24. Jaka Banyu yang Lain

35 7 2
                                    

Padepokan Kali Puring bukan sembarang padepokan silat. Jika biasanya tempat perguruan memiliki satu mahaguru, lain dengan Kali Puring yang memiliki tiga sekaligus. Cantrik di sana terhitung 36 orang, jumlah lumayan bagi padepokan silat yang baru menetas. Orang tua mereka rutin memberi sumbangsih manasuka. Lebih dari cukup untuk tiga serangkai itu menyambung hidup serta memberi kehidupan yang layak bagi para cantrik.

Jaka Banyu yang semula disebut-sebut pendekar sedeng oleh cantrik Rogojembangan, kini dielu-elu oleh masyarakat Ngampal Gading. Mereka melihat perbawa Jaka Banyu yang agung—karena mereka tak tahu Jaka Banyu pernah melakukan hal-hal bodoh. Begitu pula mereka melihat Haryang. Lelaki itu diam-diam menghanyutkan. Sementara Kesari, masyarakat dan cantrik sangat menyayanginya lantaran keluwesannya dalam membaur.

"Ini adalah cakram. Cara melemparnya harus dengan perhitungan yang tepat. Insting kalian harus bersahabat dengan senjata ini." Kesari mempraktikkan cara menggunakan cakram, timbul decak kagum dari muridnya yang masih antusias meski senja hampir usai.

Di tepi gemercik kali, Haryang dan Jaka Banyu membasuh muka setelah pagi dan siangnya mengajar. Mereka telah memasuki masa kagok mengobrol dengan saudara. Bahkan sigasir dan tonggeret menyoraki kecanggungan itu.

"Kakang, apakah Kakang belum berniat menikahi Kesari?" celetuk Jaka Banyu sambil memainkan air.

"Jangan bergurau, Banyu. Kami masih 17 tahun." Haryang menggeleng tak habis pikir.

"Bagaimanapun juga, kita serumah."

"Maksudmu? Kau kuatir kelepasan menggauli Kesari?!"

"Jangan naik pitam dulu, Kakang. Bukankah kurang pantas bila perempuan tinggal serumah dengan dua lelaki yang bukan saudaranya?"

Haryang menyadari perubahan adiknya setelah dicampakkan Nyai Bagelen. Semakin waras. "Kita ini pendekar. Orang-orang takkan berpikir macam-macam."

***

Haryang memeriksa untaian aksara yang tergurat di atas daluang. Kertas dan pensil arang ia beli dari warga yang memang ahli membuatnya. Tulisan anak didiknya berkembang dari hari ke hari. Mereka sudah bisa menulis! Bukti nyata bahwa anak-anak Kabuyutan Ngampal Gading ini aslinya cerdas, hanya saja salah tempat untuk berkembang.

"Karena kalian sudah jago menulis, sekarang aku mau mengisahkan sejarah arca perwujudan Nyai Kaniraras di tepi Kali Puring."

Beberapa cantrik kedapatan melenguh dan menguap. Wajar, pagi buta disodoki dongeng pastilah membosankan.

"Catat hal pentingnya, nanti kuberi nilai. Kalau tidak mencatat, hukuman pecut menanti kalian." Haryang merogoh pecut dari laci mejanya, kemudian memamerkan pada anak didiknya yang bersila di bawah dengan raut ketakutan.

Melalui kisah Kesari dalam persemadian yang dibagikan padanya, Haryang meneruskan riwayat itu pada cantrik yang terkantuk-kantuk tetapi memaksa kelopak mata untuk melek.

"Ceritakan masa kecil Dang Haryang, dong!" celetuk salah satu cantrik bernama Janaka seusai menyerahkan catatannya.

"Kecilku pendiam dan apa adanya, jadi membosankan. Yang menarik justru pengalaman Dang Banyu, mau dengar?"

Mereka lebih antusias mendengar riwayat Jaka Banyu ketimbang kisah Nyai Kaniraras yang terpaksa mereka dengar lantaran takut kena pecut. Bahkan yang matanya mengantuk berat pun jadi berbinar saat Haryang membuka kisahnya dengan bagian paling tak terduga.

"Dang Banyu waktu bayi dihanyutkan ke kali."

***

Jaka Banyu tak mengindahkan sambatan anak didiknya yang tak terima pelajaran bela diri dilaksanakan pada siang bolong. Mereka meminta jadwal Jaka Banyu dan Haryang ditukar saja.

"Waktu terbaik untuk mengasah otak adalah pagi hari. Dan waktu terbaik mengasah kekebalan jasmani adalah siang. Kalian akan keluar keringat. Ujian kalian ya di sini, kalau sewaktu-waktu kalian diminta bertempur, kalian akan siap karena sudah biasa latihan di bawah terik."

Tak ada cantrik yang berani menyahut.

"Aku dulu juga begitu, bahkan lebih berat. Pagi memasak, siang sampai sore latihan bela diri, malamnya masih harus olah batin. Kalian beruntung punya Nyi Kesari yang mau memasak buat kalian. Beruntung pula malam hari tak ada jam pelajaran." Jaka Banyu mondar-mandir dengan tangan bertaut di belakang.

Para cantrik merasa kerdil di hadapan Jaka Banyu yang tubuh kekarnya membuat karismanya menjadi-jadi. Meski mereka tahu masa lalu Jaka Banyu yang pahit sekaligus memalukan, mereka paham Jaka Banyu yang sekarang berbeda 180°.

"Seorang pemimpin yang hebat dibentuk dari rasa sakit. Kalau kalian ingin bersantai, jadilah pemimpi saja!"

Jaka BanyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang