Pagi yang cerah di Arkasa High School ternyata membawa angin segar bagi Clarisa Dwi Angelina. Setelah beberapa hari terakhir, hari ini ia memutuskan untuk kembali menjalani rutinitasnya dengan penuh perhatian, terutama kepada Alenio Lenarden Axerlion-seorang pemuda yang terlihat imut dan tampak begitu polos, namun entah kenapa selalu menjadi sasaran fitnah darinya.
Alen, yang dikenal oleh teman-temannya dengan sebutan 'Alenio', adalah sosok yang selalu berpenampilan rapi dan imut, dengan rambut coklat yang selalu tertata rapi dan mata besar yang memancarkan keceriaan. Namun, siapa sangka, dibalik penampilannya yang polos itu, Alen sering menjadi sasaran gosip dan fitnah yang disebarkan oleh Clarisa, yang selalu berpura-pura menjadi korban.
Hari itu, di tengah keramaian di kantin sekolah, Clarisa kembali beraksi. Dengan langkah penuh drama, ia melangkah menuju meja tempat Alen duduk sendirian, dengan ekspresi wajah yang terlihat cemas. Saka yang duduk bersama Alka melihat kejadian itu dari kejauhan. Sepertinya, semuanya sudah menjadi kebiasaan-Clarisa selalu mendekati Alen, berusaha mencari perhatian dengan cara yang tak sehat.
"Alenio!" panggil Clarisa dengan suara lembut yang seolah penuh kesedihan. "Kenapa sih lo nggak bisa ngerti gue? Lo itu udah buat gue malu di depan orang-orang. Lo itu selalu ganggu gue!"
Alen menatapnya dengan bingung, matanya yang polos tidak bisa menyembunyikan kebingungannya. "Eh? Gue nggak ngerti, Clar. Gue nggak ngelakuin apa-apa," jawabnya dengan suara lembut.
Namun, Clarisa tidak membiarkan Alen untuk membela diri. Dia sudah tahu trik jitu untuk menarik perhatian-menciptakan drama. Ia mulai meneteskan air mata, meremas-remas ujung bajunya dengan ekspresi terluka. "Gue tuh nggak pernah ngelawan lo, tapi lo selalu ganggu gue! Gue nggak bisa tahan lagi, Alen!"
Di sisi lain, Saka mengerutkan keningnya. Meskipun ia tidak suka ikut campur dalam urusan orang lain, ada sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman melihat kejadian ini. Clarisa yang pura-pura menangis itu, memanfaatkan setiap kesempatan untuk menjatuhkan Alen, yang bahkan tidak tahu apa-apa.
Alka, yang duduk di samping Saka, menghela napas dan mendekatkan wajahnya kepada temannya. "Lo liat nggak? Lagi-lagi itu Clarisa. Gila, dia tuh udah profesional banget dalam hal fitnah," ujarnya dengan suara pelan namun penuh kesal.
Saka hanya mengangguk, matanya masih terfokus pada Clarisa yang kini tengah berjalan dengan langkah angkuh, meninggalkan Alen yang tampak bingung dan terkejut. "Kenapa dia harus terus menerus melakukan itu?" gumam Saka pelan.
Alka memandang Saka, mengerti bahwa meskipun temannya itu tidak banyak bicara, ia bisa merasakan ketidakadilan yang terjadi. "Dia tuh nggak akan berhenti, Saka. Lo lihat aja, pasti nanti Alen akan jadi bahan gosip lagi. Dan si Clarisa? Dia bakal cari perhatian lagi."
Saka menatap ke arah Alen yang duduk sendiri, wajahnya terlihat bingung dan terluka. Alen, yang selalu dianggap sebagai anak yang tidak bisa menyakiti siapa pun, selalu menjadi sasaran empuk untuk drama Clarisa. Saka bisa merasakan sedikit kebencian muncul dalam hatinya terhadap Clarisa.
Namun, ia tak bisa langsung bertindak. Ia tahu, untuk pertama kalinya, ada rasa yang berbeda dalam dirinya. Bukankah ia sendiri, dengan kehidupannya yang penuh luka, sering merasa tak dihargai dan terlantar? Alen, dengan kepribadiannya yang polos dan tidak bersalah, seharusnya tidak perlu mengalami hal yang sama.
Saka menunduk sejenak, mencoba menahan perasaan yang mulai menggerogoti dirinya. "Kita nggak bisa terus diam aja," akhirnya Saka berkata dengan suara rendah, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Alka.
Alka tersenyum sedikit, melihat Saka yang mulai membuka diri. "Gue tahu, lo nggak suka ikut campur. Tapi, gue pikir, kalo lo mulai peduli, mungkin bisa lebih baik. Lo nggak harus lakukan semuanya sendiri."
Mata Saka tertuju pada Alen yang mulai bangkit, tampak bingung dengan situasinya. Hatinya merasa berat, seperti ada bagian dari dirinya yang ingin melindungi pemuda itu. Tapi, ia tahu, tak semua luka bisa disembuhkan dengan cepat. Terkadang, keadilan harus datang dengan cara yang berbeda.
Saat itu, Alen menatap ke arah Saka, seolah merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin Alen tidak tahu mengapa Saka terlihat peduli, namun tatapan itu cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih baik.
Saka menghela napas, merasakan beban di dadanya semakin berat. "Aku nggak tahu apa yang harus dilakukan," bisiknya pelan, "tapi aku tahu, ini nggak bisa terus dibiarkan."
Dan di saat itu, Saka sadar bahwa meskipun dia masih berjuang dengan dirinya sendiri, ada satu hal yang bisa ia lakukan-membantu orang lain yang juga terluka. Bahkan, jika itu berarti melawan kejamnya dunia yang dipenuhi dengan kebohongan dan fitnah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Yang Terlantar
Novela JuvenilSaka Rajendra Aksara hanyalah seorang remaja yang berusaha lari dari bayang-bayang kelam hidupnya. Ketika laut yang dalam memanggilnya untuk mengakhiri segalanya, ia mendapati dirinya terbangun di tubuh orang lain-seorang pemuda dengan nama yang sam...