Lita sedang mengayuh sepeda statisnya sambil menonton video olahraga di TV saat dia mendengar bunyi gembok besi beradu dengan besi pagar. Dia berhenti mengayuh sebentar, mengambil remote TV untuk menurunkan volume agar bisa mendengar lebih jelas.
Kali ini, terdengar suara pagar besi berat digeser, bunyinya berat tapi lancar, tipe pagar besi yang kokoh dan mahal dengan rel yang mulus. Tidak salah lagi, tetangga depannya sedang menengok rumah.
Lita turun dari sepedanya dan berjalan menuju jendela depan, mengintip dari sela gorden.
***
Lita ingat, dulu juga almarhum ibunya punya kebiasaan seperti ini; tiap ada kendaraan lewat atau berhenti, tiap ada suara aneh, ibunya sering mengintip dari celah gorden rumah mereka.
"Apaan sih Bunda, kepo banget," kata Lita suatu kali, menertawakan ibunya.
Waktu itu, Lita masih kuliah, umurnya dua puluh satu tahun. Di umur segitu, Lita merasa sedang pintar-pintarnya; liberal, progresif, dan terbuka.
Selain meledek kebiasaan mengintip ibunya, banyak hal-hal yang dilakukan ibunya yang Lita rasa tidak berfaedah: silaturahmi dengan saudara (capek basa-basi dan membosankan), ramah tamah dengan tetangga (buat apa?), senam aerobik di lapangan tiap Minggu pagi (Lita benci dengan seragam senam motif loreng militer warna ungu yang dipakai ibunya).
Tapi Lita tak selamanya berusia dua puluh satu tahun.
Tahun berlalu, Lita menjadi gadis berusia dua puluh dua tahun. Ibunya sakit keras, dan hampir seluruh keluarga besarnya selalu datang membantu dan menguatkan keluarga Lita, sesederhana mengirim nasi kuning untuk sarapan, atau datang menjenguk.
Lalu tahun demi tahun berlalu lagi, Lita berusia dua puluh delapan. Ibunya sudah meninggal dan Lita sudah menikah, dia tidak lagi tinggal bersama ayahnya. Tapi tetangga di sekitar rumah orangtuanya amat baik. Meski ayahnya bisa hidup mandiri, dan meski keluarga besarnyanya selalu siap membantu jika diperlukan, tapi para tetangga selalu memonitor kesehatan dan keberadaan ayahnya.
Lalu Lita berumur tiga puluh satu tahun. Dia mengontrak rumah di kompleks dekat kantor suaminya, sebuah perumahan yang ramai tapi sepi karena tidak ada kegiatan warga, dan suatu hari, salah satu rumah tetangganya mendadak didatangi Tim Buru Sergap polres setempat, karena kedapatan mengedarkan narkoba dan uang palsu.
Lalu tahun lalu, ketika umurnya tiga puluh tiga, penjaga masjid di tempat anak-anaknya belajar mengaji, kepergok melecehkan anak-anak.
Jadi kini, Lita berumur tiga puluh empat tahun dengan dua anak, dan perlahan, dia mengerti kenapa ibunya selalu mengunjungi saudara dengan senang hati, kenapa ibunya peduli dengan keadaan sekitar, kenapa ibunya rajin senam...
Semata-mata, karena ibunya mencintai anak-anaknya... Karena ibunya sudah tahu apa yang kala itu belum Lita ketahui...
***
Rumah jarang didatangi pemiliknya. Tapi selalu ada ada yang datang untuk membereskan beberapa bulan sekali. Orang yang datang memberekan berganti-ganti, tapi yang jelas rumah mungil di depan selalu tampak asri.
Dulu, ada kertas ditempel di jendela, tertera tulisan 'Rumah Dikontrakan, Hubungi xxx no hp xxx', tapi sejak pengontrak terakhir setahun lalu, rumah itu dibiarkan kosong.
Pemilik rumah depan membayar uang kas RT dan iuran lingkungan langsung setahun. Lita tahu dari laporan keuangan yang dibagikan di grup warga. Tiga tahun yang lalu, konon rumah itu ditinggali oleh pemiliknya sendiri sebelum beliau pindah. Kata ibu-ibu yang sudah lebih lama tinggal di sini, yang punya namanya Mia, karena waktu itu paling muda dari semua ibu-ibu di RT 8, beliau dipanggil Mbak Mia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Segar
RomanceSelepas kematian ayahnya yang mendadak, Artemia Mudita memilih menerima pinangan Harris Teguh Prawira. Menjadi istri Harris membuat Mia bisa memastikan Killa, adiknya, tetap berkuliah karena harta keluarga sudah dia rencanakan untuk membayar hu...