1

219 19 0
                                    

Alka, teman sebangku Saka, adalah seseorang yang tidak bisa lebih berbeda lagi dari dirinya. Sementara Saka selalu terlihat dingin, serius, dan tak pernah mengungkapkan perasaan, Alka justru sebaliknya—selalu ceria, riang, dan suka bercanda. Hari demi hari, Alka berusaha untuk mencairkan atmosfer beku di sampingnya, namun usaha itu tak pernah mudah. 

"Eh, Saka!" Alka memulai percakapan, mencoba menarik perhatian temannya yang lebih sering menundukkan kepala dan menggantungkan dirinya pada pikiran yang entah apa. "Lo tau nggak, kemarin ada lomba voli antar kelas. Gue bikin lawan menangis!" 

Saka hanya menatapnya dengan tatapan datar, tanpa mengeluarkan suara. Hanya mata Saka yang sedikit bergerak, seolah mencoba memahami apa yang sedang Alka bicarakan. 

Alka tertawa kecil, tampak tak terpengaruh oleh ketidakpedulian Saka. "Serius deh, lo itu kayak batu. Gue tau sih, lo nggak suka ngomong, tapi masa sih lo nggak ketawa sedikit aja?" 

Saka menghela napas, melirik sekilas ke arah Alka. "Aku nggak punya alasan untuk tertawa," jawabnya pelan, suara tanpa emosi, seperti biasanya. 

Alka tidak menyerah begitu saja. "Lo serius banget sih, Saka. Hidup ini kan nggak harus penuh beban terus! Coba deh, ikut gue sebentar. Lo perlu coba tertawa sesekali. Gue janji, lo bakal ngerasa lebih ringan." 

Saka menatap Alka sejenak, mencoba mencari arti dari kata-kata itu. "Tertawa?" Gumamnya. Saka tidak tahu lagi kapan terakhir kali ia tertawa. Kapan terakhir kali ia merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. 

Namun, tak ada yang tahu, di balik wajah datarnya, Saka sebenarnya merasakan sesuatu yang lebih mendalam. Di dalam hati yang terluka ini, dia sering merasa kosong. Seperti hidup yang berjalan tanpa tujuan, tanpa makna. Rasanya seperti terperangkap dalam tubuh yang bukan miliknya, menjalani kehidupan yang telah dipilihkan untuknya. 

Ketika bel masuk berbunyi, Alka dengan ceria bangkit dari kursinya, melangkah ke depan kelas. "Ayo, Saka! Lo kan udah jadi siswa kelas 11, masa masih jadi 'keren' kayak gini terus?" 

Saka memandang temannya yang bersemangat itu, matanya yang kosong menatap sekilas ke arah Alka yang melangkah pergi. Bagaimana bisa seseorang yang penuh dengan keceriaan itu bertahan di samping dirinya yang selalu berwajah datar? 

Namun, ada satu hal yang tak bisa Saka pungkiri. Keberadaan Alka di hidupnya, meskipun sering membuatnya bingung dan tak nyaman, sedikit demi sedikit memberi rasa hangat yang bahkan Saka tidak tahu bagaimana cara merasakannya. Mungkin, hanya mungkin, Alka adalah satu-satunya yang bisa melawan kebekuan yang mengikat hatinya. 

Di tengah jalan menuju kantin, Alka terus berceloteh tentang hal-hal yang tak ada habisnya. Saka mendengarkan tanpa berkata-kata, namun sesuatu di dalam dirinya terasa... berbeda. Ada sedikit perasaan yang tumbuh. Entah itu rasa bersyukur, atau mungkin... sebuah harapan. 

"Lo tau nggak, Saka," Alka melanjutkan tanpa menyadari perubahan kecil itu, "gue pikir, kalau lo tertawa sedikit aja, dunia bakal jadi lebih cerah buat lo." 

Saka hanya mengangguk pelan, tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya yang masih kabur. "Mungkin," jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar. 

Di tengah semua percakapan yang ringan, Saka tiba-tiba teringat akan hal yang lebih berat. Rasa kehilangan yang terus membekapnya, kenangan tentang keluarga yang hancur, dan semua luka lama yang tak kunjung sembuh. Apakah hidupnya selalu seperti ini? Terluka, kosong, dan tanpa tujuan? 

Namun, saat itu, saat Alka berkata dengan riang, "Yuk, kita makan bareng! Gue traktir," Saka merasakan sesuatu yang hampir terlupakan dalam dirinya—sebuah rasa yang lembut dan samar, seperti harapan yang perlahan tumbuh. 

Ia mengangguk pelan, mengikuti langkah Alka yang ceria, untuk pertama kalinya merasa bahwa mungkin, hidup tidak sepenuhnya kelam. Mungkin saja, ada secercah cahaya di ujung terowongan yang gelap. 

Namun, meski langkahnya mengikuti Alka, dalam hati Saka, ada rasa takut yang mendalam. Takut bahwa ia mungkin akan kembali terluka, takut bahwa kebahagiaan yang baru saja ia temui ini hanyalah ilusi belaka. 

Tapi untuk sesaat, ia hanya ingin merasakannya—merasakan harapan, merasakan kebahagiaan yang sederhana. Mungkin itu sudah cukup.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang