"Told you, I didn't want to tell you about Jamie's past." Emily menyandarkan lengannya ke pagar rumahnya, menyuruh pembantunya untuk meninggalkan mereka berdua.
"It's nothing. Gue pulang dulu deh. Kasian abang gue. See you on school." Luna menggosok matanya dengan telapak tangan.
"Kuset amat muka lo? Habis diputusin sama senior lo?" Ucap Bang Chandra saat Luna memasuki mobilnya.
"Bacot."
"Eleh, eleh dasar anak kecil. Ngomong kasar banget sama abangnya." Bang Chandra mencubit lengan Luna pelan. Luna langsung menyalak omongan abangnya.
"Bisa diem gak sih? Sudah jelas-jelas yang disini itu lagi gak ada kemauan buat ngomong. Just please. Ugh." Luna menyandarkan badannya ke jok mobil dengan kasar.
"Easy, young lady, easy. Somebody's might on her PMS, right now." Bang Chandra membentuk senyum Pepsodent yang makin membuat adiknya kesal. Luna memutar bolanya dan mengalihkan pandangan matanya ke arah jendela.
.
Hari-hari Luna berjalan seperti biasa. Bangun, berangkat sekolah, sekolah, ekskul drama atau tenis, pulang, tidur. Oh ya, ditambah, memikirkan Jamie. Jamie, Jamie, dan Jamie. Cowok turunan Australia itu benar-benar membuat Luna semakin gila tiap harinya. Dan bodohnya, setiap hal yang dilakukan Jamie yang ada hubungannya dengan Luna, seperti senyuman yang diberikan Jamie terhadapnya dianggap sebagai hal yang spesial.
Dasar baperan.
Okay, selama 1 bulan hal tentang Jamie dan masa awal penyesuaian pelajaran kali ini sungguh meribetkan hidup Luna. Apalagi, saat Luna salah paham bahwa dalam pemilihan penjurusan IPA yang menurutnya bila dia memilih penjurusan IPA dia tidak bakal mendapatkan pelajaran IPS, seperti Sejarah Indonesia dan Ekonomi, tapi kenyataan berkata lain.
Sejarah, oh, Sejarah. Masa lalu aja dipikirin. Move on dong! batin Luna yang sedang menempatkan dagunya di tangannya.
"...seperti dalam kasus demonstrasi mahasiswa Cina di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kekuatan dukungan, latar belakang budaya, dan kekuasaan tema suatu tempat dengan tempat yang lain. Sedangkan-"
KRINGGGGG.
"Terima kasih, anak-anak. Selamat siang."
Bu Yani meninggalkan kelas seketika bel istirahat pertama berdering. Sepertinya penempatan pelajaran Sejarah pada jam pelajaran kedua itu kesalahan. Membuat seluruh isi kelas mengantuk dengan ocehan tidak penting, bukan cuma mengantuk. Hampir separuh murid di kelas tertidur.
"Yuhuuu, sapa nih yang mau ikut ke kantin?" Tanya Arsen heboh menggelegar saat dirinya mendatangi Wima dan Luna yang sedang bobok cantik.
"Eh, babi," Arsen menoyol kepala Wima dan Luna dan melompat ke bangku didepan bangku Wima dan Luna. Lebih tepatnya, sih, bangku Kuskus sama Tia. Entah kenapa Arsen bisa duduknya mencelat di ujung dunia yang berbeda dari keempat sahabatnya yang lain.
"Hish, mereka pada tidur ya biarin dong." Tia mendorong Arsen, membuat
badan Arsen menempel ke badan Kuskus."Eh, gila, gak usah modus lo." Kuskus mendorong Arsen.
"Ih, Sen, agak sana dong. Badan lo besar." Tia mendorong badan Arsen. Lagi.
"Ih, dasar tiga bocah rame aja udah kayak cacing pita di pantat babi." Luna memaksa matanya terbuka dan menggosok matanya. Rasa kantuknya membuat dirinya menguap. Sementara, Wima, dia masih terlelap karena memakai headphone merah kesayangannya.
"Wim, Wim, ayo ke kantin." Luna membangunkan Wima.
"Eh, ayo, Wim, bangun dong." Tambah Arsen.
"Elah, masih ngantuk."

KAMU SEDANG MEMBACA
Aussie
Teen Fiction"Bukankah SMA itu diisi sama masa bahagia yang bisa kita ceritakan ke cucu-cucu kita saat umur kita sudah bau tanah?" "Iya, kamu betul." "Dan lo bikin semua ini kacau." "Iya, kamu betul lagi. status: unedited and content harsh word. highest rank: #9...