29

49 6 0
                                    

Saka dan Alenio kembali ke kelas, berjalan beriringan di lorong sekolah yang mulai lengang karena jam istirahat hampir berakhir. Langit mendung di luar masih terlihat melalui jendela, mencerminkan suasana hati Saka yang belum benar-benar pulih dari pertemuannya dengan pemuda tadi.

Sampai di kelas, Alka langsung menyambut mereka dengan nada ceria seperti biasa. "Eh, lo berdua ngapain berduaan? Jangan-jangan ada apa-apa nih?"

Alenio mengerutkan kening dan menatap Alka dengan tatapan malas. "Lo ngomong apaan sih? Nggak ada apa-apa, kita cuma ngobrol di taman."

Alka terkekeh, menyenggol bahu Saka. "Lo tenang banget, ya. Kalau gue disangka-sangka kayak gitu, pasti gue udah kabur dari tadi."

Saka hanya menggelengkan kepala sambil duduk di kursinya. "Lo tuh kebanyakan drama, Ka."

"Drama apaan, sih? Gue cuma pengen bikin suasana nggak kaku aja," Alka menjawab sambil memasang wajah pura-pura tersinggung. Dia duduk di kursinya dengan santai, lalu melirik ke arah Alenio. "Tapi serius, Len, lo kelihatan beda. Biasanya kan lo lebih suka sendiri."

Alenio menunduk, mencoba menyembunyikan ekspresi wajahnya. "Nggak ada yang spesial. Gue cuma... pengen ngobrol aja tadi."

Alka memiringkan kepala, penasaran. Tapi dia memilih untuk tidak mendesak. "Oke deh, kalau lo bilang gitu."

**

Setelah jam sekolah selesai, Saka segera bersiap untuk bekerja di kafe tempatnya biasa menghabiskan waktu sepulang sekolah. Tempat itu cukup jauh dari sekolah, jadi dia memutuskan untuk naik bus. Dalam perjalanan, dia terus memikirkan apa yang terjadi hari ini—dari pemuda yang tiba-tiba menghadangnya hingga obrolannya dengan Alenio.

Saat tiba di kafe, Saka langsung disambut oleh salah satu rekan kerjanya, Maya, seorang perempuan ceria yang usianya sekitar 20 tahun. "Saka! Akhirnya lo datang juga. Gue udah hampir nyangka lo nggak masuk hari ini."

"Kenapa gue nggak masuk? Kan gue nggak bilang apa-apa," jawab Saka datar sambil mengenakan apron kerjanya.

Maya terkekeh. "Lo tuh terlalu serius, tahu nggak? Santai aja sedikit. Lagian hari ini nggak terlalu rame kok, jadi kita bisa kerja sambil santai."

Saka mengangguk tanpa komentar, lalu mulai mengambil alih pesanan pelanggan yang baru datang. Dia menikmati rutinitas ini—bekerja di kafe memberinya kesempatan untuk melupakan semua hal rumit yang terjadi di sekolah. Namun, malam itu, pikirannya terusik oleh kehadiran seorang pelanggan yang tidak ia duga.

Pemuda yang tadi siang menghadangnya di lorong sekolah kini duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap ke luar dengan wajah serius. Saka mencoba untuk tidak menunjukkan keterkejutannya dan berjalan mendekat dengan profesionalisme yang tetap terjaga.

"Pesan apa?" tanya Saka dengan nada datar.

Pemuda itu menoleh dan terlihat sedikit terkejut saat melihat siapa pelayannya. Namun, dia segera kembali ke sikap santainya. "Oh, jadi lo kerja di sini?"

Saka tidak menanggapi pertanyaan itu. Dia hanya menunggu dengan sabar, pena di tangan, siap mencatat pesanan.

Pemuda itu menghela napas dan akhirnya menyebutkan pesanannya. "Cappuccino, satu. Sama cheesecake."

Saka mencatat pesanannya dengan cepat, lalu berbalik menuju dapur tanpa sepatah kata pun. Ketika dia kembali untuk mengantarkan pesanan, pemuda itu masih duduk di sana, menatapnya dengan intensitas yang sama seperti saat di lorong sekolah.

"Apa?" Saka akhirnya bertanya, merasa terganggu dengan tatapan itu.

Pemuda itu tersenyum kecil, tetapi ada nada sinis di balik senyumnya. "Gue cuma nggak nyangka aja. Ice Prince ternyata kerja di tempat kayak begini."

"Kenapa? Menurut lo gue harus kerja di mana?" balas Saka dengan nada yang sedikit tajam.

Pemuda itu tertawa pelan, lalu menggeleng. "Nggak ada. Gue cuma kepo aja. Lo kayaknya bukan tipe orang yang butuh duit."

Saka tidak menjawab. Dia tahu tidak ada gunanya menjelaskan apapun pada orang ini. Lagipula, dia tidak merasa perlu membuka diri pada seseorang yang baru saja dia temui.

Namun, pemuda itu melanjutkan, "By the way, nama gue Farel. Kita ketemu lagi ya nanti di sekolah."

Farel berdiri, meletakkan beberapa lembar uang di meja, lalu pergi meninggalkan kafe tanpa menunggu kembalian. Saka hanya memandang punggungnya yang menjauh, mencoba memahami maksud di balik semua kata-katanya tadi.

**

Sepulang dari kafe, Saka merasa tubuhnya sangat lelah. Namun, dia tidak bisa langsung tidur. Pikirannya terlalu penuh dengan semua kejadian hari ini. Dia duduk di meja belajarnya, membuka buku catatan, dan mulai menulis.

Sejak dia berada di tubuh ini, menulis menjadi salah satu caranya untuk melampiaskan semua yang ada di kepalanya. Dia menulis tentang pertemuannya dengan Farel, tentang Alenio yang akhirnya membuka diri padanya, dan tentang dirinya sendiri—tentang rasa sakit yang tidak pernah benar-benar hilang.

Kalimat demi kalimat mengalir, hingga akhirnya dia menutup buku catatan itu dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Saka memandangi jendela kamar, melihat hujan mulai turun dengan deras di luar. Entah kenapa, hujan selalu membuatnya merasa tenang.

Namun, di tengah ketenangan itu, Saka merasa bahwa hidupnya di tubuh ini mulai menjadi lebih rumit. Orang-orang di sekitar mulai mendekatinya, satu per satu. Dan dia tidak yakin apakah itu sesuatu yang baik atau buruk. Yang jelas, dia tahu bahwa semuanya akan berubah—cepat atau lambat.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang