HEYYOOOOOO!!¡!!!!!!
Happy reading, canollies!
-
"Lun!"
Gue menoleh, "Apaan, Kus?"
"Dipanggil Bu Sena di kelas IPS 3."
"Emang ada apaan?" Gue masih belum beranjak dari tempat duduk.
Kuskus melipat tangannya di dada, "Ya, bodoamat, Lun. Mana gue tahu. Udah sana, cepet!"
"Gendong." Gue mewek.
"Badan segede babon minta digendong."
"Idih, yauda, gue bawa tas sekalian aja deh."
"Yaude, gue gak peduli." Jawab Kuskus sewot.
-
Gue berjalan ke arah gedung IPS, kalau gak salah sih, kelas IPS 3 itu lantai 2. Oh ya, gue jadi inget roti isi sisa tadi pas ke kantin. Gue ambil roti itu di tas. Makan sambil jalan memang bukan hal yang baik buat pencernaan gue. Cuman mau gimana lagi. Perut ini lapar. Bodoamat lah. YOLO BITCHHH!
Saat tangan gue meraba-raba isi tas yang sudah mirip sama gudang penyimpanan di IKEA, gue melihat sesuatu yang mengkilap.
Huh, apaan ini? Senar gitar Bang Chandra? Gunting? Ngapain gue bawa-bawa barang gak penting beginian. Hahahaha, bodoh.
Ya, Tuhan. Jamie! Ini kan yang disuruh Jamie. Gimana kabar dia ya? Setelah ninggalin gue di rumah sakit terus malemnya ngasih surprise call macem acara-acara cinta busuk di saluran tv 2.
Tanpa gue sadar, berkat gue ngelamun. Gue sudah sampai di depan kelas IPS 3.
Tok, tok. Ketukan di pintu sebelum gue memasuki kelas IPS 3.
"Permisi."
Ya, ampun. Umur panjang si Jamie.
-
"L-lo ngapain disini?"
"Kamu sendiri sedang apa disini?"
"Gue dipanggil sama Bu Sena. Lo?"
"Kamu dibilangin Keila?"
"Eh, iya. Kok lo tahu sih?"
Senyuman gak jelas tiba-tiba terpampang di bibir pink Jamie, pipinya juga ikut memerah.
YA AMPUN LUN! STOP BAHAS BETAPA PINK-NYA BIBIR SI JAMIE. DASAR BOCAH MESUM.
"Ceritamu belum selesai. Lanjutkan."
"T-tapi-"
Jamie tersenyum.
"Jadi, lo sama Keila.."
Ia terkikih pelan.
"...deket?"
"Oh, my gosh! No, I'm not." Jamie memukul dahinya pelan. Mukanya berubah serius. Sialan, gue nervous.
"Okay, okay. Lanjutin cerita kemarin?" Ia mengangguk.
"Sampai mana ya? Gue lupa, Jem. Gak usah kali ya? Lupain-" Omongan gue kepotong dengan tangannya yang menyentuk bibir gue.
Shit, shit, shit.
"Start from you remember."
"Tapi, Jem-"
"Shh, mulai. Aku tunggu."
"Oke, kalau gak salah itu bahas masalah kenapa gue pulang duluan."
"Now, you get it. Go on."
Gue menelan ludah sebelum memulai argumen bodoh yang gue mulai dulu. Ya, argumen yang gak bakal ada kalau gue gak sebodoh waktu itu ngira kalau ini adalah ide yang cemerlang.
"Pas gue ketemu lo di Bu Jim, awalnya sih biasa. Gue malah suka sama bunda lo. Eh, but don't get it wrong!" Gue memotong ucapan gue sendiri, gue gak pengen dianggep Jamie salah tangkep.
Jamie tertawa kecil, "Iya, iya, I know that. Lanjutkan."
Jamie berdiri 5 langkah dari tempat gue berdiri, bersandar di dinding lebih tepatnya, "Terus, gue gak ngira bakal satu sekolah sama lo. Jujur, gue agak semacam excited." Gue senyum.
Jamie melangkah, 4 langkah dari tempat gue berdiri, "Dan, banyak yang suka sama lo. Satu angkatan, maupun kakak kelas. Lo dengar, Jem. Kakak kelas!"
Ia mengangguk mengerti sambil senyum tipis, "Terus entah kenapa gue selalu percaya kalau lo bakal milih gue. Aneh? Kepedean? Ya, tapi gue tahu gue kegeeran, bodoamat kan ya." Gue menganggkat tangan dan pundak gue berbarengan tanda sok gak peduli.
"Terus lama-lama gue makin gak percaya, kayak berkurang gitu deh. Dari accident sama si Cantika, lo keliatan lebih excited ketemu Bethany di party ketimbang pas sama gue," Perlahan senyum Jamie pudar saat gue sebut 2 nama cewek itu.
"Gue paham sih, mereka semua cantik, badannya okelah, dan tinggi. Ya, tinggi, Jem!" Gue gak peduli gue salah ngomong atau gimana. Gue ngomong apa yang sejujur-jujurnya apa yang gue mau omongin ke Jamie.
Gue diam sebentar, ambil nafas. Sedangkan Jamie mengambil langkah lagi, ya, 3 langkah dari dimana gue berdiri. Dada gue makin berdebar.
"Ya, udah. Gue nyerah."
2 langkah dari gue berdiri, Jamie tersenyum. Gue mencoba untuk mundur. Tapi gimana gue mau mundur, gue jelas-jelas sudah mepet tembok?! Anjing.
Gue menundukkan kepala, pipi gue jelas makin merah, Jamie jelas gak boleh tahu tentang ini, "Mungkin, ya, James Jonathan-Timothy Green,"
Jamie langsung mengambil 2 langkah sekaligus, "Mungkin, gue suka sama lo."
"Ulangi, maaf aku tidak dengar, Luna." Jamie menangkup pipi gue, pipi gue yang sudah macem kepiting rebus yang overcook saos tomat, bukan kepiting rebus biasa.
Jamie membenarkan kacamata gue yang agak merosot. Jantung gue berdebar kencang. Gue gak mau Jamie sampai denger detak jantung gue yang super lebay.
"Gak mau."
Jamie mencium pipi gue, "Ayo, pulang."
Tangan Jamie memegang pergelangan tangan gue dengan kuat.
-
READERSSSS!
TOMPEL ANJING KETABRAK BUSWAY!
GIMANAAA?Sumpah, Author aja baper sendiri alamak. Ini udah mencret bacanya. GAK BOSEN INI AWAK BACANYA.
Jamie memang mantap.
Stay tune for the next chapter, raddest bitche$$$!!!¡!

KAMU SEDANG MEMBACA
Aussie
Novela Juvenil"Bukankah SMA itu diisi sama masa bahagia yang bisa kita ceritakan ke cucu-cucu kita saat umur kita sudah bau tanah?" "Iya, kamu betul." "Dan lo bikin semua ini kacau." "Iya, kamu betul lagi. status: unedited and content harsh word. highest rank: #9...