Di dalam kelas menjelang jam pelajaran terakhir, Sultan menelungkupkan kepalanya di atas meja, menggambar-gambar acak di halaman belakang bukunya. Dia merasa bosan dan ingin bolos, tapi dua abang kelasnya sedang bermasalah dengan guru BK karena ketahuan terlibat aksi tawuran.
Sultan menghela napas panjang sambil melirik teman-teman sekelas yang serius mengerjakan soal fisika yang diberikan guru. Tipikal anak IPA yang teratur, tapi hanya yang duduk di barisan depan yang terlihat seperti itu. Bagi murid di barisan belakang, lebih senang dan mudah untuk mendapatkan jawaban yang siap disalin.
Jangan salah sangka, meski duduk di barisan belakang Sultan sedikit berbeda. Dia sudah menyelesaikan tugasnya. Bukan karena dia pintar, tapi karena tugasnya memang mudah. Guru hanya meminta mereka menjawab beberapa soal teori dan jawabannya bisa ditemukan di modul yang diberikan. Hanya murid pemalas saja yang tidak bisa melakukannya.
Selain itu, Sultan memang punya sedikit ketertarikan dengan teori fisika. Dia selalu senang mengetahui bagaimana cara dunia ini bekerja. Namun, dia hanya menyukai bagian teorinya saja. Ketika sudah masuk ke bagian hitung-menghitung, Sultan lebih memilih mencari jawaban siap salin karena dia sangat payah dalam menggunakan rumus.
Sultan kembali menghela napas panjang, terus bergelut dengan rasa bosan yang makin mengganggu, tanpa menyadari bahwa Rian diam-diam memperhatikannya dari bangku sebelah.
Rian menatap Sultan dengan tatapan usil dan senyum licik, sambil meremat bola kertas berukuran sedang yang sudah dia padatkan dalam genggamannya. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, dia melempar bola kertas itu tepat ke arah kepala Sultan.
Bola kertas itu meluncur dan mendarat mulus tepat sasaran, membuat korbannya tersentak kaget. Sultan langsung menegakkan posisi duduknya, menoleh bingung, mencari siapa yang iseng melakukan itu. Saat menoleh, mata cokelatnya langsung bertemu dengan mata Rian yang sudah menatapnya sambil menahan tawa, tanpa sedikit pun merasa bersalah.
"Lo ngapain sih, njing?" Sultan mengerutkan alis, tapi suaranya terdengar lebih ke kesal daripada bingung.
Dengan muka menyebalkannya, Rian mengangkat bahu, "Apa? Gua gak ngapa-ngapain tuh"
"Mana ada gak ngapa-ngapain! Lo kan yang ngelempar kertasnya?" Tuduh Sultan dengan nada tajam, meski suaranya pelan.
"Dih, nuduh-nuduh! Gua gak ada ngelempar apa-apa, gua mah lagi nyalin jawaban nih" balas Rian sambil menunjukkan kertas dibukunya.
Sultan menghela napasnya kasar, dan memejamkan matanya berharap dia bisa memiliki kesabaran ekstra. "Bisa gak sih lo gausah gangguin gua dulu? Lima belas menit aja? Iya gua tau gua cakep, tapi lo gausah caper gitu lah"
Rian sempat terkejut dengan ucapan itu, tapi hanya beberapa saat sebelum detik berikutnya dia kembali mengendalikan raut wajahnya. "Dih? Muka kaya kambing gitu, cakepan juga gua"
"Muka lo tuh kaya kambing. Dah diem deh lu!"
Sultan menggeleng pelan dan kembali menelungkupkan kepala di atas meja. Dia malas meladeni Rian, atau lebih tepatnya situasinya tidak cocok. Lagi pula, di tengah pelajaran seperti ini, dia tidak bisa leluasa berteriak atau memaki cowok menyebalkan itu.
Namun, tidak lama kemuduan, kertas berikutnya kembali terlempar dan kali ini mengenai bahunya. Sultan langsung menoleh cepat, menatap Rian dengan mata memicing kesal.
Sedangkan, Rian malah menyeringai senang. "Apa lagi?" tanyanya menyebalkan.
Sultan mengatupkan giginya kuat menahan kesal, menatap Rian dengan tatapan permusuhan yang jelas kentara. Kali ini dia tidak berkata apapun lagi, tapi kakinya langsung bergerak menendang tepat pada tulang kering Rian.
"ARGH–shh..."
"Apa itu? Sultan, Rian, ngapain kalian?" tanya guru yang duduk di meja khusus guru yang ada di depan.
Sultan langsung memasang senyum tanpa dosa. "Gapapa, bu. Ini Rian kakinya kepentok" jawabnya memberi alasan.
Detik berikutnya Sultan langsung menoleh ke arah Rian yang menatapnya sangat sengit, tapi senyum kemenangan dia berikan untuk membalasnya. "Mampus" bisiknya tanpa suara.
Rian semakin mendesis geram. "Kontol" balasnya juga ikut berbisik tanpa suara.
Sultan berusaha menahan tawa yang hampir saja lolos, tapi rasa puas tetap terpancar jelas di wajahnya. Rian yang kesal hanya mendelikkan mata, tapi tetap tidak bisa melawan balik karena guru masih terus mengawasi dari depan.
“Cepet selesaiin tugasnya ya, sebelum bel pulang!” kata guru itu, sambil melirik ke arah mereka berdua, seakan tahu ada yang aneh tapi memilih untuk mengabaikan.
Sultan kembali menunduk, berpura-pura menulis tugasnya di buku. Sesekali, dia melirik ke arah Rian yang tampak masih mendengus kesal, kakinya digosok-gosok pelan sambil mendesis pelan. Dalam hati, Sultan merasa puas karena menganggap Rian tidak lagi bisa membalas.
Namun, beberapa menit kemudian, Rian mulai membalas dengan cara yang lebih licik. Dia mulai meremat bola-bola lainnya tanpa diketahui, sambil sesekali melirik ke arah Sultan.
Dalam beberapa menit, tiga bola kertas melayang ke arahnya tanpa jeda. Semua tepat mengarah ke tangan Sultan yang sedang memegang pulpen, hingga tanpa sengaja tangannya tersenggol, meninggalkan goresan panjang melintang di tugas yang sudah dia selesaikan.
Sultan berdecak pelan, menahan diri untuk tidak berteriak. Dia menatap tajam ke arah Rian, yang malah menatapnya balik sambil tersenyum penuh kemenangan. Wajahnya menyebalkan, membuat Sultan semakin emosi.
Akhirnya, Sultan memilih tidak lagi peduli, dia marah, tidak mau lagi meladeni tingkah menyebalkan Rian. Jadi, dia memutuskan untuk fokus pada bukunya, memutar akal bagaimana cara menghilangkan bekas goresan itu tanpa perlu repot-repot menulis ulang.
Namun, seolah belum puas, Rian semakin berusaha mencari perhatian. Kali ini, dia melemparkan pulpen dengan ujung yang sedikit tajam ke arah Sultan, hingga mengenai bahunya dan meninggalkan noda tinta di seragam putihnya.
Sultan tidak bisa lagi menahan diri. Amarahnya langsung memuncak. Tanpa pikir panjang, dia bangkit dari bangkunya, menatap Rian dengan pandangan tajam yang penuh kekesalan. Namun, sebelum dia sempat mendaratkan pukulan, suara guru mencegahnya.
“Sultan! Rian! Kalian tuh ngapain?” suara guru terdengar tegas, dengan tatapan tajam yang kali ini benar-benar mengarah pada mereka berdua.
“Bu, ini Rian nih gangguin saya mulu,” Sultan mengadu dengnn nada kesalnya.
"Enggak bu, saya gak ngapa-ngapain kok" Rian cepat-cepat merubah ekspresinya, pura-pura tidak bersalah, meskipun sia-sia karena dia tidak bisa menahan senyum puasnya melihat Sultan yang akhirnya terpancing.
“Saya gak tahu kalian ini ngapain, tapi ini peringatan terakhir. Kalau saya liat lagi kalian ribut, mending kalian keluar dari kelas ini aja!" kata gurunya.
Sultan dan Rian serempak mengangguk, bersikap patuh. Namun, saat guru kembali fokus ke laptopnya, Sultan berbisik pelan, “Lain kali, abis lo sama gua, Yan!”
Rian masih tersenyum remeh. Sorot matanya menatap lurus pada Sultan, memancarkan aura yang sama sengitnya. “Habisin sini kalau berani," balasnya memantang.
________________
Kaya yang udah gua bilang kemaren, hp gua yg itu jadinya gk bisa nyala dan outline hate love ini ilang setengah😔Ya tapi aman aja gua masih megang outline lamanya yg belom direvisi, tapi ya gitu...:)
Dan gua up sekarang karena besok kayanga gua bakal hectic banget so enjoy yaa

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Hate
Fiksi RemajaSinister Series : 3 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Afrian Rega Pramudya, dengan sikap tengilnya sering kali memberikan gangguan pada Arrayan Sultan Argani, yang juga selalu dibalas dengan ketengilan s...