Dear Anugraha♡

219 12 1
                                    

Malam hari tiba, seluruh keluarga Kyai Ahmad telah berada di Masjid, begitu juga seluruh santri. Terdapat seribu santri yang turut hadir diacara tersebut. Acara ini disebut syukuran atas kepulangan anak kedua Kyai Ahmad, meski acara ini terkesan besar, tujuan Kyai Ahmad bukan hanya itu, tapi semakin mengeratkan tali silaturahmi antar Kyai serta Ustaz dan Ustazah di luar pondok pesantren Ahlul Qur'an.

Banyak Ning dan Gus turut hadir disana, beberapa ikut karena kedua orang tua mereka menghadiri acara syukuran dan ada juga menjadi
perwakilan kelurga mereka yang berhalangan datang.

Susunan acara terdapat pembacaan ayat suci Al-Qur'an, sambutan santriwan menggunakan alat musik Rebana, 

Alat musik rebana ini biasanya dimainkan dalam acara kesenian islam. Maka, tak heran jika alat musik rebana ini digunakan untuk mengiringi dan menentukan tempo dari sebuah lagu.

Rebana atau dalam kosakata bahasa Inggris disebut dengan "tamborin", alat musik tepuk, pukul, perkusi dan islamis, terbuat dari papan kayu yang dilubangi di tengahnya. Kemudian, pada salah satu sisinya dipasang kulit kambing yang telah disamak atau tipis. Alat musik yang terbuat dari kulit kambing yang dikeringkan tersebut memiliki sejarah yang demikian tua. Rebana termasuk seni dan bagian dari kebudayaan yang didalamnya terdapat nilai-nilai religi, etika, ajaran positif bagi kehidupan manusia.

Lalu acara terakhir perkenalan Gus Afkar kepada Guru-guru besar yang hadir, tujuannya agar mereka saling mengenal dan akrab.

Setelah acara selesai, beberapa Istri Kyai atau bisa di sebut Ibu Nyai menghampiri Gus Afkar, ada yang sendiri, ada juga bersama Putri mereka. Gus Afkar tetap ramah menyambut kedatangan mereka, senyum tipis lalu berbicara seperlunya

"Masyaallah Gus, sudah empat tahun meninggalkan Indonesia, Ibu lihat kamu tambah ganteng. Masih ingat Ibu kan? Yang selalu jaga kamu kalau Umi mu lagi ngulek sambel, dulu pas kamu masih kecil suka main sama Ning Cinta, coba lihat sekarang kalian sudah tumbuh dewasa. Ibu jadi salting sendiri kalau kalian berjodoh," ujar wanita bercadar hitam bernama Ning Aisyah. Dia adalah Istri kedua Kyai Ali.

Seorang gadis di samping Ning Aisyah adalah putrinya sendiri, bernama Cut Cantika, kerap dipanggil Ning Cinta. Sejak dulu Umi Adibah dan Aisyah sering ke taman bersama pada saat tinggal di Arab. Ya, Umi Adibah dan Kyai Ahmad pernah menetap di Arab karena Umi Adibah memilih melanjutkan pendidikannya di sana, tidak sengaja bertemu Ning Aisyah hingga akrab sampai sekarang.

"Masih Ibu," jawab Gus Afkar. Gadis di samping Ning Aisyah terlihat malu-malu sendiri, membuat Gus Afkar heran.

"Baguslah. Ini Cinta, teman kecil kamu. Cantik kan?" Ning Aisyah memperkenalkan Putrinya, membanggakan bagiamana paras yang dimiliki Putrinya sendiri. Ning cinta tidak menggunakan cadar atau pun Niqap, maka dengan mudah orang-orang menilai

Gus Afkar hanya diam, tidak berminat menjawab pertanyaan wanita di depannya. Menurutnya, meminta orang lain menilai paras keturunan sendiri sangat tidak etis, kelakuan itu tidak jauh dari niat mendapatkan pujian hingga yang di puji merasa lebih percaya diri. Gus Afkar memiliki pemikiran berbeda dari beberapa orang, Ia beranggapan jika setiap cintaan Allah sudah sangat sempurna, maka untuk apa kita menanyakan kembali? Ingin mendapatkan pengakuan? Hahaha, se haus itu ka manusia atas pengakuan dan pujian terhadap fisiknya?

"Umma jangan gitu, aku malu." Rengek Ning Cinta. Suara dibuat-buat lembut menambah kesan heran Gus Afkar, mengapa gadis itu berpura-pura? Apakah pita suaranya tidak tersiksa? Heran Gus Afkar

"Saya permisi dulu ya Ibu, Ning. Ada keperluan mendadak, Assalamualaikum." Gus Afkar melangkah pergi. Jam sudah menunjukkan pukul 20.30, beberapa tamu telah pulang, setelah melaksanakan sholat isya berjamaah dan makan bersama, hubungan kekeluargaan mereka semakin erat, sungguh luar biasa dampak positif acara ini. 

~o0o~

Beberapa santri memilih kembali ke asramah setelah acara selesai, menikmati malam tenang tanpa gangguan dari para biang kerok di setiap kamar asramah. Mengapa begitu? Karena para biang kerok itu memilih menetap disana, menikmati makanan lezat hingga puas. Kerena kejadian ini hanya terjadi sesekali, maka lebih baik memanfaatkan keadaan, toh juga tidak ada yang akan marah, asal tidak mubazir.

Azizah memilih tinggal beberapa menit lagi di masjid, ditemani Bunga. Kedua gadis itu sedang duduk di kursi di bagian depan area masjid, keduanya menikmati es buah sambil berbincang ringan, hingga tidak beberapa lama Ning Cinta menghampiri keduanya.

"Permisi, kalian berdua bisa bantu saya cuci sendal ini?" Tanpa tersenyum Ning Cinta meminta tolong, seketika Azizah dan Bunga menoleh ke arah Ning Cinta, "Maaf Ning, kami sedang minum es buah," tolak Bunga dengan sopan, siapa juga manusia yang mau cuci sendal orang asing, mana kondisi sendal tersebut penuh lumpur, kemungkinan di injak-injak oleh orang

"Kalian malas banget si, kan ini cuma di cuci. Saya nggak bisa karena takut gamis ini kotor," cibir Ning Cinta.

Bunga jadi emosi mendengar itu, dia dikatakan malas oleh gadis di depannya yang jelas lebih malas darinya, sendal siapa tapi di suruh cuci siapa, kan aneh.

"Maaf ya Ning, sudah jelas itu sendal Ning, ya harus di cuci sama Ning lah. Kenapa harus kita berdua yang repot? lagi pula Ning, cuci sendal nggak sampai berenang di air, apa lagi sampai mengotori gamis biasa itu. Kami berdua sibuk, cuci sendiri." Bunga sudah tidak habis pikir atas kelakuan Ning manja ini, ingin sekali Bunga menjadikan gamis yang di pakai jadi kain lap meja. Gamis biasa saja sudah di anggap istimewah.

Azizah sejak tadi ada disana memilih diam, cukup kesal juga atas kelakukan gadis di depannya, menyuruh orang lain tanpa adab, Astagfirullahalhazim

Ning cinta kesal hingga melemparkan sendal kotor itu kearah Azizah. Gamis putih dikenakan Azizah seketika kotor, Bunga sampai teriak atas kelakuan Ning Cinta.

"ASTAGAAA NING!" teriak Bunga, mampu mengalihkan perhatian orang-orang di dalam masjid. Umi Adibah, Gus Afkar dan beberapa santri serta Istri para Kyai, mereka penasaran siapa pemilik suara keras itu. Semua mata mengarah ke Azizah, gamis indah berwarna putih kotor akibat ulah Ning Cinta

"Tanggung jawab nggak Ning! Ini gamis putih teman saya kotor!" marah Bunga, sedangkan Azizah sibuk membersihkan gamisnya dengan tisu.

"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut," tanya Umi Adibah, menghampiri ketiga gadis itu. Bunga mendengar itu seketika langsung menjelaskan semuanya, terus menatap sinis Ning Cinta. Ning cinta seketika takut, apa lagi mendapatkan tatapan sinis dari beberapa orang disana

"Nggak Umi, itu bohong! Jelas tadi aku nggak sengaja kok. Aku nggak sengaja lempar, sendalnya tadi licin sampai lepas dari tangan ku," jelas Ning Cinta, mencoba membela diri

"Mana ada begitu, jelas kamu dengan santai tadi lempar sendal penuh lumpur itu! Jangan bohong deh Ning, ingat Allah selalu lihat kelakuan hambanya." Bunga semakin emosi.

Azizah masih sibuk membersihkan nota itu, gamisnya seketika mendapatkan corak tambahan akibat lumpur. Dia tidak ingin marah, menurutnya marah tidak akan mengubah apapun, maka dari itu Ia memilih membersihkan nota tersebut dengan cepat, agar tidak meninggalkan bekas

"Sudah-sudah, jangan bertengkar lagi. Malu banyak orang. Azizah, Mari ikut umi nak, biar umi bantu bersihkan. Untuk Ning Cinta, jika apa yang santriwati saya katakan benar, lebih baik langsung minta maaf, jangan membenarkan cara yang salah." Ucap Umi Adibah. Dengan lembut Umi Adibah menarik tangan Azizah lalu mengajaknya ke Ndalem. Gus Afkar terus menyaksikan itu, tidak hanya Gus Afkar, beberapa Gus serta Ustaz turut melihat bagaimana sikap Azizah menghadapi masalah tadi. Tidak koar-koar mencari pembelaan, diam. Cara yang amat elegan, bukan berarti pada saat tertimpa masalah kita harus  koar-koar atau gila mencari pembelaan, cukup diam, kebenaran akan hadir sendiri di tengah kebohongan yang dibuat-buat.

"Awas lalat masuk ke mata Gus," ucap Arka tiba-tiba, Gus Afkar keget lalu menoleh ke sepupunya, perasaan tadi Arka sedang di dalam masjid membantu mengumpulkan sampah, mengapa sudah ada disamping nya?

"Astagfirullah Seperti Abdul saja, tiba-tiba muncul," gumam Gus Afkar

~o0o~

Dear Anugraha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang