus punya harapan. Selangkah lagi, sehari lagi, seminggu lagi... harus berprasangka baik kalau di masa depan semuanya bakal baik-baik saja. Ada orang nggak punya duit, atau sakit berat, tapi kalau masih punya harapan, ya sanggup aja hidup... Tapi ada orang yang sehat, banyak duit, kalau sudah kehilangan harapan, bawaannya juga pengen lompat dari jembatan..."

"Peh, peh, peh..." Killa melepeh udara dari mulutnya tiga kali. "Naudzubillah min dzalik..." gumamnya sambil bergidik.

"Jadi ya yang paling penting kan punya harapan? Dan aku punya harapan baik sama Mas Harris, dan sama pernikahan kami..." kata Mia, sembari mengusap perutnya. "Hidup dalam ketakutan juga buat apa?"

Killa termangu sedikit. Kini Mia sedang tengadah, menatap dedaunan lebar dari pohon-pohon raksasa yang menaungi mereka. Aroma lumut basah samar tercium di udara.

"Tapi Kakak janji ya, nggak usah berusaha terlalu keras... nggak usah terlalu banyak mengalah dan menyesuaikan diri," kata Killa pelan, sambil menggandeng lengan Mia. "Kalau memang sudah nggak bisa kayak dulu lagi, nggak usah dipaksakan. Kita bisa kok hidup bahagia bertiga..." Killa mengusap singkat perut Mia.

Mia tergelak dan menepuk tangan Killa. "Bertiga aja? Pacarmu di kemanain?"

"Ah, nggak usah terlalu dipikirin. Yang nikah aja bisa cerai apalagi aku yang pacaran doang," Killa berdecak. Tapi seperti memikirkan sesuatu, Killa menjauhkan tubuhnya dari Mia. "Terus kalau beneran rujuk, mau gimana? Balik tinggal sama-sama lagi?"

Mia mengedikkan bahu. "Mas Harris sih mintanya gitu. Tapi masih bingung di mana. Rumah yang di Rasamala kemarin dia nggak mau. Sampai sekarang masih ada bubuk bekas pengangkatan sidik jari di tembok, banyak banget. Masih banyak tempelan police line juga. Malas tinggal di situ lagi, katanya...."

"Malas?" tanya Killa heran. "Malas?! Mas Harris bilang 'malas'??"

Mia berhenti berjalan. "Emang kenapa sih?"

"Nggak papa, aneh aja sih denger itu keluar dari mulut dia... Biasanya Mas Harris kan kayak mesin, lempeng. Selama ini, di balik semua keputusannya, pasti udah ada kalkulasi yang masuk akan dan bikin kita "ooooh...." Dengar dia memutuskan sesuatu cuma karena alasan males tuh kayak bercermin gitu, soalnya aku kan sama, hidupnya disetir sama mood..."

Mia tertawa dan mereka berdua kembali melangkah, menyusuri trotoar lebar itu. 

"Bisa lah, soalnya aku udah ngancem dia harus selalu jujur. Apa pun alasannya, harus terbuka alasanku..." kata Mia. "Lagian nggak semua keputusan dia masuk akal kok, berusaha menceraikan aku itu apa namanya kalau bukan keputusan sableng?"

"Duilehhhh, masih dendam banget kayaknya," kata Killa, menyikut pelan pinggang Mia.

"Oh jelasss.... Cuma buat sekarang aku masih nggak mau ngungkit-ngungkit dulu, udah capek banget, nggak punya tenaga buat marah-marah," kata Mia.

"Jadi kalau nggak di Rasamala nanti mau tinggal di mana, di rumah Parung?" tanya Killa, meneruskan topik pembicaraan mereka yang sempat terpotong tadi.

"Kemungkinan besar mas Harris mau beli rumah baru... yang lebih kecil, karena rumah yang kemarin juga kan buat mengakomodasi almarhumah ibu dan banyak pakai asisten rumah dan supir. Kalaupun ada asisten rumah juga cari yang nggak nginap. Tapi aku bilang aku keberatan kalau milih-milih rumah dalam keadaan hamil begini. Sebentar lagi rumah Ayah yang lagi dikontrakkan habis masa kontraknya dan nggak diterusin, aku pengen tinggal di situ aja. Rumah Ayah tempatnya lumayan strategis kan, dekat sama beberapa RS besar. Buatku sekarang, yang paling penting."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Luka SegarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang