Bagian 20

461 49 14
                                    

Bintang melepas paksa jarum infus yang menempel di punggung tangannya. Sensasi perih bisa ia rasakan dan Bintang juga bisa melihat beberapa tetes darah yang mengalir dari tangannya akibat tindakannya itu namun Bintang seolah tak peduli. Bintang melangkah tertatih menuju lemari pakaiannya lalu memakai hoodie berwarna putihnya, meski sesekali meringis kesakitan saat lukanya bergesekan dengan hoodie yang ia pakai namun lagi-lagi Bintang mengabaikannya.

Dengan langkah yang pelan dan tertatih karena tubuhnya seolah begitu lemas Bintang keluar dari kamarnya. Hampir seluruh rumahnya nampak gelap karena waktu menunjukan hampir tengah malam, keluarganya pasti tengah beristirahat saat ini.

Langkahnya begitu pelan dan dengan kedua kaki tanpa alas Bintang keluar dari rumahnya tanpa sepengetahuan siapapun. Ia berjalan menulusuri jalanan kompleks perumahannya yang nampak begitu sepi, sesekali Bintang berhenti berjalan saat merasa begitu lemas dan tak kuat lagi berjalan. Ia duduk di atas trotoar yang dingin sembari menatap langit malam yang begitu gelap seolah mengisyaratkan kehidupannya saat ini. Gelap dan begitu menyedihkan.

"Kak Gavin.." gumam Bintang, entahlah, tiba-tiba Bintang jadi teringat dengan kakak tirinya itu yang belakangan ini selalu bersikap baik padanya. Bintang tiba-tiba merindukan Gavin yang saat ini berada di luar kota karena tengah melakukan tugas kuliah bersama teman-temannya.

Bintang menundukan kepalanya dalam-dalam dan menangis terisak, sesekali Bintang memukuli dadanya yang terasa begitu sesak saat ini.

Apa salahnya, mengapa jalan hidupnya begitu rumit seperti ini? terkadang Bintang ingin menanyakan hal itu namun entah pada siapa.

Dengan susah payah, Bintang kembali melanjutkan langkahnya, menghiraukan udara malam yang begitu dingin Bintang melangkah tanpa tujuan dengan tatapan kosongnya. Langkahnya yang pelan membawanya sampai pada jalan raya dengan banyaknya kendaraan yang lalu lalang di hadapannya.

Bintang menatap kosong jalan raya yang masih nampak ramai meski waktu sudah menunjukan hampir tengah malam itu. Penampilannya yang kacau dan wajahnya yang nampak begitu sembab dan pucat membuat Bintang nampak begitu menyedihkan saat ini.

Bintang menundukan kepalanya dengan airmata yang lagi-lagi mengalir membasahi wajahnya. Katakanlah Bintang bodoh namun rasanya Bintang sudah terlalu lelah saat ini, mungkin dengan menyusul ayahnya Bintang bisa melepas segala rasa sakitnya karena rasanya sungguh menyesakan. Bintang seolah tak memiliki siapapun di sampingnya yang bisa menguatkannya, yang bisa ia jadikan alasan untuk tetap hidup.

"Ibu.. maafin Bintang, Bintang gak bisa jadi anak yang baik dan membanggakan buat Ibu. Bu, dulu Ibu pernah berkata sama Bintang kalau Bintang udah gak kuat disana Bintang bisa pergi. Jadi, gak papa kan kalau sekarang Bintang memilih pergi?"

Bintang tersenyum miris lalu menghapus kasar airmatanya yang masih saja berjatuhan, benar, rasanya ia begitu pengecut saat ini. Namun Bintang hanyalah manusia biasa yang memiliki batas kemampuan dan batas kesabaran dan mungkin Bintang telah mencapai batasnya hari ini.

Bintang berjalan semakin ke tengah jalan, seolah dengan sengaja ingin menabrakan dirinya pada kendaraan yang lewat di hadapannya. Bintang memejamkan matanya saat melihat ada sebuah mobil yang melaju di hadapannya dan mungkin dalam beberapa detik akan menghantam tubuhnya.







TIIIINNNN












"BINTANG!!!"

Suara pekikan seorang wanita bisa Bintang dengar bersamaan dengan suara langkah kaki yang begitu cepat melaju ke arahnya. Mobil itu tak menabrak tubuhnya, mobil itu masih bisa mengerem tepat beberapa senti di depan tubuh Bintang. Sang pengemudi mobil itu adalah Doni, ayah Anya dan juga ada Anya yang duduk di kursi penumpang itu begitu terkejut saat melihat apa yang tengah di lakukan seorang remaja laki-laki di tengah jalan, tengah melakukan percobaan bunuh diri.

BINTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang