Author's Pov
Suara hentakan kaki Rasya yang sedang bermain kejar-kejaran dengan Bang Chandra benar-benar mengganggu tidur Luna. Apalagi kepalanya pusing sudah seperti di bebankan berat badan Hercules. Rasa sakit itu karena sisa menangis sampai tertidur yang Luna lakukan karena bertengkar dengan bundanya.
"Udah lah, kamu ini barusan masuk SMA lo, Lun."
"Iya, bunda kamu betul. Sekolah dulu yang bener deh."
"Aku itu udah rela masuk ke SMA sama yang papa sama bunda pinginin susah payah, aku juga kudu pisah sama sahabat-sahabatku yang dulu. Sekarang malah gak dibolehin pergi kemana-mana. Ayolah, bun, pa."
"Ralat, pergi sama cowok."
"Ya ampun, pa. Cuma nonton film, siang hari, gak malem."
"Tetep aja, gak boleh kalau cuma berdua."
"Tapi, pa- Uh, ya udah lah, terserah bunda sama papa!"
"Nadira, kamu gak bisa ninggalin bunda kamu gitu aja, dong!"
BRUK, suara pintu kamar dibanting.
Oke, Luna emang drama kemarin malam dan menjadi gadis yang tidak sopan terhadap papa dan bundanya. Sangat childish.
Tok tok, suara pintu saat ada yang mengetuk pintu kamar Luna.
"Nadira, bunda boleh masuk ya." Ucap bundanya yang lebih seperti penyataan bukan pertanyaan.
"Hm." Luna menjawab, bunda pun memasuki kamar Luna dan duduk di samping ranjang Luna sambil mengelus rambut Luna.
"Rambut kamu ini lurus kayak papamu." Ucap bunda sambil tersenyum hangat.
"Bunda, mau apa?" Luna mengalihkan kepalanya membelakangi bundanya.
"Nadira, bunda gak pernah ngajarin kamu kurang ajar sama orang tua lo. Bunda tau kamu pengen pergi sama cowok itu. Tapi, papamu melarangnya takut ada kejadian yang enggak-enggak sama kamu. Kamu itu persis sama papa kamu."
"Persis apanya? Papa cowok, gak tau perasaan Nadira, bun."
Bunda tersenyum lembut melihat anaknya bersikap batu kepadanya, "Bukan secara gender, Nadira sayang. Sifat. Kalian berdua itu keras kepala kayak papa, Rasya juga."
"Bunda tau pilihan kamu mesti baik-baik. Bunda tau kok kalau namanya Jamie kan?" Luna membelalakan matanya, terangsang untuk menyemburatkan warna kemerahan di pipinya, "Katanya, sih, anaknya manis ya?"
"Bunda tau darimana?"
"Ih, paparazi bunda itu banyak tahu gak? Bunda aja punya foto si ganteng itu."
"Bunda gak usah jadi bahas temen Nadira, dong." Luna mendengus kesal, tidak nyaman dengan apa yang dibahas oleh bunda.
"Masa cuma temen sih? Bunda gak percaya. Kalo cuma temen, kenapa nontonnya berdua?" Bunda mencibir.
Luna terbungkam, tidak tahu harus berkata apa.
"Bunda, bener kan? Eleh, eleh, anak bunda udah suka sama cowok ya." Bunda menggoda anak kesayangannya. Ini rahasia ya, jangan sampai Bang Chandra sama Rasya tahu.
"Bunda!" Luna mewek.
"Gini deh, mending kamu bersikap baik ke papa kamu, mungkin papa bakal kasih izin ke kamu, ya, kan?" Saran bunda.
"Bunda pinter banget, sih! Nadira sayang bunda, deh."
"Ya, papa gak mungkin salah pilih istri lah." Bunda menaik-turunkan alisnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aussie
Jugendliteratur"Bukankah SMA itu diisi sama masa bahagia yang bisa kita ceritakan ke cucu-cucu kita saat umur kita sudah bau tanah?" "Iya, kamu betul." "Dan lo bikin semua ini kacau." "Iya, kamu betul lagi. status: unedited and content harsh word. highest rank: #9...