"Aku akan kembali jika urusanku sudah tuntas."
"Kau tak bisa seenaknya keluar-masuk begitu! Atau kau memang mau kabur dari pemberontakan Kembang Jenar?"
"Yah itu salah satunya. Makar itu tak baik, kita cuma negara bawahan kecil yang jemawa."
Terlalu banyak unek-unek yang bergumul di ujung lidah Danuja, tetapi ia memilih menelannya kembali. Berdebat dengan orang sedeng takkan selesai jika ia tak diam lebih dulu. Danuja mendekati Jaka Banyu yang bersikap waspada, kemudian menepuk kedua bahunya untuk yang terakhir kali.
Mereka melanjutkan jalan berlawanan arah dengan perasaan berbeda. Jaka Banyu menggerutu karena urusannya dicampuri, sementara Danuja kecewa jauh-jauh kemari dengan ilmu Saifi Angin⁷ hingga mampu menyusul Jaka Banyu, tetapi pulang dengan tangan kosong tanpa membawa murid berandalnya itu.
***
Keberadaan gua di lereng gunung tak bisa dihitung jari. Maka dari itu Jaka Banyu bertanya saban berpapasan dengan warga, mana saja letak gua di lereng Bisma. Ia tak membawa bekal apa pun saat pergi. Terhitung dua hari seragam hitamnya menyerap keringat. Tak terbayang, kan, baunya seperti apa?
Apabila orang lain bersujud syukur atas peralihan musim dari kering kelontang menuju penghujan, bagi Jaka Banyu itu merupakan malapetaka. Guyuran pertama setelah hampir setahun Kembang Jenar kekeringan, membuat Jaka Banyu terpaksa berteduh di teras rumah warga.
Agaknya sang pemilik rumah dari kayu itu memilih bergelung di balik selimut ketimbang menilik Jaka Banyu yang menggigil kedinginan akibat bajunya basah kuyup. Jaka Banyu hanya berdiri memeluk tubuhnya sendiri seraya memperhatikan aliran air dari kasau bambu. Di salah satu sudut tiang, tergantung kentungan yang mengindikasikan si pemilik rumah memiliki pangkat. Guyuran air di pagi hari itu membawa serta tikaman udara dingin yang menyapu epidermis kulit.
Mendapati hujan tak kunjung reda, Jaka Banyu mendaratkan pantatnya di amben teras. Ia bersila dan mengatur napasnya untuk semadi. Aroma petrikor atau air hujan yang bertubrukan dengan tanah merasuki penghidunya. Lambat laun visualisasi tergambar dalam alam bawah sadarnya— ia menyusuri setapak dengan semak cocor bebek di kanan-kirinya, mengambil jalan kanan di persimpangan, kelok setapak perlahan berubah menjadi jalanan berbatu yang mengarah ke mulut gua.
"Kisanak!"
Jaka Banyu mengerjap dengan degup jantung tak beraturan akibat terkejut. Ia melesat menjauhi pria setengah baya yang tak kalah waspadanya dengan golok tergenggam.
"Untuk apa Kisanak komat-kamit di sini?" seru pria itu mengalahkan deru hujan.
"Saya semadi untuk mendapat pencerahan terhadap apa yang saya cari," sahut Jaka Banyu lantang, tetap pada posisi prayitna.
"Kenapa di rumah saya? Apa yang kaucari?"
"Karena saya kehujanan dan tak ada tempat lain untuk berteduh." Jaka Banyu menahan gemeletuk giginya. "Saya hendak ke gua, mencari ibu saya."
Menyadari bahwa pemuda itu tak berbahaya, si pria menggiringnya masuk untuk menghangatkan diri di depan tungku perapian.
"Aku Winong. Maaf tadi mengacaukan semadimu. Kukira kau berniat buruk di rumahku." Pria itu menyodorkan gelas tembikar berisi teh melati.
Jaka Banyu lekas meneguk khidmat sebelum menyahut, "Aku Jaka Banyu, pendekar dari Rogojembangan."
"Waduh, ampuni aku sudah mencurigai Kisanak."
"Untuk menebus kesalahan, bisakah Ki Winong meminjamkanku payung dan kentungan di teras itu?" Jaka Banyu menyamarkan senyum liciknya.
Kumis Ki Winong bergerak-gerak saat mengambil payung yang gagangnya dari bambu dan bentangannya dari kain tak tembus air bermotif burung api. Benda itu sangat berharga baginya karena dibeli langsung dari pedagang Tiongkok.
"Kalau tak dikembalikan, kau tahu akibatnya." Ki Winong menyodorkan payung itu kemudian membuat isyarat menggorok leher.
"Tenang saja, Ki. Aku orang yang tahu diri. Permisi," pungkas Jaka Banyu sebelum meninggalkan rumah sederhana itu membawa serta sebuah kentungan.
Senyumnya tak henti merekah, tak acuh pada tanah becek yang mengotori kaki telanjangnya, melangkah sesuai arahan yang didapat saat semadi. Benar saja, setapak yang dilaluinya dikelilingi cocor bebek yang tumbuh subur sampai di persimpangan. Ia mengambil jalur kanan kemudian menapaki jalanan terjal berbatu. Semilir angin menggoyahkan ranting yang sekonyong-konyong berjatuhan secara berkala. Jaka Banyu sadar isyarat semesta itu adalah pertanda buruk, tetapi ia tak mungkin mundur setelah sejauh itu.
_______
⁷ Saifi Angin : Ilmu meringankan tubuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Banyu
Historical FictionHanya Jaka Banyu yang berani mengusik pertapa menggunakan kentungan. Ia hendak mengusut masa lalu sebelum pertapa itu moksa, hilang takkan bereinkarnasi lagi. Namun, jika salah orang, apa yang bakal dilakukan pertapa itu untuk melampiaskan amarahnya...