32. Jujur dan merefleksikan diri

179 33 0
                                    

Happy Reading



Jujur dan merefleksikan diri

Di kamar hotel, Sakura duduk di ujung sofa, menggigiti ujung pena sambil merenung. Sudah seharian ini Sasuke masih belum menghubungi nya. Padahal, ini adalah hari terakhirnya di Konoha sebelum pulang dengan penerbangan besok pagi.

Bayangan Sasuke dan Utakata masih terbayang jelas di pikirannya. Konflik di antara dua pria itu, persahabatan yang dulu solid, dan perasaan-perasaan yang menggantung di udara membuat hatinya sesak. Di tengah kebimbangan, ia memutuskan untuk menelepon kakaknya, Sasori.

Tak butuh waktu lama, suara hangat dan penuh perhatian Sasori terdengar dari seberang telepon.

"Ada apa, Sakura? Kamu jarang menelepon kakak duluan," katanya lembut.

Sakura menarik napas panjang, mencoba mengendalikan kegelisahan yang merayap di dadanya. "Kak, aku... aku perlu bicara sama Kak Sasori tentang... sesuatu yang penting."

Nada suara Sasori berubah serius. "Ada masalah? Ceritakan saja, biar Kakak bisa bantu."

Sakura menghela napas, dan perlahan-lahan mulai bercerita tentang situasinya dengan Sasuke, lalu bagaimana Utakata tiba-tiba mengungkapkan perasaannya. Ia ceritakan juga bagaimana dua orang itu terlibat pertikaian di Konoha, membuatnya bingung dan merasa bersalah di antara keduanya.

"Kamu... punya kekasih?" Suara Sasori terdengar sedikit tercekat. "Kenapa nggak cerita sama Kakak dari awal?"

"Aku... ragu, Kak," jawab Sakura pelan. "Bukan karena aku nggak percaya sama Kakak, tapi karena aku tahu Kakak masih khawatir sejak kita kehilangan Ayah dan Ibu. Aku nggak mau Kakak cemas."

Sasori menghela napas panjang. "Kakak memang cemas, Sakura. Kamu kan satu-satunya yang Kakak punya sekarang, dan Kakak selalu ingin kamu bahagia dan aman." Ada jeda panjang sebelum ia melanjutkan, "Tapi, kalau dia benar-benar pria yang baik dan kamu yakin dengan perasaanmu, Kakak nggak akan halangi."

Sakura terdiam, perasaannya campur aduk. "Aku memang yakin sama Sasuke, Kak. Tapi masalahnya, Utakata adalah teman dekatnya, dan sekarang malah jadi rumit..."

Sasori mendengus pelan, sedikit berusaha menghidupkan suasana. "Hmm, kalau sudah sampai mereka berdua bertengkar, berarti kamu benar-benar perempuan spesial ya. Tapi ingat, jangan biarkan rasa bersalahmu jadi beban berlebihan."

Sakura tersenyum kecil, merasa sedikit lega mendengar nada suara kakaknya yang mencoba bercanda. "Iya, Kak. Aku akan coba jujur sama diriku sendiri dan menyelesaikan ini baik-baik. Aku nggak mau menyakiti mereka."

"Kalau ada apa-apa lagi, ceritakan saja. Kakak selalu ada untuk kamu," ujar Sasori hangat.

Mereka pun mengakhiri percakapan, dan Sakura merasa beban di hatinya sedikit berkurang. Dukungan dan pengertian Sasori memberinya kekuatan, membuatnya lebih siap menghadapi situasi rumit ini.


----



Setelah mengaantar Sakura kembali ke hotel dengan suasana canggung, Sasuke kini duduk bersama teman-temannya di kafe langganan mereka, ketiganya bisa merasakan betapa gundahnya ia. Mereka tahu tentang ketegangan antara dirinya, Sakura, dan Utakata. Satu per satu, mereka mulai memberikan nasihat, dengan cara mereka masing-masing.

Kiba adalah yang pertama angkat bicara, selalu blak-blakan seperti biasa. "Sasuke, kau tuh kayak kucing yang lagi ngamuk di pojokan. Denger ya, kadang kita ngerasa harus melawan, padahal yang kita butuhin cuma sabar. Utakata emang teman kamu kan? Aku ngerti sih, dia ngerecokin banget soal Sakura, tapi kamu juga harus bisa bedain, dia memang suka sama Sakura, tapi bukan berarti Sakura juga suka."

Sasuke hanya menghela napas, masih tampak resah. Lalu, Neji menimpali dengan nada tenang tapi penuh ketegasan. "Kalau yakin Sakura itu memang pilihan kamu, jangan cuma terpengaruh sama kehadiran orang lain. Sering kali kita tuh terjebak dalam perasaan negatif yang belum tentu ada dasarnya. Justru sekarang saatnya kamu memperjelas komitmen dengan Sakura. Utakata mungkin merasa ada peluang, karena hubungan jarak jauh kalian."

Sasuke mengangguk pelan, tampaknya mulai berpikir lebih jernih. Kemudian, Sai yang biasanya kalem ikut memberi nasihat dengan gayanya yang sedikit sinis tapi jujur. "Kadang kita terlalu keras sama diri sendiri. Kalau kamu sibuk ngurusin perasaan cemburu atau bersaing, kamu nggak bakal bisa jalanin hubungan dengan tenang. Toh, yang dipilih Sakura itu seorang Sasuke, bukan dia. Jadi, kenapa harus ribet dengan sesuatu yang nggak penting?"

Mendengar ketiga temannya bicara, Sasuke mulai merasa lebih tenang. Ia menyadari bahwa fokusnya selama ini terlalu terpusat pada Utakata, padahal yang seharusnya ia lakukan adalah memperkuat hubungannya dengan Sakura.

Mengusap foto Sakura yang ia jadikan lockscreen ponselnya, Sasuke dirundung rasa bersalah. cherry nya menerima job di Konoha itu karena dirinya. Padahal, mereka dulu sempat berbincang kalau Sakura akan mengurangi aktivitas nya menjelang ujian. Beberapa project sengaja dikebut untuk menyesuaikan kegiatan Sakura tanpa menyalahi aturan kontrak.

Tapi, Sakura dengan senang hati datang untuk menyenangkan hatinya yang tak tau diri.

"Bolehkah ia menangis sekarang?"






Tbc

YOUtubeR LOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang