Bagian 01

983 65 11
                                    

"Aku terlalu takut memiliki harapan...
Karena setiap aku memiliki harapan, maka aku hanya akan di kecewakan oleh harapanku sendiri, contohnya adalah, harapan untuk bisa merasakan kebahagiaan.."

_Bintang Askara Rajendra_









                          ****

Langit senja nampak menampakan cahaya jingganya, suara hembusan angin yang bersentuhan dengan air danau menciptakan suara ketenangan bagi remaja lelaki yang masih berdiri mematung di tepi danau sembari menatap kosong hamparan air danau di hadapannya..

Tempat ini..

Danau yang dulu selalu ia jadikan tempat bermain dengan kedua orangtuanya, dulu, saat semua masih baik-baik saja..

Saat kedua orangtuanya masih terikat oleh sebuah kata bernama' cinta' ..

Saat itu, ia tak merasakan apapun lagi selain bahagia, masa kecilnya yang di penuhi kasih sayang dan cinta rupanya cepat sekali berlalu..

Lelaki itu, Bintang..

Ia menghela nafas berat saat merasakan sesak yang teramat yang seolah menghimpit rongga dadanya..

Jika saja ia bisa memutar waktu, mungkin ia tak akan menerima ajakan ayahnya pergi ke danau itu jika hanya untuk menyaksikan sendiri kematian tragis ayah kandungnya disana.

Hari ulang tahunnya..

Kini menjadi hari yang paling Bintang benci..

Karena di hari itu, ia harus kehilangan sang ayah untuk selama-lamanya..

"Yah.. Bintang udah lulus SMP, bentar lagi mau masuk SMA, Yah. Bintang janji, Bintang akan belajar yang benar, jadi anak yang pintar dan membanggakan seperti keinginan Ayah dulu..." lirih Bintang sembari menatap kosong hamparan air danau di hadapannya.

Sekian lama Bintang berdiam diri disana, namun perhatiannya teralihkan saat suara ponsel dalam sakunya bergetar. Bintang merogoh saku hoodie nya dan membaca pesan dari sang ibu.

|Kamu dimana, Bin? cepet pulang sebelum jam makan malam, Papa hari ini pulang dari Jepang dan pengen makan malam bareng..

Bintang menaruh kembali ponselnya dalam sakunya, tak berniat membalas pesan dari sang ibu, ia lebih memilih menuruti keinginan sang ibu daripada harus mendapat kemarahan dari ibunya nanti.




                              ****

Sejujurnya Bintang senang saat keluarganya berkumpul lengkap seperti saat ini, ada ibu, ayah tiri dan kedua kakak tirinya di meja makan itu. Meski Bintang selalu merasa canggung dan terabaikan, namun setidaknya meja makan itu tak lagi nampak sepi seperti biasanya.

Bintang terbiasa seperti ini, di tatap dengan tatapan tak suka dan benci oleh kedua kakak tirinya sepertinya sudah menjadi kebiasaan sehingga Bintang seolah tak lagi memikirkannya dan mempedulikannya.

"Bintang... kamu mau lanjutin SMA dimana?"

Mendengar namanya di sebut, Bintang lantas menatap ayah tirinya itu.

"Hmm.. belum tau, Pa."

"Nilai-nilai kamu cukup bagus loh, Bin.. kalo masuk sekolah yang sama dengan Arkan, kamu mau gak, Bin?" ucap Bima, Bintang tak langsung menjawab, ia melirik Arkan sekilas yang nampak tak suka mendengar ucapan Bima.

"Papa apa-apaan sih!! Arkan gak mau satu sekolah sama dia, Pa!!" protes Arkan.

"Arkan... sekolah kamu itu salah satu sekolah terbaik di kota ini, terus nilai-nilai Bintang juga bagus, jadi gak ada salahnya kan kalo Bintang sekolah disana? lagian Papa juga pengen kalian satu sekolah karena dari dulu kalian gak pernah satu sekolah, Papa tuh pengen kalian semua akrab layaknya saudara pada umumnya."

"Papa jangan ngaco!! sampai kapanpun aku gak mau nganggap anak itu sebagai saudara!"

"Arkan jaga bicara kamu!!"

"Kalo Papa gak lupa, anak itu sama ibunya yang bikin Mama pergi.. mereka yang udah bikin aku sama Kak Gavin pisah sama Mama."

"Arkan!!" pekik Bima, sungguh, ia paling tak suka jika Arkan membahas masa lalu tentang mantan istrinya itu.

"Aku bisa sekolah dimana aja kok, Pa. Gak perlu di sekolahnya Kak Arkan"

"Tuh! Papa denger sendiri kan? anak kesayangan Papa aja gak keberatan sekolah dimana aja."

"Papa gak mau tau, Bintang. Kamu tetep sekolah di sekolahnya Arkan." Tegas Bima yang seolah tak ingin di bantah.

"Papa, udah aku bilang aku gak mau!!"

"Udah, Ar... biarin aja, Papa gak bakal dengerin kamu, sekarang anak kesayangan Papa kan cuma Bintang." gumam Gavin, Bintang yang mendengar itu rasanya ingin tertawa dalam hati, anak kesayangan katanya? bahkan Bintang ragu Bima menganggapnya sebagai anak disini.

"Terserah Papa kalo mau anak itu tetap sekolah di sekolah aku, tapi yang jelas, aku gak mau sampai ada satupun di sekolahku yang tau siapa dia.. disana aku juga bakalan pura-pura gak ngenalin dia.."

"Arkan! jangan pergi!!" pekik Bima, namun Arkan tak peduli, ia memilih pergi begitu saja meninggalkan ruang makan di ikuti oleh Gavin di belakangnya.

Lagi-lagi Bintang hanya bisa menghela nafas berat, selalu seperti ini, selalu pertengkaran dan perdebatan yang terjadi jika mereka berkumpul seperti ini.

"Pa.. Bu.. Bintang ke kamar duluan" ucap Bintang lalu pergi begitu saja meninggalkan ruang makan yang terasa menyesakkan untuknya.





                             ****

"Bintang.."

Pintu kamar Bintang perlahan terbuka menampilkan Farah yang berjalan menghampiri putranya yang tengah duduk melamun dengan kepala bersandar di headboard ranjang, Farah duduk di sisi Bintang lantas mengelus surai putranya.

"Bu... kenapa Papa pengen banget aku sekolah di sekolahnya Kak Arkan?"

"Maaf, Bin.. itu permintaan Ibu sama Papa kamu, Ibu pengen kamu sekolah disana karena nilai kamu bagus, sekolah itu salah satu sekolah terbaik, Bintang.. selain itu, Ibu juga pengen buktiin sama Papa kamu kalo kamu juga bisa jadi anak yang membanggakan dan berprestasi bahkan bisa melebihi prestasi Arkan.."

Bintang menatap Farah tak percaya, jadi ini rencana ibunya. Bintang rasanya tak habis pikir apa yang ada di pikiran ibunya saat ini.

"Bin.. kamu tau sendiri 'kan? kehadiran Ibu sama kamu disini itu gak di sukai sama Gavin maupun Arkan, mereka belum bisa nerima kita.. untuk itu, harapan Ibu cuma Papa tiri kamu, Ibu pengen Papa kamu juga menyayangi kamu layaknya menyayangi putra kandungnya.. dengan begitu, posisi kita di rumah ini gak akan terancam, Bintang.. meski nanti Gavin atau Arkan berusaha nyingkirin kita, tapi masih ada Papa tiri kamu yang bakal mempertahankan kita."

"Bu..."

Bintang menggenggam kedua tangan sang ibu, ia hanya merasa segalanya terlalu berlebihan..

"Dari awal Ibu jadi bagian keluarga Papa Bima juga adalah sebuah kesalahan, apa Ibu gak nyadar hal itu? Ibu ngedeketin Papa Bima dan rebut Papa Bima dari mamanya Kak Gavin sama Kak Arkan–—"

"Ibu gak pernah rebut Papa tiri kamu dari siapapun, Bintang! stop bilang kayak gitu.. apa pantas kamu bicara begitu sama Ibu, hah!"

"Maafin Bintang.. Bu." lirih Bintang

"Sebelum Ibu hadir dalam hidup Papa tiri kamu juga hubungan papa tiri kamu dan mantan istrinya itu udah renggang, kamu tau sendiri kan mantan istri papa tiri kamu itu selalu sibuk sama kariernya sebagai model bahkan melupakan kewajibannya sebagai istri dan seorang ibu, itu yang membuat papa tiri kamu berpaling sama Ibu.. karena papa tiri kamu juga butuh di perhatikan, Bintang.."

"I—iya Bu.."

"Dan masalah Gavin atau Arkan, kamu gak usah pikirkan mereka.. yang harus kamu lakukan sekarang cuma nurut sama Papa Bima.. jadi anak baik dan penurut, Bintang.. dengan begitu Papa Bima akan sayang sama kamu, begitu pula Ibu, jangan pernah ngelawan Papa Bima.. ngerti, Bintang?"

"Iya, Bu.. Bintang ngerti.."

Dan saat itu, Bintang selalu menanamkan perkataan ibunya, menjadi anak penurut, meski ia tahu, menjadi anak penurut sekalipun jika melakukan sebuah kesalahan akan tetap berbuah luka.[]

BINTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang