Sultan melangkah santai menyusuri koridor sekolah yang sepi saat jam istirahat hampir usai. Sampai tiba-tiba, dia mendengar suara keributan kecil dari arah lorong yang mengarah ke belakang sekolah. Suara tawa dan cekikikan, diselingi kalimat-kalimat mengejek yang samar-samar terdengar. Membuat rasa penasarannya terusik.
Dia memutuskan pergi melihat asal suara-suara itu, berjalan menuju lorong yang tampak sepi, dan benar saja, disana dia melihat sekelompok anak perempuan berdiri mengelilingi seseorang.
Sultan memperhatikan lebih seksama, tampak ada seorang gadis yang menunduk, terpojok di tengah mereka. Gadis itu kelihatan gugup dan jelas tidak nyaman, sementara beberapa orang lainnya tersenyum sinis, melontarkan kata-kata jahat yang tidak pantas didengar.
"Heh, perek! Lo gak ada malunya, ya, masih berani dateng ke sekolah?!" sindir salah satu dari mereka.
Gadis yang berada ditengah menggigit bibir, menahan tangis. Melihat itu, Sultan mengepalkan tangan, emosinya mulai tersulut, tidak bisa lagi tinggal diam.
Langkah Sultan bergerak cepat mendekati mereka. “Heh, lu pada ngapain rame-rame disini?” ucapnya, membuat para gadis itu langsung menoleh pada Sultan. Menatap dengan tatapan terkejut, mungkin karena tidak menyangka akan ada yang melihat aksi mereka
"Apa urusannya sama lo?” balas salah satu gadis dengan suara ketus, mencoba menunjukkan sikap sok berkuasa. Namun, Sultan hanya menatapnya menantang, matanya penuh ketenangan yang menjengkelkan.
“Gue sih gak ada urusan sama lo semua, kenal kalian juga enggak” jawab Sultan santai, tapi terdengar menyebalkan. Kemudian dia melirik pada gadis yang tadi dipojokkan oleh mereka. “Tapi gue punya urusan buat nolong orang yang lagi di bully kayak gini.”
Satu gadis yang tadi beradu mulut dengannya maju, dengan tangan yang terlipat bersedekap, dia menatap Sultan dengan mata sinis. "Emangnya lo siapa sampe mau repot-repot bantuin dia? Pacarnya?" tanyanya ketus.
"Bukan. Hmm...gua siapa ya? Kalian gak tau gua?"
"Lo Sultan anak kelas sebelas kan? Yaelah dek, lo gausah ngurusin masalah kakak kelas begini. Udah sih balik aja ke kelas lo sana!"
"Iya gua Sultan, nah kalo Raffino tau gak, kak?"
"Fino yang kelas dua belas itu? Heh, dia temen sekelas gua, kenapa?"
Sultan tersenyum tengil, jelas semua orang yang sok berkuasa seperti mereka ini akan tau siapa itu Fino, sebab abang-abangannya itu sangat terkenal dengan setumpuk gosip miring dan citra buruknya. "Tau kan track recor-nya dia sebagai pentolan jalanan?"
Lagi-lagi gadis itu mengangguk. "Tau, terus kenapa jadi bahas dia? Udah mending lo pergi sana!"
"Gua nih adek-adekaannya Fino, jadi mending lo aja deh yang pergi sebelum gua ngadu ke bang Fino kalo gua digangguin sama kakak-kakak gatel"
"Gausah ngaku-ngaku—"
"Eitss—sttt! Gua nih rill dekel favoritnya bang Fino loh! Sekali aja gua ngadu ke dia, bisa-bisa tewas citra lo di sekolah ini kak. Lagian gua ini juga adek kandungnya Satria yang kelas dua belas itu. Backingan gua tuh banyak ya kalo lo mau tau. Jadi, mau adu kekuasaan kah, kak?" cerca Sultan dengan percaya dirinya menyombongkan diri.
Para gadis itu mulai melempar tatapan ragu, beberapa dari mereka bahkan saling berbisik. Tampaknya, dari mereka ada yang merasa familiar dengan wajah Sultan yang sering berkumpul dengan Fatah dan Fino, lagi pula satu sekolah ini tau kalau Sultan dan Satria itu adalah saudara kandung. Sehingga tersebar gosip untuk jangan berani berbuat macam-macam dengan Sultan.
Pada akhirnya, satu persatu dari gerombolan perempuan itu pergi, melepaskan gadis tadi dalam keheningan yang canggung dan rasa lega.
Sultan menatap anak perempuan yang hanya berdiri mematung. Dengan suara ramah, dia bertanya, “Lo gak apa-apa?”
Gadis itu mengangguk pelan, tampak masih shock. “Makasih, ya...” cicitnya.
Sultan tersenyum tipis, mengangguk sambil berusaha membuat gadis itu merasa tenang. "Santai aja, omongan mereka mah gausah terlalu dipikirin! Dah sana, buruan lo masuk kelas, udah bel masuk nih!" katanya.
Gadis itu terlihat ragu sejenak, tapi akhirnya dia mengangguk patuh. Dengan langkah pelan, dia pergi meninggalkan Sultan, berjalan melewati koridor menuju kelasnya.
Sultan memperhatikannya sampai sosok gadis itu menghilang di balik belokan. Dia menghela napas lega, merasa sedikit bangga bisa membantu, meski hanya sedikit.
Kembali dia hendak melangkah, tapi kakinya mendadak berhenti ketika mendapati Rian yang tiba-tiba muncul dari belokan yang sama di tempat tadi gadis itu pergi.
Sultan langsung mengerutkan kening melihat cowok itu datang dengan langkah santai, tapi penuh keangkuhan. Ekspresi wajahnya terasa sekali memancarkan aura 'petantang-petenteng' yang membuat Sultan jengkel.
"Anjay, yang barusan itu lo lagi women support women, kah?" ejek Rian dengan senyum meremehkan, pandangannya menyorot sinis ke arah Sultan.
Merasa tidak terima, Sultan balas menatapnya tajam, memasang ekspresi yang tidak kalah tengil. "Gua ngebantu sebagai sesama manusia aja sih, setan kaya lo mah mana paham" balas Sultan santai, tapi nada suaranya jelas satir.
Rian tertawa kecil, seolah perkataan Sultan tidak lebih dari sekadar lelucon penghibur baginya. "Oh, gitu? Hebat banget, lo. Kayanya peduli banget sama urusan orang lain, ya?" katanya sambil mendekat, menatap Sultan dengan pandangan remeh.
"Minimal gue gak berlagak petantang-petenteng di sekolah kayak lo," balas Sultan. Menahan diri, berusaha tidak memulai perkelahian menggunakan otot disini. Dia tau, Rian adalah tipe orang yang senang mencari gara-gara, hanya senang membuatnya emosi saja.
Pandangan Rian semakin meremehkan, lalu dia mendengus. "Gua petantang-petenteng? Bukannya justru lo yang begitu? Sok-soak nolongin cewek, si paling jadi pahlawan kesiangan. Lagian anak cewek kaya mereka mah paling juga karena rebutuan cowok—oh? Apa lu juga mau ikutan ngerebutin cowoknya?
Sultan mengepalkan tangan, menahan rasa kesal yang semakin naik. "Kalo emang iya kenapa?" tanyanya menantang.
"Boti murahan" sarkas Rian. Ekspresinya berubah, senyum yang tadi terlihat mengejek sekarang berganti jadi senyum miring yang terlihat betulan sinis.
"Bota boti, mulut lo tuh kaya boti. Dasar babi!"
Rian hanya tersenyum tipis, puas melihat Sultan yang tersulut oleh perkataannya, dan tampak seperti ingin memancing reaksi lebih.
Namun, Sultan yang sudah paham dengan tingkah Rian, hanya menatapnya garang dengan alis menukik. Tidak akan ada habisnya jika dia meladeni orang seperti ini lebih lama. Sultan sedang malas sekarang, jadi akhirnya dia hanya berdecak pelan, dan mengalihkan pandangan.
"Udah, ah. Gak penting banget gua ngeladenin orgil kaya lo, buang-buang waktu berharga gua aja" katanya, kemudian melangkah pergi.
Meninggalkan Rian yang perlahan kehilangan senyum tipis di wajahnya. Memandang kepergian Sultan hingga sosoknya benar-benar tidak lagi terlihat oleh mata.
"Dasar berisik" Rian bergumam, dengan senyum teramat tipis yang coba dia sembunyikan. Lalu, dia melanjutkan langkahnya yang tadi sempat terhenti, berjalan menuju gudang belakang tempatnya biasa membolos jam pelajaran.
Rian membuka pintu gudang tua itu, mendapati banyak teman satu gengnya yang berkumpul, tapi matanya langsung tertuju pada dua orang yang duduk di pojok sana.
"Oy, Yan!" tegur orang yang menjadi ketua gengnya, Gilang. "Sumringah banget aura lu, abis nemu duit jatoh?" tanyanya main-main.
Rian hanya tersenyum dan mengambil posisi duduk di sebelah Gilang. "Gam, login lah yuk!" ajaknya sambil merogoh ponsel yang tersimpan di saku celana.
"Abis ini, gua satu match dulu" sahut Argam yang fokusnya tertuju sempurna pada game online yang sedang dia mainkan.
"Yuk lah login sama gua" kata Gilang menawarkan diri.
"Ogah gua maen sama orang yang lagi bucin, nanti ampas" Rian berucap setengah bercanda.
"Apa hubungannya, anjing?" sahut Gilang yang tidak terima. "Dah buruan login lu!"
Rian tertawa mendapat reaksi begitu. "Ya otw" katanya menuruti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Hate
Teen FictionSinister Series : 3 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Afrian Rega Pramudya, sosok yang terus mengusik ketenangan Sultan. Setiap hari, selalu saja melakukan gangguan yang memicu keributan di antara mereka...