"Apa! jadi saya yang di jodohkan den--gan za--ki?"Tanya wanita itu dengan gugup.
"Iya nak, apa kamu bersedia?"ujarnya.
Wanita itu masih terdiam mencerna setiap perkataan dari wanita paruh baya tersebut. Ia syok ketika mendengar ia akan di jodohkan dengan pria yang sama sekali belum tentu menerima dirinya.
"Apa Za--ki menerima perjodohan ini?"Tanyanya lagi.
"Tentu, perjodohan ini atas persetujuan Zaki"ujar sekali lagi.
"Baik saya menerima, tapi akankah lebih baik ini di bicarakan di hadapan keluarga saya"jawab wanita tersebut.
"Iya nak, kami mengundang kamu kesini karena ingin tanyakan dulu perihal perjodohan ini. Jika kamu menerima, kami akan akan bicarakan dengan keluarga kamu nanti"jelas wanita paruh baya.
"Baik kalau begitu karena sudah selesai, saya pamit pergi. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Siapakah wanita yang di jodohkan dengan Zaki? Dan apa yang menjadi alasan wanita tersebut menerimanya? Apa karena paras Zaki yang tampan? Atau karena agamanya yang sudah mumpuni?
Di sisi lain, Meera baru saja pulang dari warung. Jarak antara dia pergi ke warung cukup dekat, yaitu sekitar 15 menitan. Setelah memakirkan motor ke halaman rumah, ia masuk ke dalam dan berjalan menuju dapur.
Sang abang, yakni Azam baru pulang tadi pagi dan sekarang tengah istirahat di kamar. Meera memulai memasak untuk abangnya bangun nanti, dengan menu yang cukup simpel.
Berkutat di dapur sekitar 20 menit, Meera selesai memasak dan menghidangkan makanannya ke meja. Ketika sudah selesai ia kerjakan, ternyata abang Meera sudah bangun dan tengah menatapnya. Meera yang tidak melihat keberadaan Azam dan masih fokus menghidangkan makanan lain.
"Dek"panggil Azam dengan lembut.
Meera yang merasa ada orang di sana lantas menatap ke depan, mata ia bersitatap dengan mata milik sang abang.
"Kenapa? Oh iya, Meera udah siapin makanan untuk abang makan. Meera mau ke atas dulu, mau bersih bersih terus shalat"ujar Meera.
"Iya makasi, nanti kalau sudah selesai shalat. Ada hal yang ingin abang sampaikan. Abang tunggu di halaman belakang"ujarnya dan Meera menganggukan kepala.
Meera berjalan masuk ke dalam kamar, bersih bersih dan mengambil air wudhu, baru setelah itu ia memulai shalat asharnya. Sedangkan di sisi dapur, abang Meera baru saja selesai menyantap makanan dari masakan adiknya.
Menit berlalu begitu cepat, 10 menit kemudian meera selesai dan berjalan turun ke bawah menuju halaman belakang. Berjalan menatap lurus ke depan, dan ternyata Azam sudah ada di sana. Ia duduk di samping abangnya tanpa sepatah kata pun yang keluar, dan Azam yang melihat kedatangan adiknya lantas menatap ke arah samping dan tersenyum tipis.
"Dek"panggilnya Azam dengan mata melihat lurus ke depan.
"Hmm kenapa?"Tanya Meera masih dengan suara dinginnya.
"Bagimana kabarmu sekarang?"Tanya Azam dengan masih di posisi yang sama.
Meera yang mendengar sang abang menanyakan kabar tentang dirinya, tertawa renyah di selingi dengan senyuman yang cukup berbeda.
"Kenapa malah tertawa dek, abang nanya kabar kamu sekarang"ujar heran Azam.
"Kenapa baru sekarang abang menanyakan keadaan Meera. Selama ini kemana? Bahkan ketika kematian ayah pun tidak ada yang menanyakan keadaan Meera waktu itu. Ibu dan abang bilang bahwa Meera butuh waktu untuk menerima kematian ayah, di usia yang Meera masih kecil, tapi kalian tidak tau hati ini dulu seperti apa sakitnya. Tapi Meera tidak mau terlalu mengungkit hal itu, karena setelah itu meera paham arti sakit sampai Meera dewasa. Oh iya, tadi nanya kabar ya? Seperti yang abang lihat, Meera baik baik saja"ujar Meera dengan cukup tenang.
"Abang tau abang salah, abang minta maaf. Tapi yang harus kamu tau, kenapa kita tidak saling menanyakan kabar waktu kematian ayah dulu. Karena kita juga di posisi yang sama Meera, ada ibu yang lebih sakit di bandingkan kita ketika kehilangan ayah. Abang paham, ayah adalah cinta pertama kamu. Tapi tidak kemungkinan, abang juga ikut merasakan sakit. Walaupun tidak sebanding dengan rasa sakit kamu dan ibu----"jeda Azam di sela sela perkataannya.
"Ketika kematian ayah, abang merasa ada tanggung jawab besar di diri ini untuk menghidupi keluarga. Abang anak laki laki, yang harus bertanggung jawab membiayai ibu dan Meera agar tetap bertahan. Abang berusaha untuk bisa bangkit walaupun rasa sakit masih menyelimuti hati kala itu. Sehingga abang bisa berdiri tegar seperti ini, karena rasa sakit abang dulu yang harus bertanggung jawab dengan keluarga"ujarnya yang menjelaskan.
"Tapi kenapa, setelah kematian ayah waktu itu. Kalian seakan tidak peduli dengan keadaan Meera?"Tanyanya.
"Abang sama ibu bukannya tidak peduli sama kamu. Kami mengira selama ini, kamu membenci kami karena belum terima kematian ayah. Kami diam selama ini karena takut menyinggung perasaan kamu, hingga abang sekarang bisa mengajak kamu untuk berbicara berdua seperti ini"jawab sang abang.
"Tapi kalian tetap salah, Meera merasa kalian itu sudah tidak peduli dengan Meera. Kenapa tidak menegur Meera untuk bisa saling berbicara waktu itu"sangahnya.
"Abang sama ibu minta maaf dan mengaku kami salah. Tapi dulu kamu tidak mau di ajak berbicara, bahkan terkesan dingin setelah kematian ayah"jelas Azam.
"Hmm Meera juga minta maaf, jika ada salah sama abang selama ini. So Meera sudah berlapang dada menerima kenyataan bahwa ayah sudah tidak ada, walaupun terkadang kenangan manis itu tidak bisa di lupakan begitu saja"jawab Meera.
Sang abang menganggukan kepala mengerti. Dirinya tidak menyalahkan siapapun di sini, karena di antara mereka mempunyai sakit dan luka masing masing ketika kematian ayahnya dulu. Yang perlu mereka lakukan adalah berusaha agar tetap terus bersama walaupun hanya mereka bertiga, dan tanpa sosok pemimpin keluarga. Karena setiap kejadian pasti ada hikmah di dalamnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Almeera Chairunnisa
Ficção Adolescente📌 FOLLOW SEBELUM BACA📌 Kehidupan itu laksana sebuah buku cerita, ada kisah sedih, kisah bahagia dan ada pula kisah yang membangkitkan. Akan tetapi, ketika halaman baru belum terbuka, maka kisah yg tersimpan di halaman berikutnya hanya akan menjad...