Bagian 19

427 45 22
                                    

"Kamu harus di hukum, Bintang!!"

Bima menyeret paksa tangan Bintang untuk mengikutinya ke dalam kamar mandi yang ada di dekat dapur lalu melempar begitu saja tubuh Bintang ke atas lantai kamar mandi yang basah.

Bintang tak bisa melawan, ia hanya bisa pasrah saja apapun yang akan Bima lakukan padanya.

Bima lantas duduk berjongkok menyamakan posisinya dengan Bintang yang masih meringkuk di atas lantai. Bima mencengkram kuat dagu Bintang dan Bintang bisa melihat kedua mata Bima yang menunjukan kilatan amarah saat ini.

"Kamu tahu kan, Bintang? kamu bukan anak Papa. Kamu cuma anak tiri yang selama ini menumpang hidup disini. Papa kurang apa selama ini sama kamu, hah? Papa kasih kamu fasilitas yang sama dengan Gavin maupun Arkan. Papa sekolahin kamu di sekolah elit seperti kedua kakak tiri kamu dan Papa cuma mau kamu belajar yang benar dan jadi anak pintar. Apa itu hal yang sulit, hah?" bentak Bima, tubuh Bintang bergetar ketakutan dengan detak jantung yang seolah berpacu lebih cepat saat ini.

"M-maafin Bintang, Pa."

Bima lantas melepaskan kasar cengkramannya pada dagu Bintang. Ia merubah posisinya menjadi berdiri lalu melepas ikat pinggangnya. Bintang seolah bisa menebak apa yang Bima akan lakukan saat ini. Perlahan Bintang mencoba memundurkan tubuhnya dan memeluk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya lalu menangis terisak dan terus menggumamkan kata maaf berharap Bima mau mengampuninya kali ini.

"Maaf, Pa. Bintang minta maaf."

"Maaf? berapa kali kamu buat kesalahan dan berapa kali juga kamu meminta maaf tapi kamu selalu lakuin lagi kesalahan yang sama, Bintang. Papa harus kasih hukuman untuk anak nakal kayak kamu."

Bintang menggeleng brutal dengan airmatanya yang mengalir deras membasahi wajahnya.

"Ampun, Pa... ampun, Pa." lirih Bintang dengan segala keputusasaannya, namun Bima seolah tengah di kuasai oleh amarahnya saat ini hingga ia tak memiliki rasa belas kasih sedikitpun pada anak tirinya itu.

"Balikin tubuh kamu!"

"Pa-"

"CEPAT BALIKIN TUBUH KAMU!!"

Dengan tubuh bergetar ketakutan, Bintang merubah posisinya menjadi berbalik membelakangi Bima. Bima pun melayangkan ikat pinggangnya dan mencambuk punggung Bintang dengan keras hingga suara teriakan penuh kesakitan Bintang terdengar mengisi kamar mandi yang semula sunyi itu.

"Arrgghhh!! Pa, sakit, Pa.. ampun!"

"Ini hukuman buat anak nakal kayak kamu."

"ARRGGHH!!"

Untuk kedua kali, ketiga kali, bahkan entah ke berapa puluh kali Bima melayangkan cambukannya di punggung Bintang hingga Bintang menjerit kesakitan. Sakit, rasanya sungguh sakit, seolah seluruh tulang dalam tubuhnya akan patah begitu saja. Seragam Bintang yang semula berwarna putih itu kini berubah warna menjadi merah di bagian belakangnya akibat darah Bintang sendiri. Bima baru menghentikan aksi kejinya saat melihat Bintang sudah tergeletak tak berdaya dan kehilangan kesadarannya. Setelah menyadari Bintang tak lagi bergerak, Bima lantas mengusap wajahnya dengan kasar lalu keluar dari kamar mandi meninggalkan Bintang yang tergeletak menyedihkan disana.

Tanpa Bima sadari ada Arkan yang bersembunyi di balik dinding kamar mandi masih berdiri mematung dengan jantungnya yang berpacu begitu cepat saat ini. Arkan yang tadi baru pulang sekolah di buat penasaran saat mendengar teriakan penuh kesakitan dari arah dapur dan saat di dekati ternyata berasal dari kamar mandi yang berada di dekat dapur.

Arkan mendengar semuanya, suara cambukan itu, suara teriakan sarat kesakitan dari Bintang yang entah mengapa membuat sekujur tubuhnya seolah melemas saat ini. Arkan memang pernah melihat Bima menghukum Bintang namun itu hanya sebatas menampar Bintang atau yang terbaru saat Bintang di siram di dalam kamar mandi. Arkan tak pernah tahu ayah tirinya bisa begitu kejam pada Bintang dengan mencambuk anak itu hingga kehilangan kesadarannya.

BINTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang